Home » » Bermesraan Ala Rasulullah

Bermesraan Ala Rasulullah

Bermesraan Ala Rasulullah

Bermesraan, itulah yang membuat hubungan suami-istri terasa indah dan nikmat. Caranya?

Dalam berkomunikasi, ada dua jenis lambang yang bisa dipergunakan, yaitu lambang verbal dan lambang non verbal. Menurut penelitian Profesor Birdwhistell, maka nilai efektifitas lambang verbal dibanding non verbal adalah 35:65. Jadi, justru lambang non verbal yang lebih efektif dalam menyampaikan pesan.
Bermesraan, adalah upaya suami istri untuk menunjukkan saling kasih sayang dalam bentuk verbal. Sentuhan tangan dan gerak tubuh lainnya, adalah termasuk lambang non verbal ketika suami berkomunikasi dengan istrinya. Komunikasi verbal semata belumlah efektif jika belum disertai oleh komunikasi non verbal, dalam bentruk kemesraan tersebut.
Rasulullah saw pun merasakan pentingnya bermesraan dengan istri, sehingga beliau pun mempraktekkannya untuk menghias hari-hari dalam keluarganya, yang tecermin seperti dalam hadis-hadis berikut:

1. Tidur dalam satu selimut bersama istri
Dari Atha' bin Yasar: "Sesungguhnya Rasulullah saw dan 'Aisyah ra biasa mandi bersama dalam satu bejana. Ketika beliau sedang berada dalam satu selimut dengan 'Aisyah, tiba-tiba 'Aisyah bangkit. Beliau kemudian bertanya, 'Mengapa engkau bangkit?' Jawabnya, 'Karena saya haidh, wahai Rasulullah.' Sabdanya, 'Kalau begitu, pergilah, lalu berkainlah dan dekatlah kembali kepadaku.' Aku pun masuk, lalu berselimut bersama beliau." (HR Sa'id bin Manshur)

2. Memberi wangi-wangian pada auratnya
'Aisyah berkata, "Sesungguhnya Nabi saw apabila meminyaki badannya, beliau memulai dari auratnya dan mengolesinya dengan nurah (sejenis bubuk pewangi), dan istrinya meminyaki bagian lain seluruh tubuhnya. (HR Ibnu Majah)

3. Mandi bersama istri
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Aku biasa mandi bersama dengan Nabi saw dengan satu bejana. Kami biasa bersama-sama memasukkan tangan kami (ke dalam bejana)." (HR 'Abdurrazaq dan Ibnu Abu Syaibah)

4. Disisir istri
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Saya biasa menyisir rambut Rasulullah saw, saat itu saya sedang haidh".(HR Ahmad)

5. Meminta istri meminyaki badannya
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Saya meminyaki badan Rasulullah saw pada hari raya 'Idul Adh-ha setelah beliau melakukan jumrah 'aqabah." (HR Ibnu 'Asakir)

6. Minum bergantian pada tempat yang sama
Dari 'Aisyah ra, dia berkata, "Saya biasa minum dari muk yang sama ketika haidh, lalu Nabi mengambil muk tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau minum, kemudian saya mengambil muk, lalu saya menghirup isinya, kemudian beliau mengambilnya dari saya, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau pun menghirupnya." (HR 'Abdurrazaq dan Sa'id bin Manshur)

7. Membelai istri
"Adalah Rasulullah saw tidaklah setiap hari melainkan beliau mesti mengelilingi kami semua (istrinya) seorang demi seorang. Beliau menghampiri dan membelai kami dengan tidak mencampuri hingga beliau singgah ke tempat istri yang beliau giliri waktunya, lalu beliau bermalam di tempatnya." (HR Ahmad)

8. Mencium istri
Dari 'Aisyah ra, bahwa Nabi saw biasa mencium istrinya setelah wudhu', kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi wudhu'nya."(HR 'Abdurrazaq)
Dari Hafshah, putri 'Umar ra, "Sesungguhnya Rasulullah saw biasa mencium istrinya sekalipun sedang puasa." (HR Ahmad)

9. Tiduran di Pangkuan Istri
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Nabi saw biasa meletakkan kepalanya di pangkuanku walaupun aku sedang haidh, kemudian beliau membaca al-Qur'an." (HR 'Abdurrazaq)

10. Memanggil dengan kata-kata mesra
Rasulullah saw biasa memanggil Aisyah dengan beberapa nama panggilan yang disukainya, seperti 'Aisy, dan Humaira (pipi merah delima).

11. Mendinginkan kemarahan istri dengan mesra
Nabi saw biasa memijit hidung 'Aisyah jika ia marah dan beliau berkata, "Wahai 'Uwaisy, bacalah do'a: 'Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan." (HR Ibnu Sunni)
12. Membersihkan tetesan darah haidh istri
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Aku pernah tidur bersama Rasulullah saw di atas satu tikar ketika aku sedang haidh. Bila darahku menetes ke tikar itu, beliau mencucinya di bagian yang terkena tetesan darah dan beliau tidak berpindah dari tempat itu, kemudian beliau shalat di tempat itu pula, lalu beliau berbaring kembali di sisiku. Bila darahku menetes lagi ke tikar itu, beliau mencuci di bagian yang terkena darah itu saja dan tidak berpindah dari tempat itu, kemudia beliau pun shalat di atas tikar itu." (HR Nasa'i)

13. Bermesraan walau istri haidh
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Saya biasa mandi bersama Rasulullah saw dengan satu bejana, padahal kami sama-sama dalam keadaan junub. Aku biasa menyisir rambut Rasulullah ketika beliau menjalani i'tikaf di masjid dan saya sedang haidh. Beliau biasa menyuruh saya menggunakan kain ketika saya sedang haidh, lalu beliau bermesraan dengan saya." (HR 'Abdurrazaq dan Ibnu Abi Syaibah)

