Home » , » Egoisme Pribadi

Egoisme Pribadi

Egoisme Pribadi
Publikasi 01/04/2003 07:53 WIB
eramuslim - Macet, macet, macet!
Baru masuk kota sudah macet. Di dalam kota juga masih macet. Bahkan di jalan-jalan protokol pun macet. Dimana sih di Jakarta ini yang tidak macet? Padahal jalan sudah lebar. Bahkan sudah banyak jalan dibuat satu arah. Terakhir malah banyak dibangun fly over dan under pass untuk mengurangi kemacetan. Tetapi mengapa masih juga macet?
Perbandingan antara pertambahan panjang jalan dan pertambahan banyaknya kendaraan tidak sebanding. Itu salah satu alasan. Sopir angkutan umum tidak disiplin dan sering ngetem di pertigaan, perempatan dan tempat-tempat umum. Itu sebab berikutnya. Pengguna jalan tidak disiplin dan saling serobot. Itu termasuk di dalamnya. Pemerintah salah melakukan tata kota, dimana kawasan pasar, terminal dan jalan raya menjadi satu. Ini jawaban lain lagi. Masih banyak jawaban yang lainnya. Namun semuanya berkonotasi ‘mereka’ dengan arti ‘pemerintah’, sopir angkot, para pedagang kaki lima di pinggir jalan dan lain-lain. Semua orang lain. Bukan kita. Semua yang berkonotasi orang lain adalah sesuatu yang diluar kontrol kita. Namun jika salah satu sebab itu adalah kita, maka saya percaya kita pun akan bisa membenahinya. Setidaknya dalam masalah kemacetan ini, kita akan sedikit bisa berkontribusi.
Coba kita urai lebih dalam. Mengapa para sopir angkot ngetem di perempatan? Karena jika ngetem di halte, sopirnya bilang, mereka tidak akan memperoleh penumpang. Karena kita, para konsumennya, malas berjalan agak jauh sedikit. Karena kita lebih suka mencegat angkot di tengah jalan, di pojok perempatan, tanpa peduli bahwa tindakan kita akan menyebabkan mobil di belakang terhalangi, atau kendaraan dari arah silang tidak bisa lewat jika itu lampu merah. Jika demikian, siapa yang menyebabkan sopir angkot ngetem di lokasi-lokasi yang potensial menyebabkan kemacetan panjang?
Mengapa para pedagang kaki lima enggan dipindahkan ke lokasi yang agak jauh dari jalan raya? Karena mereka bilang tidak ada pembeli. Dan pembeli itu adalah kita, yang malas jalan kaki lebih jauh sedikit. Yang ingin bisa membeli barang begitu turun dari mobil atau bahkan sambil di dalam mobil. Mampir sejenak, dengan tenang memilih-milih barang dan tidak sadar atau tepatnya tidak peduli bahwa di belakang antrian pun memanjang. Begitulah.
Sementara saat kita berada di dalam angkot dan bis kota, ataupun mobil pribadi yang terjebak kemacetan, kita mengeluh, menggerutu bahkan mengumpat orang dan pihak lain atas kemacetan yang sedang terjadi. Sementara jauh di depan, sumber kemacetan itu tidak menyadari bahwa mereka menyebabkan kemacetan dan diumpat banyak orang. Mereka itu adalah pengguna jalan yang menyeberang jalan sembarangan, juga naik turun mobil sembarangan, atau pengguna mobil pribadi yang main serobot. Dan termasuk diantara mereka itu adalah kita di waktu dan tempat yang lain. Tak percaya?
Pernahkah anda melalui jalan raya (Gunung Sahari) yang membelah Atrium dengan terminal Senen? Demi ketertiban, pemerintah sudah membangun jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua tempat itu. Pemerintah juga sudah membangun pagar pemisah jalur berlawanan, bahkan pagar pemisah jalur cepat dan jalur lambat. Tapi toh, kemacetan tetap saja terjadi, karena pejalan kaki yang dari atau menuju kedua tempat itu lebih memilih melintasi celah pagar besi yang telah dipotong sebelumnya dari pada sedikit berolah raga melemaskan kaki menaiki jembatan. Demikian juga yang terjadi di Jalan Senen Raya depan Atrium. Jalan itu hanya satu arah dan sangat lebar, tapi setiap pagi kemacetan terjadi karena rata-rata penumpang lebih suka naik dan turun di pojok, dekat perempatan. Pengguna jalan yang akan menyeberang pun juga menyeberang sembarangan, padahal dalam radius 300 meter, telah dibangun sebuah jembatan penyeberangan, satu zebra cross biasa dan satu zebra cross dengan traffic light. Tetapi para pengguna jalan lebih suka menempuh resiko menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan, dimanapun mereka ingin. Jembatan bagus itu pun sepi, dan zebra cross terabaikan. Itu hanya sedikit contoh.
Bahwa ada faktor-faktor penyebab lain, itu tidak kita nafikan. Tetapi disini kita ingin mengurai sesuatu yang bisa kita kontrol. Yang bisa kita kerjakan. Dan itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan individu-individu kita. Sesuatu yang disebut para pakar dan pemerintah sebagai tingkat disiplin bangsa yang lemah. Namun saya lebih suka menyebutnya egoisme pribadi yang tinggi. Egois untuk kepentingan kita sebagai perseorangan maupun institusi. Bagaimana tidak bisa disebut egois jika kita naik dan turun bis di persimpangan semata-mata karena kita ingin lebih cepat, lebih mudah tanpa peduli akibatnya pada orang lain? Bagaimana tidak egois jika kita menyeberang seenaknya hanya karena capek dan lama kalau harus naik jembatan tanpa peduli pengguna jalan lain harus ngantri menunggui kita lewat?
Saya hanya membayangkan, jika sebagian besar penumpang kendaraan bersedia menunggu angkutan di tempat yang seharusnya, maka tidak perlu ada kemacetan yang disebabkan angkot ngetem sembarangan. Jika sebagian besar pejala kaki bersedia menggunakan jembatan penyeberangan alih-alah memotongi besi pagar pembatas jalan, maka tak perlu lagi ada kemacetan di jalan-jalan umum. Jika,…
Jika kita bersedia lebih banyak sedikit memikirkan efek samping dari tindakan kita pada orang lain, maka kita akan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan budaya disiplin dan empati pada orang lain.
Pada gilirannya nanti, hal-hal besar lain akan dapat dicapai. Semisal pencegahan banjir karena saat hendak membangun kawasan puncak ingat keluarga, saudara dan teman di Jakarta yang bisa kebanjiran karena ulah kita. Tanah longsor tak perlu terjadi karena kerakusan dan keegoisan kita menebangi pohon-pohon hutan. Sesungguhnya salah satu dosa besar adalah berbuat kedzaliman terhadap banyak orang. (azimah rahayu/azi_75@yahoo.com)
Comments
6 Comments

