Virus Berbahaya Itu Bernama Televisi
Publikasi 25/04/2003 18:28 WIBeramuslim - Adzan Maghrib berkumandang dari menara-menara masjid di komplek perumahan BTN kawasan Tangerang. Adzan itu juga terdengar dari sejumlah stasiun televisi yang juga tak absen menyiarkan suara panggilan sholat Maghrib itu. Tapi toh, anak-anak yang sedang menonton tivi di sejumlah besar rumah di komplek itu tetap tak beranjak. Mereka asyik memelototi layar kaca tersebut. Sama sekali tak acuh dengan suara adzan.
Di rumah ibu Kukun (bukan nama sebenarnya), seorang warga komplek, pemandangannya juga tak jauh berbeda. Di ruang tengah rumah Bu Kukun tempat bertenggernya kotak ajaib bergambar itu, sejumlah pasang mata milik anak-anak, memelototi acara hiburan yang sedang ditayangkan.
Saking hobi berat nonton tivi dan tak mau diganggu-gugat keasyikan mereka, channel suara Adzan pun buru-buru mereka ganti dengan chanel hiburan lainnya. Suara adzan bagi anak-anak usia TK dan SD tersebut, saat itu betul-betul jadi tidak menarik, bahkan mungkin buat mereka jadi menyebalkan.
Pertanyaannya, salah siapa jika anak-anak itu jadi kesengsem berat dengan televisi ketimbang panggilan sholat? Jelas ini persoalan serius yang tidak bisa dipandang ringan. Jika anak-anak kita sudah demikian getolnya pada tivi, tentu saja sangat berbahaya. Masalahnya sampai saat ini, nyaris tidak ada acara yang disiarkan stasiun televisi, kacuali tayangan acara-acara yang jauh dari norma dan nilai-nilai agama.
Bu Kukun mengaku sulit untuk mengatasi anak-anak mereka dari hobi nonton tivi. Pasalnya, jika dimatikan ketika anak-anaknya sedang asyik nonton film kartun misalnya, pasti mereka akan menangis dan tidak mau makan, khususnya yang masih usia TK dan SD. Padahal saat itu adzan Maghrib sudah tiba. Sedangkan anak-anak yang lebih besar, jika tivi di rumah dimatikan, mereka pasti akan menonton ke rumah tetangga. Walhasil bu Kukun saat ini cenderung pasrah, membiarkan anak-anaknya menumpahkan hobinya. Baginya yang penting, tiga orang anaknya yang masih usia TK dan SD, tidak nangis dan tidak sulit makan.
Ini barangkali kesalahan Bu Kukun. Ibu itu sejak semula, kerap memberi makan anak-anaknya menjelang adzan Maghrib, sembari disetelkan tivi. Kebiasaan makan sambil menonton tivi itu, akhirnya terus menjadi kebiasaan anak-anaknya sampai sekarang. Untuk melarang dari menonton tivi, Bu Kukun menghadapi kesulitan. Apalagi bapaknya anak-anak sering pulang malam, sehingga tidak bisa membantu menertibkan anak-anaknya menonton tivi.
Problematika Bu Kukun, boleh jadi menjadi fenomena keluarga-keluarga masa kini. Di mana stasiun televisi bertambah banyak, dengan sajian beragam acara, dari mulai tayangan film kartun, film-film syirik, joged erotis, video klip cabul, kekerasan ala “smack down”, hingga adegan film-film sadisme dan kebebasan seks. Sementara hobi anak-anak menonton televisi kian tak terkontrol. Atau mungkin sebagian besar keluarga modern di zaman kiwari ini, tidak menganggap muatan acara televisi saat ini sebagai masalah dan ancaman serius bagi anak-anak mereka?