14. Memberikan hadiah
Dari Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, ia berkata, "Ketika Nabi saw menikah dengan Ummu Salamah, beliau bersabda kepadanya, 'Sesungguhnya aku pernah hendak memberi hadiah kepada Raja Najasyi sebuah pakaian berenda dan beberapa botol minyak kasturi, namun aku mengetahui ternyata Raja Najasyi telah meninggal dunia dan aku mengira hadiah itu akan dikembalikan. Jika hadiah itu memang dikembalikan kepadaku, aku akan memberikannya kepadamu."
Ia (Ummu Kultsum) berkata, "Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang disabdakan Rasulullah saw, dan hadiah tersebut dikembalikan kepada beliau, lalu beliau memberikan kepada masing-masing istrinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian tersebut beliau berikan kepada Ummu Salamah." (HR Ahmad)

15. Segera menemui istri jika tergoda
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi saw pernah melihat wanita, lalu beliau masuk ke tempat Zainab, lalu beliau tumpahkan keinginan beliau kepadanya, lalu keluar dan bersabda, "Wanita, kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa setan....Bila seseorang di antara kamu melihat seorang wanita yang menarik, hendaklah ia datangi istrinya, karena pada diri istrinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu." (HR Tirmidzi)
Begitu indahnya kemesraan Rasulullah saw kepada para istrinya, memberikan gambaran betapa Islam sangat mementingkan komunikasi non verbal ini, karena bahasa tubuh ini akan lebih efektif menyatakan cinta dan kasih sayang antara suami istri. Nah, silakan mencoba.• Ira Istadi sumber: hidayatullah.com
















Syariat sebagai Rahmat

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Ar-Ruum: 30)