6 comments:

sekali lagi ini kembali kepada pribadi masing-masing..
jangan selalu salahkan pemerintah, tapi introspeksi diri masing-masing,
kapasitas mobil jakarta sudah melampaui batas dari ketersediaan jalan yang tersedia , mau naik busway penuh sesak , naik angkutan umum juga banyak yang tidak nyaman, kita semua hanya bisa mengeluh dan menyerahkan permasalahan ini pada pemerintah ..
kenapa ga ada yg inisiatif sendiri untuk merubah hal ini.. sebelum merubah sebuah kota .. rubahlah diri sendiri terlebih dahulu

inilah jakarta, banyak orang-orang yang tidak bisa melepas ke egoannya dan akhir itu menimbulkan masalah salah satunya macet

Kendaraan di Indonesia itu sangatlah egois padahal lampu merah tetapi tetap saja di jalan dan akhirnya itu yang menimbulkan kemacetan

macet //

sudah biasa ...

thx info ....

jakarta macett ,,

Post a Comment

Terima Kasih telah Berkunjung. Blog Berstatus DoFollow.
Para pengurus Makalah Kita Semua Tidak selalu Online untuk memantau Komentar yang Masuk, Jadi tolong berikan Komentar Anda dengan Pantas dan Layak dikonsumsi oleh Publik. NO SPAM, NO SPAM, NO SPAM dan Sejenisnya.

 
 
 

Facebook

Status Makalah Kita Semua


Page Ranking Tool Site Meter
makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog SevenZero TV - Watch Live Streaming TV online My Ping in TotalPing.com
eXTReMe Tracker

Best Friends Yang Rendah Hati

 
Copyright © 2008 - Makalah Kita Semua , All rights reserved.