Tayangan-tayangan acara di televisi memang tidak bisa dianggap remeh. Apalagi fenomena pornografi telah meresap kuat dalam hampir setiap acara di sejumlah stasiun televisi. Sebut saja misalnya, progam MTV yang dulu cuma bisa dilihat dengan bantuan antena parabola. Kini masyarakat bisa dengan mudah melihatnya di Global TV. Sejak 1 April 2002, Global TV menggantikan posisi AN Teve menyiarkan full program MTV, suatu acara yang menampilkan lagu-lagu dan klip-video asing dan lokal. Celakanya, program itu sangat digandrungi kaum muda. Padahal bila disimak isinya sangat vulgar.
Di dalamnya para pemirsa bisa melihat sebagian besar penyanyi asing dan lokal, dengan klip maupun syair-syair yang sama vulgarnya. Klip itu umumnya menampilkan penyanyi (khususnya penyanyi wanita) bergaya sensual, diiringi pendukung wanita-wanita berbusana sensual, dengan menampilkan adegan-adegan erotis.
Saat ini stasiun SCTV juga tengah disoroti lantaran menyajikan acara “Duel Maut”. Sebuah tayangan Inul Daratista yang berpasangan dengan artis-artis dangdut lainnya. Artis-artis dangdut itu berlomba mengeksploitasi fantasi seks melalui goyangan dangdut “maut” mereka.
Entah kenapa media massa, khususnya televisi, sampai saat ini begitu getol mengekspos dan mempopulerkan goyangan tak bermoral Inul. Padahal korban akibat tayangan erotis Inul dan kawan-kawannya terus berjatuhan. Baru-baru ini di Jakarta, seorang remaja belasan tahun memperkosa anak kecil yang baru berusia 3 tahun. Ketika ditanya, apa yang menyebabkan dia bernafsu memperkosa korbannya? Si pelaku menjawab lantaran terbuai fantasi seks goyangan Inul.
Kegawatan akibat tayangan erotisme di hampir seluruh stasiun televisi memang sangat mengkhawatirkan, Baru-baru ini Rhoma Irama, tokoh Raja Dangdut terkenal Indonesia mengatakan, dia akan mendatangi SCTV dan akan mendesak agar siaran Duel Maut Inul Daratista dihentikan. Karena Rhoma menganggap tayangan itu hanya untuk memenuhi selera rendah orang-orang yang bermoral bejad.
Bahwa televisi telah menjadi orangtua asuh kedua bagi anak-anak, memang sulit dinafikan. Atau bahkan ia telah menjadi orangtua asuh pertama anak-anak kita? Na’udzu billah. Jelas, gelombang perusakan moral lewat acara-acara televisi memang tidak bisa dibiarkan. Kita harus melawannya secara simultan dan terus-menerus. Secara sosial misalnya, kita bisa melakukan aksi protes lewat layangan surat-surat protes ke stasiun-stasiun televisi bersangkutan yang menyajikan acara-acara tidak bertanggungjawab itu. Atau kalau perlu kita kompakkan warga di RT kita untuk menggelar demo langsung di kantor-kantor penyiaran mereka.
Tapi yang lebih penting adalah pertahanan yang harus dibangun di rumah-rumah kita. Bangunlah kembali komunikasi yang kompak antara kita dan pasangan kita. Kita perlu membicarakan secara serius betapa berbahayanya televisi bagi pertumbuhan moral dan wawasan anak-anak. Jangan lagi ada di antara pasangan suami istri (pasutri) yang justru tidak care (perhatian) dengan masalah ini. Sepekan sekali, atau
sepekan dua kali, dan atau bahkan lebih dari itu, harus ada pertemuan suami-istri di rumah bersamaan anak-anak mulai menyetel televisi. Berilah pemahaman pelan-pelan kepada anak-anak kita akan hal-hal buruk akibat hobi nonton tivi. Perlahan-lahan dan terus-menerus kita beri pengertian pada anak-anak kita. Jangan pernah bosan. Ini memang butuh kesabaran.
Selain itu ajaklah anak-anak sekali-kali ke tempat-tempat lebih nyaman lahir batin, sebagai alternatif hiburan mereka. Mereka juga harus sesering mungkin ditemani dan diajak berkomunikasi. Dan yang tak kalah penting, sering-seringlah anak-anak kita ajak ke masjid. Wallahu a’lam. (sulthoni)