Menjelang wafat, Rasulullah melaksanakan haji. Oleh ahli sejarah, peristiwa tersebut diberi nama hajji wada' atau hajji perpisahan, sebab pada saat itu Rasulullah menyampaikan pesan-pesan agama yang terakhir yang disampaikannya kepada masyarakat umum. Tak lama setelah peristiwa itu, Rasulullah dipanggil kehadirat-Nya setelah purna tugas kerasulannya.
Pada peristiwa bersejarah itu, Allah Subhaanahu wa ta'ala menurunkan ayat terakhir, yaitu:
"..Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.." (al-Maaidah: 3)
Ayat tersebut menegaskan dua hal. Pertama bahwa agama Islam telah sempurna. Ajarannya telah lengkap, mencakup segala hal yang dibutuhkan ummat manusia. Ajaran agama ini telah meliputi segala aspek kehidupan. Betul-betul telah sempurna, utuh dan tidak ada cacat.
Kedua, ayat ini juga menegaskan bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah Islam. Islam dalam pengertian ayat ini bermakna ajaran, sekaligus nama agama itu sendiri. Masalah ini perlu dipertegas sebab masih ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Islam itu bisa meliputi seluruh agama samawi, baik Yahudi maupun Nasrani, bahkan ada pula yang menyebut seluruh agama, termasuk agama non samawi. Ayat ini jelas-jelas menunjuk Islam sebagai nama satu-satunya agama yang diridhai Allah Swt.
Kesempurnaan ajaran Islam itu dapat dipelajari dari luasan jangkauannya, rentang waktu pemberlakuannya, juga cakupan ajarannya. Islam diturunkan bukan untuk bangsa tertentu atau suku tertentu. Meskipun Nabi Muhammad lahir, besar, dan wafat di tanah Arab, tapi Islam bukan hanya untuk orang Arab. Islam diturunkan untuk semua bangsa, semua ras, suku, maupun golongan manapun juga. Berbeda dengan agama Yahudi yang sejak dari awal memang dikhususkan untuk bangsa Israel. Demikian pula dengan agama Masehi. Meskipun pada akhirnya agama ini dipeluk oleh bangsa-bangsa lainnya, tapi sesungguhnya semangat agama ini lebih bersifat terbatas.
Islam bukanlah ajaran untuk daerah atau wilayah tertentu. Penduduk yang mendiami semua wilayah dan kawasan di bumi ini wajib tunduk dan patuh pada ajaran Islam.
Islam bukan pula risalah yang diperuntukkan bagi kelas masyarakat tertentu. Islam bukan hanya untuk kelas elite atau sebaliknya bukan pula terbatas untuk kelas hamba sahaya. Islam untuk semua kelas sosial, baik kaya maupun miskin, baik berkuasa maupun yang dikuasai, baik yang terdidik maupun yang kurang terdidik. Islam untuk semua.
Kedua, ajaran Islam bukan juga ditujukan untuk suatu masa, tapi Islam berlaku sejak diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw hingga akhir zaman. Risalah ini berlaku abadi, sepanjang masa hingga hari qiamat nanti. Tidak ada syariat setelah Islam, tidak ada kitab lagi yang turun setelah al-Qur'an, dan tiada nabi lagi setelah Muhammad Saw. Tidak ada seorang nabipun sebelum Muhammad yang menyatakan sebagai Nabi pamungkas, tapi sebaliknya dalam semua kitab-kitab mereka, termasuk Taurat dan Injil, jelas-jelas menyatakan akan datangnya seorang nabi pamungkas, yang tiada lain adalah Muhammad Saw.
Tentang luasnya cakupan dan jangkaun ajaran Islam itu, Al-Qur'an menjelaskan:
"Katakanlah, Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua." (al-A'raaf: 158)
"Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (al-Furqaan: 1)
"Al-Qur'an ini tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam." (Shaad: 87)
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (al-Anbiyaa: 107)
Ketiga, cakupan ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Islam tidak hanya berbicara tentang kepercayaan dan peribadatan, tapi juga berbicara tentang hukum dan moral. Inilah yang membedakan antara Islam dengan agama lainnya. Pada agama-agama yang lain, ajarannya hanya terbatas pada masalah kepercayaan dan peribadatan, atau jika boleh ditambah adalah masalah moral. Lain halnya dengan Islam, selain meliputi tiga hal tadi, juga mencakup aspek hukum. Sebagaimana halnya hukum pada umumnya, hukum Islam juga memuat tentang sangsi bagi pelanggarnya, mulai dari denda hingga hukuman badan.
Al-Aqqad dalam salah satu bukunya menyatakan bahwa Islam merupakan ideologi yang terbaik bagi manusia, baik sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat, ketika beraktifitas untuk ruhnya atau jasadnya, ketika melihat dunianya maupun akhiratnya, ketika dalam keadaan damai atau perang, ketika memberi hak untuk dirinya atau ketika melaksanakan perintah pimpinan dan negaranya.
Tidak dapat dikatakan Muslim lantaran dia hanya meyakini eksistensi ruhani dan mengingkari jasmaninya, dan atau lantara dia menyertakan Islamnya dalam suatu kondisi tertentu dan meninggalkannya dalam situasi yang lain. Dia akan dikatakan muslim dengan aqidahnya yang utuh pada semua situasi dan kondisi, baik ketika dia sendiri atau ketika dia bergaul dengan kehidupan bermasyarakat.
Islam tidak memisahkan manusia dalam dua bagian, sebagaimana agama Nasrani. Dalam ajaran Nasrani, bagian ruhani diarahkan oleh agama dan ditujukan ke tempat ibadah. bagian ini merupakan kewenangan para pendeta, yang karenanya mereka berhak menetapkan peraturan dan hukum yang harus ditaati oleh manusia. Sedangkan sisi materialnya agama dan para pemukanya tidak memiliki kewenangan sedikitpun juga. Sisi ini adalah bagian kehidupan, untuk dunia politik, masyarakat dan negara. Agama tidak diberi tempat untuk mengaturnya sedikitpun juga.
Islam menolak keras pemisahan manusia dalam dua bagian sebagaimana yang dipahami oleh kaum sekuler karena dua alasan. Pertama, karena Islam mengajarkan bahwa alam semesta dan semua makhluq citpaan-Nya semata-mata milik Allah swt. Tidak ada sedikitpun hak bagi kaisar, raja, presiden, perdana menteri, atau sebutan-sebutan lainnya bagi para penguasa. Oleh karenanya, dalam sistem keyakinan Islam, tidak ada ketundukan bagi ummat Islam kepada mereka, kecuali atas perintah-Nya.
"Kepunyaannyalah segala yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah." (Thaaha: 6)
"Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi." (Yuunus: 66)
"Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah." (Ar-Ra'd: 31)
Alasan kedua, bahwa kehidupan ini sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi atau dipilah-pilah. Agama tidak bisa dipisah dari negara, ekonomi tidak bisa dipisah dari moral, demikian pula individu tidak dapat dipisah dari keluarga dan masyarakat.
Dengan dua alasan di atas, maka Islam dalam perjalanannya selalu bertolak belakang dan bertentangan dengan kaum Nasrani dan mereka yang berpaham sekuler. Pertentangan itu akan terus terjadi sepanjang masa, dan di semua sesi kehidupan. Jika Islam mengembalikan seluruh permasalahan kehidupan ini kepada Allah, mereka berusaha untuk memisahkannya. Mereka berusaha untuk mengaturnya sendiri, dengan selera dan kemauannya sendiri, tanpa pedoman kitab suci.
Pemahaman Islam seperti ini masih sulit dipahami intelektual Barat dan intelektual Timur yang kebarat-baratan. Dalam kamus mereka, wilayah agama hanyalah sebatas gereja atau tempat ibadah, sedangkan di luar itu adalah wilayah negara. Doktrin seperti ini sudah ditanamkan ratusan tahun dan telah dipraktekkan selama ini dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang belajar politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada Barat, tentu saja akan memiliki pandangan yang sama, meskipun keyakinan agamanya Islam dan mengaku sebagai Muslim. Mereka mengikuti jejak gurunya, berislam hanya sebatas di masjid, dan meninggalkannya ketika di luar mesjid.
Jika intelektual Barat berpaham sekuler adalah wajar, sebab agamanya sendiri telah mengajarkan hal itu, disamping praktek sehariannya memang demikian. Akan tetapi sesungguhnya hal demikian semestinya tidak berlaku bagi kaum muslim, sebab ajaran Islam tidak sekadar memuat sistem aqidah dan kepercayaan, tapi dilengkapi pula dengan syariat. Agama-agama di luar Islam tidak punya perangkat syariat sebagaimana Islam, adalah wajar jika mereka mengambil peran besar dalam urusan ini.
Masalahnya, ketika Allah sudah menetapkan syariatnya bagi ummat-Nya untuk seluruh aspek kehidupannya, apakah kita menolaknya? Biarkan orang lain hidup tanpa syariat, tapi bagi ummat Islam wajib bersyariat. Inilah satu-satunya jalan keselamatan bagi ummat Islam, di dunia dan di akhirat.• Hamim Thohari sumber : hidayatullah.com


































