Home » » Pancasila sebagai Etika Politik:Ironi Pedoman hidup bangsa yang Diagungkan

Pancasila sebagai Etika Politik:Ironi Pedoman hidup bangsa yang Diagungkan

  1. Pendahuluan
Adakah terdengar lagi gaung Pancasila dalam kancah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini? Agaknya untuk melihat hal itu, perlu penelaahan yang cukup luas sudut pandangnya. Atau dapat dikatakan bahwa jika Pancasila dilihat sebagai sebuah fenomena, maka perlu juga dilihat noumena atau esensi dari fenomena itu, dengan begitu sudut pandangnya tidak hanya dibatasi pada tataran luaran yang nampak, tetapi juga berupaya melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dan sebagai generasi yang hadir hidup di tengah pergumulan “hidup-mati’ Pancasila, sepertinya hal itu dapat dilakukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Pancasila.

Akhir-akhir ini kita tahu bahwa, Pancasila sedang mengalami satu fase delegitimasi keberadaan, di mana sebagai sebuah pandangan hidup sebuah bangsa ia tak lagi “diakui” sebagai pedoman hidup bersama. Pancasila sekarang sudah tidak sakti lagi, meski kita masih sering mendengar tiap tahunnya pada akhir bulan September dan awal Oktober selalu ada peringatan hari Kesaktian Pancasila. Reformasi 1998-1999 telah mencabik-cabiknya, dan melabelinya sebagai kaki tangan sebuah rezim kekuasaan, pada masa-masa Orba (orde baru). Pancasila menjadi korban. Korban yang diperalat, dan korban untuk dijadikan kambing hitam. Begitulah nasib Pancasila.

Ada satu hal yang selama ini menghantui penulis, terkait dengan Pancasila ini. Apakah Pancasila benar-benar ada dalam diri bangsa ini, sejak awal dirumuskan hingga sekarang ini, menjadi pedoman dan cara pandang bersama sebagai sebuah bangsa yang beraneka ragam? Atau ia hanyalah sebuah slogan yang didengungkan sebagai sebuah pilihan-pilihan politis para founding father kita untuk melegitimasi atau mengukuhkan keberadaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila adalah produk ide-ide yang sebenarnya tidak pernah diperlukan. Hanya sebagai legitimator yang sekali-kali digunakan kala dibutuhkan. Tak pernah benar-benar menjadi pedoman hidup bangsa ini.

Dengan cara lain kita dapat melihat hal itu. Pertama, Pancasila ada sebagai pedoman bangsa setelah dirumuskan dan ditetapkan sebagai pedoman hidup bangsa ini. Kedua, Pancasila sebenarnya telah hadir dalam kelokalan-kelokalan bangsa ini yang kemudian disintesiskan dan dinyatakan sebagai sebuah pedoman hidup bersama oleh kelompok-kelompok lokal yang telah menyatu. Jiwa dulu atau badannya yang ada?

  1. Pintu Masuk Pembahasan
Dalam pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan, etika adalah anak cabang dari filsafat. Masuk dalam kategori filsafat praktis. Pembahasannya langsung mengarah pada tindakan dan bagaimana manusia harus berbuat. Filsafat praktis ini diupayakan untuk memberi pemahaman pada manusia dalam mengarahkan tindakannya. Begitulah etika sebagai bagian dari filsafat praktis bekerja. Kemudian pun etika masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Mengingat manusia memang memiliki kedua dimensi itu. Sebagai individu dan makhluk sosial. Sebagai individu manusia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhan, dan wilayah-wilayah hidup mereka yang berkenaan dengan sisi individual. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia diarahkan untuk mengatur hidup sesuai dengan garis kodrat mereka sebagai makhluk sosial, berkenaan dengan nilai-nilai moral yang menentukan sikap dan tindakan antarmanusia.

Sedangkan dimensi politik dalam etika politik di sini adalah dimaksudkan ada dalam pengertiannya yang lebih luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kenegaraan atau hubungan antar negara misal, yang mencangkup kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara yang dibatasi oleh konsep-konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decission making), pembagian (distribution), dan alokasi (alocation), tetapi di sini pengertian itu diperluas lagi ke dalam tataran manusia sebagai makhluk yang berpolitik. Secara kasar dapat disebutkan bahwa segala tindakan manusia atau bahkan manusia itu sendiri tidak akan lepas dari orientasi dan moda-moda politik. Manusia hidup karena berpolitik. Secara kodrati sebagai makhluk individual atau sosial manusia akan memerlukan aturan-aturan atau norma-norma untuk dapat menjalani hidupnya. Kata kunci dari dimensi politik ini adalah kaitannya dengan hak dan kewajiban manusia. Sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagi anggota masyarakat, sebagai individu, dan sebagai makhluk Tuhan.

Dengan melihat dua dimensi ini, etika dan politik, dalam Pancasila sebagai Etika Politik, maka kita dapat memberi kesimpulan awal bahwa Pancasila adalah pedoman hidup bersama kita, yang mengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak antar satu dengan lain, yang disertai hak dan kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identity kita. Baik sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat. Kita dikenali karena kita memiliki Pancasila dalam diri kita sebagai pedoman hidup bersama.

  1. Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila
Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai Tjosakai oleh Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk menyelidiki dan merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia.

Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan dasar atau falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan draft dasar negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga orang ini dalam tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang.

Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan usulannya. Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi; negara yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat integralistis atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup berketuhanan tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah agar pemimpin negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan azas kekeluargaan, tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan Indonesia asli. Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang meliputi; persatuan, kewargaan, kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial.

Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan rumusan; kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang perumusan dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena kita langsung dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas dengan Pancasila yang ada sampai sekarang ini.

Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang dibentuk oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta. Yang isinya adalah rumusan Pancasila berikut ini;
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia

Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik yang sangat tajam antara para elit tokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila pertama. Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan adanya tujuh kata ini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk bukan hanya karena umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru lahir, atas usul Bung Hatta, tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.

  1. Mencermati Lima Sila
Abdul Hadi W.M. dalam makalahnya[1] menyatakan bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan seperti apa yang dikatakan Abdul Hadi W.M. sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan.

Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.[2]

  1. Penutup, Titik Awal Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Etika Politik Bangsa
Dari pencermatan pada lima sila ini, kembali pada pertanyaan di atas bahwa apakah Pancasila hadir sebagai jiwa dahulu ataukah badannya terlebih dahulu? Jika Pancasila hadir dalam diri bangsa ini sebelum badan Pancasila itu dirumuskan, berarti bangsa Indonesia secara khas memang memiliki nilai-nilai atau pedoman yang berkesuaian dengan Pancasila setelah dirumuskan. Tetapi jika badannya terlebih dahulu yang hadir, kemudian bangsa ini menghayati nilai-nilainya, berarti ada kesepakat berikutnya tentang nilai-nilai baru yang terbentuk yang harus dipatuhi dan jadikan pedoman besama. Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan fenomena sekarang ini, fenomena akan ketidakpercayaan bangsa Indonesia pada Pancasila. Atau pe-marginal-an Pancasila dari kehidupan bangsa ini.

Sebenarnya tidaklah begitu penting apakah Pancasila hadir menjiwai terlebih dahulu sebelum badannya dirumuskan, atau sebaliknya. Hanya saja ada implikasi yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah delegitimasi Pancasila akhir-akhir ini dengan melihat itu mana yang hadir terlebih dahulu. Ketika melihat Pancasila sebagai jiwa yang hadir terlebih dahulu, dengan melihat kondisi saat ini, berarti bukan Pancasilanya yang bermasalah. Bahwa Pancasila tidak lagi relevan adalah omong kosong belaka. Pancasila adalah tetap Pancasila yang tetap terbuka bagi semua golongan dan nilai-nilainya akan terus termutakhirkan sesuai dengan perkembangan zaman, seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid, “Pancasila adalah sebuah ideologi, maka itu berarti terbuka lebar adanya kesempatan untuk semua kelom­pok sosial guna me­ngambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya. Maka para pemu­ka Islam pun harus tanggap kepada masalah ini.”[3] Jadi manusia-manusianya yang kepribadiannya tergerus.

Dan jika kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang perlu melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak dan pribadi bangsa ini. Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan kepribadian itu.

Terakhir, yang bermasalah apakah Pancasila ataukah manusia-manusianya, masih menjadi pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja. Namun, juga dalam tataran praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari ketakberdayaan kita dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif dan negatifnya.


Bahan Bacaan dan Rujukan

Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Cak Nur, Jakarta; Paramadina, 2007
Abdul Hadi W.M,“Pancasila sebagi Etika Politik dan Dasar Negara,” makalah ini disampaikan pada mata kuliah Pancasila di ICAS Jakarta, 06 November 2006
Suseno, Franz-Magniz, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 2003

[1] Abdul Hadi W.M,“Pancasila sebagi Etika Politik dan Dasar Negara,” makalah ini disampaikan pada mata kuliah Pancasila di ICAS Jakarta, 06 November 2006, hal. 2.
[2] Ibid.
[3] Budhi Munawar Rahman, Ensiklopedia Cak Nur, Jakarta; Paramadina, 2007, entri M-P.
http://poetraboemi.wordpress.com/2008/10/19/pancasila-sebagai-etika-politikironi-pedoman-hidup-bangsa-yang-diagungkan/
Comments
9 Comments

9 comments:

yap setuju banget tuh gan..

hemm bener bgt tuh :)

That is great to hear, thank you for reading!

Amazing amount of great, actionable advice. I will keep coming back to this Post...

Thanks for great article sharing...

Greetings and thank you very much for share

Thank you, that was just an awesome post!!!

Thank you, that was just an nice post!!!

Thank you so much share nice article

Post a Comment

Terima Kasih telah Berkunjung. Blog Berstatus DoFollow.
Para pengurus Makalah Kita Semua Tidak selalu Online untuk memantau Komentar yang Masuk, Jadi tolong berikan Komentar Anda dengan Pantas dan Layak dikonsumsi oleh Publik. NO SPAM, NO SPAM, NO SPAM dan Sejenisnya.

 
 
 

Facebook

Status Makalah Kita Semua


Page Ranking Tool Site Meter
makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog SevenZero TV - Watch Live Streaming TV online My Ping in TotalPing.com
eXTReMe Tracker

Best Friends Yang Rendah Hati

 
Copyright © 2008 - Makalah Kita Semua , All rights reserved.