Mitos-mitos tentang Syariat dan Jawabannya

Diperlukan banyak terobosan untuk meluruskan pemahaman masyarakat tentang syariat,
yang bila caranya benar bukan mustahil berbalik jadi pendukung

Tuntutan penerapan syariat Islam mencuat kembali dalam Sidang Tahunan MPR awal November 2001 yang lalu. Walaupun pengagendaannya masih ditunda ke Sidang Tahunan MPR tahun 2002, tapi tuntutan yang hendak dituangkan dalam amandamen UUD 45 itu, seperti biasa, telah menjadi agenda pembicaraan publik yang luas, baik dalam kaitan dengan proses politik dan legislatifnya, maupun dalam kaitan dengan muatan pemikiran dan konseptualnya.
Salah satu sisi yang menarik dalam perbincangan tersebut adalah bahwa kontroversi itu lebih banyak terjadi di kalangan ummat Islam sendiri, walaupun beberapa aspek penerapan syariat Islam juga menjadi sorotan pihak-pihak lain di luar Islam. Kontroversi semacam itu, di tengah negara sebesar dan seberagam Indonesia dan dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seluruh Dunia Islam, tentulah harus disikapi dengan arif dan bijaksana, objektif dan proporsional, dengan berbasis pada etika ilmiah dan politik yang kuat. Kontroversi semacam itu haruslah dipandang sebagai sebuah kewajaran, dan kewajaran semacam ini harus dipertahankan dengan semangat dialog, keterbukaan dan rasionalitas yang tinggi.
Secara umum kita dapat menyimpulkan dengan cukup yakin bahwa masyarakat Islam di negeri kita memang sedang mengalami suatu proses kembali ke jatidiri kolektifnya sebagai sebuah ummat, dimana Islam menjadi basis identitasnya. Fenomena sosial dan kultural ini telah mengemuka sepanjang dua puluh tahun terakhir, tapi kemudian mendapat penguatan baru yang bersifat politik setelah era reformasi melahirkan sistem multipartai; sebuah pintu masuk bagi umat Islam untuk mengejawantahkan diri kembali lewat perjuangan politik, dimana prinsip-prinsip demokrasi membuka dirinya bagi tuntutan penerapan syariat Islam. Jadi baik pada tataran sosial kultural maupun pada tataran politik praktis, tuntutan penerapan syariat Islam telah menjadi fenomena yang eksis dan mengejawantah secara kuat.
Tapi adalah merupakan bagian dari kearifan dan kebijaksanaan kita sebagai Muslim, untuk memandang perbincangan soal penerapan syariat Islam secara lebih mendalam dan lebih menyeluruh, dengan mencoba melakukan sebuah penelusuran yang akurat pada sisi-sisi muatan pemikirannya, khususnya yang berkembang di kalangan umat Islam sendiri, dan kemudian, pada proses-proses politiknya. Menelusuri perkembangan pemikiran internal maupun eksternal umat Islam dalam agenda ini menjadi penting bagi kita, karena dengan begitu kita bisa merumuskan sebuah pola pembahasaan yang lebih baik, dan lebih tepat dengan lingkungan pemikiran, dalam mengusung agenda penerapan syariat Islam.
Dari penelusuran sementara yang kita lakukan, berbagai pemikiran yang berkembang, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di kalangan eskternal umat Islam, kita menemukan bahwa agenda penerapan syariat Islam sedikit mendapatkan ganjalan dalam lingkungan pemikiran tersebut, akibat berbagai kesamaran, atau apa yang mungkin kita sebut mitos (bisa juga kita sebut sebagai syubhat), yang tentu saja mengurangi derajat keyakinan umum kita terhadap keniscayaan penerapan syariat Islam.
Kita mungkin bisa membuat sebuah daftar panjang tentang berbagai mitos tersebut, tapi yang paling mengganjal di antaranya ada empat mitos.

Syariat tidak relevan lagi.
Mitos yang mempertanyakan apakah penerapan syariat Islam masih relevan dengan ruang dan waktu kita, dengan kondisi zaman kita yang terus berubah? Dapatkah Islam memenuhi kebutuhan masyarakat moderen dalam berbagai dimensi kehidupan mereka yang begitu rumit? Dapatkah Islam menjawab berbagai tantangan dan problematika zaman moderen yang begitu kompleks? Mitos ini mempertanyakan Islam sebagai sebuah konsep kehidupan, mempertanyakan kemampuan substansialnya untuk mengatur kehidupan masyarakat moderen sebagaimana yang telah dilakukan oleh ideologi-ideologi lain?

Syariat tidak manusiawi.
Mitos yang mempertanyakan sisi kemanusiawian hukum Islam, khususnya yang terkait dengan hukum pidana, yang menurut mereka terasa terlalu kejam. Bukankah hukum qishash bagi pembunuh, dan potong tangan bagi pencuri, atau dera dan rajam bagi pezina terasa terlalu kejam dan cenderung tidak manusiawi untuk ukuran zaman kita? Perzinaan misalnya, untuk sekedar membuat perbandingan hukum, yang dalam hukum positif tidak dikategorikan ke dalam tindak pidana, justru dianggap sebagai tindak pidana dalam hukum Islam? Bukankah, dengan begitu, hukum pidana Islam dapat dikatakan memang cenderung bersifat hukum tangan besi dan cenderung berdarah-darah?

Masyarakat tanpa dosa.
Mitos yang terkait dengan persepsi masyarakat Islam sebagai masyarakat malaikat, sehingga penerapan syariat Islam hanya akan berarti memaksakan sebuah kehidupan yang terlalu rigid, kaku, suci, relatif tanpa dosa, sebuah dunia yang sebenarnya hanya dimiliki para malaikat, dan tidak sesuai dengan natura kita kita sebagai manusia, dengan semua sisi gelap dan hitam yang melekat dalam tabiatnya? Seberapa kuatkah dan seberapa lamakah mereka dapat bertahan hidup dalam suatu sistem kemayarakatan yang menerapkan sebuah standar moral yang terlalu tinggi? Mitos ini membuat mereka tidak yakin bisa bertahan.


Disintegrasi nasional.
Mitos politik historis yang menganggap bahwa penerapan syariat Islam sebagai ancaman bagi integrasi nasional, khususnya dalam sebuah masyarakat majemuk secara etnis, agama dan budaya, seperti Indonesia. Penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta, dalam sejarah kita sebagai bangsa majemuk, adalah sebuah pengorbanan besar umat Islam, sebuah harga politik yang harus mereka bayar untuk mempertahankan kesatuan nasional? Mitos ini juga mempertanyakan eksistensi kelompok minoritas non-Islam dalam sebuah negara demokrasi? Mitos ini, pada akhirnya, mempertentangkan Islam dengan nasionalisme, dan karenanya menganggap bahwa setiap usaha menerapkan syariat Islam dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak nasionalis?
Di luar dari keempat mitos diatas, ada lagi sebuah pertanyaan terakhir yang masih tersisa, yang melengkapi keraguan mereka. Seandainya Islam memang masih relevan dengan kondisi zaman modern, dan sebuah masyarakat suci yang putih bersih seperti dunia malaikat dapat ditegakkan, dan integrasi nasional bangsa tersebut tetap dapat dipertahankan, atau bahkan mungkin lebih solid dan lebih kohesif, maka pertanyaannya adalah, sudah adakah negara Islam yang dapat dijadikan model untuk itu? Dapatkah Arab Saudi, Iran, Pakistan, Yaman atau Sudan dijadikan model dari konsep negara Islam yang sukses menerapkan syariat Islam? Dapatkah negara-negara tersebut dikatakan lebih baik dibanding negara-negara sekuler dan moderen seperti Amerika Serikat, atau Eropa atau Jepang, katakanlah dalam dimensi ekonomi, militer, hukum, politik dan pendidikan atau lainnya?

Bukan Sekedar Apologi
Mitos-mitos tersebut, seperti telah dikatakan sebelumnya, ada dalam benak kebanyakan kaum Muslimin dan juga ada dalam benak orang-orang di luar Islam, berkembang dalam wacana-wacana sosial budaya dan juga berkembang dalam wacana-wacana politik praktis. Dalam konteks pensikapan yang dialogis, terbuka dan demokratis, adalah penting bagi kita, ummat Islam, khususnya kalangan pemikir dan politisi, untuk meluruskan syubhat-syubhat tersebut. Tapi adalah juga penting untuk tetap menyadari bahwa jawaban-jawaban apa pun yang kita berikan, tidaklah dengan sendirinya akan menyelesaikan perkara syubhat-syubhat yang telah menjadi mitos tersebut. Andaikan kita dapat memberi jawaban yang memuaskan bagi semua pihak, itu tetap tidak menjamin adanya penerimaan yang menyeluruh terhadap tuntutan penerapan syariat Islam.
Apa yang kita perlukan bukanlah jawaban-jawaban pembelaan diri, bukan jawaban-jawaban yang bersifat apologis, karena jawaban-jawaban seperti itu tidak akan pernah efektif, dan untuk sebagian besarnya, lebih banyak merupakan indikator dari sikap minder dan rendah diri kita sebagai ummat. Kita akan tampak begitu tidak percaya diri ketika kita hanya menyibukkan diri dengan memberikan jawaban-jawaban pembelaan diri, atau jawaban-jawaban apologis seperti itu. Munculnya mitos-mitos itu lebih banyak disebabkan oleh reaksi orang lain atau cara mereka mensikapi kita sebagai ummat yang lemah dan tidak berdaya, oleh suatu ketidakpercayaan yang laten dalam diri mereka, dan mungkin juga dalam diri kita sendiri, bahwa kita mampu membangun diri kita sendiri dengan konsep yang kita miliki, dan dengan konsep yang sama kita juga mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban dunia.
Kita dapat saja menjawab mitos tentang relevansi Islam dengan zaman moderen dengan menjelaskan bagaimana Islam telah berhasil membangun sebuah peradaban besar yang memenuhi ruang sejarah kemanusiaan sepanjang satu millenium, dan bagaimana peradaban itu kemudian menjadi referensi utama bagi kemajuan peradaban Barat saat ini. Sukses sejarah itu tetap bisa diulang karena institusi ijtihad dalam Islam adalah rahasia besar yang dapat mempertahankan relevansi Islam dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam semua kurun sejarah manusia.
Kita juga bisa menjawab mitos tentang hukum pidana Islam yang terlalu kejam dan tidak manusiawi dengan menjelaskan akar persoalannya; tentang fungsi hukum dalam mengurangi angka kriminalitas dalam masyarakat, dan betapa efektifnya hukum pidana Islam melakukan fungsi tersebut. Dan dengan menjelaskan proses-proses hukum, seperti sistem pembuktian tindak pidana, kita dapat menjelaskan betapa manusiawinya hukum pidana Islam itu. Misalnya sistem pembuktian perzinaan dengan empat saksi. Syarat itu tentu saja sangat berat dalam kasus perzinaan biasa. Karena sulit sekali membayangkan bahwa ada seseorang yang berzina dan disaksikan oleh empat pasang mata sekaligus, kecuali kalau mereka sedang memproduksi film porno, atau sedang mengadakan pesta seks. Untuk kasus terakhir ini, pelakunya tentu saja bukan sekedar pezina, tapi telah berubah menjadi institusi yang menyebarkan perzinahan, dan karenanya dapat dikategorikan sebagai perusak masyarakat.
Kita juga bisa menjawab mitos tentang masyarakat Islam sebagai masyarakat malaikat dengan menjelaskan sisi-sisi manusiawi dari masyarakat Islam yang pernah ada di Madinah, di zaman Rasulullah Saw. Bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat malaikat yang serba suci dan tanpa dosa. Bahkan di tengah masyarakat yang dibina langsung oleh Rasulullah Saw, dan di saat wahyu al-Qur'an masih turun membimbing mereka, tetap saja ditemukan kasus perzinaan. Islam tidaklah mengubah manusia menjadi malaikat. Apa yang membedakan masyarakat yang menerapkan Islam dengan masyarakat yang tidak menerapkan Islam adalah pada tingkat intensitas dan angka kuantitatif dari keseluruhan jumlah pelanggaran dalam masyarakat. Yaitu bahwa dalam masyarakat yang menerapkan Islam, angka kriminalitasnya akan sangat rendah dibanding pada masyarakat yang tidak menerapkan Islam, tapi bukannya tidak ada tindakan kriminalitas sama sekali. Tindakan kriminalitas akan tetap ada, tapi dengan jumlah yang sangat rendah. Dan itu merupakan indikator keamanan dan kenyamanan sosial yang diperlukan seluruh masyarakat manusia pada seluruh kurun sejarah mereka.
Kita juga bisa menjawab mitos politik historis itu dengan menjelaskan, bahwa sistem demokrasi tetap membuka peluang bagi setiap kelompok dalam masyarakat, untuk memperjuang asas hidup yang mereka inginkan bagi diri mereka sendiri. Itu merupakan hak politik yang sah dalam negara demokrasi selama ditempuh melalui koridor kontitusi yang berlaku. Juga tidak ada bukti sejarah yang valid yang dapat membuktikan bahwa Islam adalah sumber perpecahan nasional. Persatuan nasional tidaklah terutama bergantung kepada ideologi apa yang kita anut dalam kehidupan bernegara. Umur persatuan kita sesungguhnya ditentukan oleh umur keadilan; keadilan dalam distribusi politik, keadilan dalam distirubusi sosial, dan keadilan dalam distribusi kekayaan bersama. Tuntutan pemisahan diri dari Timtim, dan sekarang Irian Jaya, atau Aceh, atau mungkin daerah lain di kemudian hari, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ideologi negara. Tuntutan pemisahan diri itu merupakan reaksi atas ketidakadilan, merupakan reaksi atas kenyataan bahwa orang-orang yang mendiami pulau-pulau yang sangat kaya itu justru merupakan penduduk termiskin di negeri ini. Ini perkara keadilan, bukan perkara ideologi.
Kita juga masih bisa menjawab mitos lain. Tapi selama jawaban-jawaban kita masih dalam kerangka pembelaan diri atau apologi, maka jawaban-jawaban kita tidak akan pernah menghasilkan penerimaan yang luas dan menyeluruh terhadap tuntutan penerapan syariat Islam.

Terobosan Syariat
Tampaknya memang diperlukan sebuah terobosan dalam membahasakan tuntutan kita untuk menerapkan syariat Islam. Dan untuk itu ada beberapa hal yang dapat kita lakukan.
Pertama, kita perlu menunjukkan adanya political will yang jujur dan kuat, bahwa kita memang sangat bersungguh-sungguh ingin menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita. Dan bahwa isu ini tidak diangkat sebagai sekedar jargon atau komoditas politik, sebagai sekedar jualan politik yang diperlukan untuk meraup suara ummat Islam dalam pemilu. Political will harus ditunjukkan dalam komitmen kita secara pribadi dalam menerapkan Islam, selain pada usaha-usaha yang sistematis dan berkesinambungan untuk merealisasikan tuntutan kita melalui berbagai proses-proses sosial politik yang ada.
Kedua, memenangkan wacana publik dengan mengkomunikasikan Islam kepada masyarakat secara lebih baik, menjelaskan Islam apa adanya sebagaimana ia diturunkan Allah Swt, sebuah Islam dengan kerangka sistemnya yang lengkap, komprehensif, moderat, penuh keseimbangan, dan merupakan rahmat bagi manusia. Kita mungkin tidak perlu menunjukkan pembelaan yang berlebihan terhadap Islam, baik dengan cara menunjukkan keunggulan-keunggulan sistem Islam dan kelemahan-kelemahan sistem-sistem lainnya. Sebab cara itu merupakan janji yang akan membebani kita sendiri, dan pada waktu yang sama, memperkokoh semangat pragmatisme dalam beragama dimana orang hanya akan berislam karena ada manfaat jangka pendek yang ia peroleh, bukan sebagai suatu bentuk ketundukan atau sikap ubudiyah mutlak kepada Allah Swt. Sikap pragmatisme beragama seperti itu hanya akan melahirkan sikap-sikap keagamaan yang parsial dimana agama hanya diikuti sepanjang itu menguntungkan mereka.
Ketiga, marilah kita menggunakan bahasa kenyataan lebih banyak dibanding bahasa lainnya. Kenyataan dapat berbicara lebih jelas dan lebih kuat dibanding semua bahasa lainnya. Sukses perbankan syariah misalnya, baik dalam mempertahankan eksistensinya di tengah badai krisis ekonomi maupun dalam meningkatnya daya saingnya terhadap perbankan konvensional, jauh lebih kuat membuktikan keunggulan sistem ekonomi Islam dibanding seribu buku yang kita tulis tentang ekonomi Islam. Menggunakan bahasa kenyataan mengharuskan kita menyepadankan antara keunggulan sistem Islam dengan kehandalan manusia-manusia Muslim. Dengan kata lain, sudahkah diri kita merepresentasikan kecanggihan Islam.• M Anis Matta
































Mengingat Mati

Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian). (HR. Tirmidzi)

Seorang ulama pernah berkata, "Selain Allah, sesuatu yang paling sering dilupakan manusia adalah kematian." Padahal kematian menjadi sebuah fenomena nyata yang selalu disaksikan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Kematian keluarga, tetangga atau orang-orang yang tidak kita kenal yang dapat diketahui dari berita-berita kematian di berbagai media massa, selalu terjadi setiap saat.
Begitulah kenyataannya, pengalaman manusia ketika ditinggalkan mati oleh sanak kerabatnya jarang sekali bisa membuat ia sadar bahwa ia juga akan seperti yang meninggal itu. Ketika ia turut mengusung keranda, jarang sekali ia merasa bahwa pada suatu saat ialah akan diusung begitu. Pada saat ia ikut meletakkan atau menyaksikan sang mayit diletakkan dalam rongga sempit di dalam tanah, ia tidak berfikir bahwa ia juga nanti pasti akan mengalami hal serupa.
Banyak manusia yang tidak sadar bahwa detak jantung yang belalu, denyut nadi yang bergetar serta detik-detik yang terlewat sesungguhnya merupakan langkah-langkah pasti yang akan semakin mendekatkan kita pada titik takdir kematian.
Karena tidak disadari, maka kematian datangnya tampak selalu mendadak. Banyak terjadi, manusia yang dicabut nyawanya dalam keadaan sedang bergembira ria. Kemana pun kita berlari, dan dimana pun kita berada, mati akan datang merenggut. Ini suatu kepastian. Kita hanya menunggu giliran.
"Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib serta yang nyata." (QS. Jum'ah:8).
Dan ketika kematian itu datang, maka berakhirlah segala kenikmatan yang telah dan tengah dirasakan manusia. Ada orang bijak yang mengatakan, secara global sesungguhnya Allah hanya memberi satu nikmat saja kepada manusia, yakni nafas. Begitu nafas itu berhenti, maka berhenti pula berbagai kenikmatan yang ada.
Itulah sebabnya, mengapa nabi mengatakan bahwa sesuatu yang bisa memutus segala kenikmatan adalah kematian. Meskipun secara hakiki hanya Allah yang mencabut semua itu. Anehnya, sesuatu inilah yang paling sering tidak diingat manusia.

Sebagai Nasehat
Sering kali gebyar kehidupan duniawi mudah membuat kita terlena. Apalagi ketika begitu semakin banyak perlengkapan hidup dengan segala macam kemajuan, kemudahan dan kenikmatannya yang semakin mengepung kita di masa modern ini.
Semua itu kerap menggoda dan melalaikan manusia. Muncullah berbagai prinsip hidup sesat seperti materialisme (hidup hanya untuk tujuan mencapai kemajuan materi), hedonisme (hidup hanya untuk mencapai kesenangan), permisivisme (serba membolehkan apa saja) dan lain-lain yang sejenisnya.
Dalam keadaan seperti itu, nasehat dari siapapun biasanya tak lagi digubris. Tapi ingatlah setiap kita memiliki penasehat yang sangat ampuh, yaitu kematian. Bila sejenak merenungkan kematian yang sewaktu-waktu pasti akan datang, pasti kita akan lebih hati- hati dalam melangkah.
Cukuplah kematian itu sebagai penasehat. (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Sudah semestinya kita senantiasa mengingat akan datangnya musibah terbesar itu. Seketika itu, istri, anak dan keluarga tersayang akan terpisah, pangkat yang diduduki akan hilang, harta yang dikumpulkan akan ditinggalkan, dan bahkan nyawa yang dicintai akan lepas. Melalui pintu mati kita meninggalkan alam dunia, menuju akhirat.
Dengan demikian, orang yang melalaikan datangnya kematian, berarti kehilangan penasehat terbaiknya. Kehidupannya akan mudah tergoda dan terperosok dalam kelalaian. Keterlenaannya mengejar kehidupan dunia, kenikmatan sesaat dan bermegah-megahan membuatnya lalai mempersiapkan bekal akhirat hingga kematian menjemput. Akibat lalai dengan nasehat kematian, akhirnya hanya berujung kepada penyesalan abadi di neraka jahim.
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At Takastur: 1- 8).

Manusia Cerdas
Kriteria manusia cerdas yang sering diinginkan dan dibayangkan kebanyakan orang adalah yang memiliki IQ tinggi, menguasai iptek, kreatif dan semacamnya. Agar anaknya menjadi seperti itu orang tua tak segan- segan mengeluarkan biaya tinggi sampai menyekolahkannya ke luar negeri.
Barangkali bila hidup itu cuma di dunia saja, gambaran yang demikian itu ada benarnya. Tetapi hidup di dunia ini hanyalah teramat sangat sebentar dibanding dengan kehidupan abadi di akhirat. Karena itu kualitas manusia cerdas yang seperti itu belum lengkap. Apa artinya seorang yang berhasil mengumpulkan berbagai prestasi dunia; harta melimpah ruah, jabatan berderet-deret bila setelah mati justru sengasara selamanya di akhirat?
Rasul memberikan rumusan yang lain, bahwa manusia cerdas ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Dengan mengingat mati, kehidupannya di dunia dikelola, tidak hanya sebagai kesenangan tetapi juga menjadi ladang beramal baik sebanyak-banyaknya.
Dengan mengelola keseimbangan hidup diperolehlah kemuliaan dunia dan keselamatan di akhirat. Dia sangat menyadari perjalanan di akhirat yang jauh dan abadi tentu membutuhkan bekal yang jauh lebih banyak lagi dibandingkan di dunia. Karena itu kecerdikan yang sering dipahami manusia akan bermakna jika diiringi kecerdikan memikirkan nasib di akhirat.
Secerdas-cerdasnya manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat. (HR. Ibnu Majah)

Ringan Beribadah
Orang yang lupa akan kematian akan terasa berat beribadah karena ia dikejar-kejar kenikmatan duniawi. Baginya masalah akhirat dianggapnya sia-sia. Kalaupun ada niat beribadah, ditunda-tunda menunggu nanti kalau sudah tua. Padahal datangnya maut siapa tahu. Bisa jadi sore atau malam nanti maut datang. Bila sudah saatnya, kita tidak akan mampu mengundurkannya.
Oleh karena itu, janganlah menunda-nunda ibadah. Laksanakanlah kewajiban beribadah dengan segera seolah maut akan menjemput. Dengan bersikap demikian, beribadah akan terasa ringan.
Jikalau engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu-nunggu datangnya waktu sore (untuk mencari bekal kematian) dan jikalau engkau di waktu sore, maka janganlah menunggu-nunggu datangnya waktu pagi (untuk itu pula). Ambillah kemanfaatan sewaktu hidupmu ini untuk bekal kematianmu dan sewaktu masih sehat untuk bekal sakitmu. (HR. Ibnu Hibban).

Menimbulkan Kezuhudan
Hawa nafsu yang cenderung cinta kemewahan mendorong manusia menjadikan dunia sebagai tujuan. Hati seperti ini dipenuhi dengan keinginan dan panjang angan-angan tentang kemewahan. Dzikirnya: uang, uang dan hanya uang.
Pikirannya dipenuhi segala macam ketamakan. Sikap demikian itu membuatnya tidak mau mensyukuri yang sudah ada dan melupakan akhirat. Hati yang sudah dipenuhi cinta dunia, sulit mengingat Allah, dan ujung-ujungnya mengarahkan hidupnya menuju neraka.
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (QS. An Nazi'aat: 37- 39).
Hawa nafsu yang cinta dunia itu, hendaklah dikendalikan dengan mengingat mati. Dengan mengingat mati, angan-angan panjang tentang kemewahan dunia dapat dikendalikan. Ingatlah pakaian mahal dan indah yang kita banggakan akan ditinggal dan menjadi barang yang tak berguna di alam kubur sebab pakaian kita hanyalah lembaran kain kafan saja.
Kapling tanah yang luas juga akan berpisah, dan kita menghuni tanah dan liang sempit yang gelap sendirian. Dengan menyadari kenyataan masa depan yang akan kita hadapi itu, akan berkuranglah kecintaan kepada dunia sehingga tumbuh kezuhudan.
Bila cinta dunia membuat seseorang menjadi budaknya, sikap zuhud justru menjadikan seseorang berdaya menggunakannya sebagai alat mencari ridha Allah. Harta kekayaannya tidak menimbulkan kesombongan, tetapi justru membuatnya khawatir kalau- kalau ada hak fakir miskin belum tertunai. Segeralah ia tunaikan zakat, infaq dan shadaqah dengan ringan karena menyadari harta yang sesungguhnya bukan yang di dunia ini tetapi yang sudah di amalkan.
Manfaat lain dengan senantiasa mengingat mati adalah akan mendorong kita beristighfar, memohon ampun kepada Allah. Kesadaran akan datangnya kematian yang tidak terduga membuat kita senantiasa waspada. Hidup kita terkontrol dan tidak lepas kendali. Mengingat mati dapat menghapus dosa.
Perbanyaklah mengingat kematian, sebab yang sedemikian itu akan menghapus dosa dan menyebabkan timbulnya kezuhudan di dunia. (HR. Ibnu Abiddunya).
Memang mengingat mati membuat hidup kita bermakna dan jauh dari sia- sia, sedangkan melupakannya hanya akan mengakibatkan kita tertipu dalam kehidupan dunia yang fana dan membawa kesengsaraan berkepanjangan di akhirat.• Hanif Hannan
Comments
6 Comments

6 comments:

artikel yang menarik

mantap nih artikel.

Artikel yang bagus..
terimakasih banyak.

Indah banget yah gan bermesraan ala Rasullah itu..
Thanks info nya.

Hidup ala Rasullah memang sangat luar biasa indah.

Artikel yang bagus..
Semoga bermanfaat untuk orang banyak.

Post a Comment

Terima Kasih telah Berkunjung. Blog Berstatus DoFollow.
Para pengurus Makalah Kita Semua Tidak selalu Online untuk memantau Komentar yang Masuk, Jadi tolong berikan Komentar Anda dengan Pantas dan Layak dikonsumsi oleh Publik. NO SPAM, NO SPAM, NO SPAM dan Sejenisnya.

 
 
 

Facebook

Status Makalah Kita Semua


Page Ranking Tool Site Meter
makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog SevenZero TV - Watch Live Streaming TV online My Ping in TotalPing.com
eXTReMe Tracker

Best Friends Yang Rendah Hati

 
Copyright © 2008 - Makalah Kita Semua , All rights reserved.