Home » » Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Posted by irapurwitasari on Friday, September 11th 2009

Komunikasi Verbal : Bahasa

Diantara semua bentuk symbol, bahasa merupakan symbol yang paling rumit, halus, dan berkembang. Kehidupan manusia tidak mungkin tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa kata. Setiap hari kehidupan manusia dikelilingi oleh kata-kata. Beberapa di antara kata itu kita dengar melalui radio dan televise, kita dengar melalui ungkapan orang, kata-kata lain kita baca melalui buku, surat kabar, majalah. Kata-kata seolah-olah mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk menyatakan maksud orang kepada sesamanya. Dan jangan lupa, kata-kata itu ada dalam setiap bahasa umat manusia karena merupakan bagian dari kebudayaan untuk menyatakan pendapat, pandangan, pikiran, dan perasaan. Kalau orang masih berbahasa maka dia masih sadar bahwa bahasa menunjukkan kesadaran manusia. Bahasa adalah medium untuk menyatakan kesadaran, tidak sekedar mengalihkan informasi. Bahasa merupakan media paling baik untuk menyatakan struktur kesadaran, kepercayaan, maupun peta kesadaran. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa bahasa menyatakan pikiran dan bahkan prosedur pengujian struktur berpikir tentang sesuatu (Whorf, 1956; Vygostsky, 1962; Fodor, 1988; Jackendoff, 1992; Pinker, 1994; Miller, 1996). Maka terdapat hubungan yang erat antara bahasa dengan kesadaran, seperti dalam pernyataan ‘kita berbicara dengan akal melalui bahasa’. Melalui bahasa kita mengetahui mental orang lain yang berekspresi dengan kata-kata (emosi). Manusia tanpa bahasa, mentalnya kurang lengkap.

Bahasa dapat membantu kita untuk memiliki kemampuan memahami dan menggunakan symbol, khususnya symbol verbal dalam pemikiran dan berkomunikasi. Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.

Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani setiap pikiran manusia. Kemungkinan adanya hubungan antara bahasa dan budaya telah dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic Amerika, Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di pusat keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya. Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang menjadi medium ekspresi” bagi kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya “sebagian besar secara tidak disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat hidup adalah dunia berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada aspek-aspek tertentu realitas.

Menurut hipotesis itu, perbedaan-perbedaan antara bahasa-bahasa jauh lebih besar daripada sekedar hambatan-hambatan untuk berkomunikasi; perbedaan-perbedaan itu menyangkut perbedaan-perbedaan dasar dalam pandangan dunia (world view) berbagai bangsa dan dalam apa yang mereka pahami tentang lingkungan. Hipotesis itu juga mengasumsikan bahwa bahasa tidak sekedar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat memengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Artinya, orang-orang yang berbahasa berbeda; Indoensia, Cina, Jepang, Rusia, cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasi lebih jauh dari pandangan ini adalah bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut. Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label terhadap apa yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-kategori yang mereka anggap tidak penting.

Orang-orang Eskimo dapat menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan (karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi budaya-budaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.

Dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat hambatan-hambatan dalam interaksi bahasa dan verbal, yaitu :

1. Polarisasi

Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. Dalam faktanya, kebanyakan orang berada di antara ekstrim baik dan ekstrim buruk, sehat dan sakit, pandai dan bodoh dan sebagainya. Namun demikian kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrim ini.

1. Orientasi Intensional

Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan cirri yang melekat pada mereka. Sebagai contoh, jika Sally dicirikan sebaga orang yang “tidak menarik”, kita akan, secara intensional, menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengarkan apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional, adalah kecenderungan untuk terlebih dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya. Kita melihat Fari tanpa memerhatikan cirri yang melekat pada dirinya.

1. Kekacauan Karena Menyimpulkan Fakta Secara Keliru

Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.

1. Potong Kompas (ByPassing)

Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna; makna ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.

1. Kesemuaan (Allness)

Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada kekeliruan di masa datang.

1. Evaluasi Statis

Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah.Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator tersebut berbicara. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang kita bicarakan itu dapat sangat berubah.

1. Indiskriminasi

Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.

Komunikasi Nonverbal

Bahasa tubuh adalah salah satu aspek komunikasi nonverbal di samping aspek-aspek komunikasi nonverbal lainnya yang berkenaan dengan seni, ruang dan waktu. Komunikasi nonverbal sama pentingnya dengan komunikasi verbal meskipun terkadang diabaikan. Kita sering tidak sadar bahwa rasa suka atau rasa benci kita kepada seseorang sering disebabkan perilaku nonverbal orang tersebut. Di antara sekian banyak perilaku nonverbal, senyuman, pandangan mata, atau sentuhan seseorang sering merupakan perilaku nonverbal paling berpengaruh. Tidaklah mengherankan jika seseorang bisa mabuk kepayang karena senyuman seorang lawan jenis. Konon, di Eropa bahasa tubuh merupakan indicator dari tingkat pendidikan dan kesopanan seseorang — suatu hubungan yang agak diabaikan di Amerika Serikat.

Komunikasi nonverbal merupakan tindakan dan atribusi (lebih dari penggunaan kata-kata) yang dilakukan seseorang kepada orang lain untuk bertukar makna, yang selalu dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu (Burgoon & Saine, 1978).

Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruang, pola-pola perabaan, gerakan ekspresif, perbedaan budaya dan tindakan-tindakan nonverbal lain yang tidak menggunakan kata-kata. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa untuk memahami perilaku antarmanusia, pemahaman atas komunikasi nonverbal itu lebih penting daripada pemahaman atas kata-kata verbal yang diucapkan atau yang ditulis. Pesan-pesan nonverbal memperkuat apa yang disampaikan secara verbal.

Terrence A. Doyle (2001) mengatakan bahwa studi komunikasi nonverbal adalah studi untuk menggambarkan bagaimana orang berkomunikasi melalui perilaku fisik, tanda-tanda vocal, dan relasi ruang/jarak. Akibatnya, penelitian tentang komunikasi nonverbal acapkali menekankan pada dimensi beberapa aspek tertentu dari bahasa.

Komunikasi nonverbal merujuk pada variasi bentuk-bentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seseorang itu berpakaian; melindungi dirinya; menampilkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, suara, nada, dan kontak mata (Eugene Matusov, 1996).

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi nonverbal adalah cara berkomunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, dan kontak mata. Cara ini memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, apalagi cara ini lebih kuat dari daripada interaksi verbal, meskipun harus diakui bahwa perbedaan isyarat membawa perbedaan makna. Gerakan kepala boleh jadi menyampaikan suatu pesan, tetapi maknanya dapat berbeda dari suatu budaya ke budaya lain. Misalnya seorang Inggris terpelajar akan mengangkat dagu sedikit untuk menunjukkan kesopanan, suatu perilaku yang dianggap kesombongan di Amerika dan juga di Indonesia.

Kita juga pada dasarnya ingin bisa mengendalikan komunikasi nonverbal kita sendiri sehingga kita dapat berkomunikasi secara lebih efektif. Eksekutif muda ingin belajar bagaimana mengkomunikasikan status, kekuasaan, dan kekuatan. Wiraniaga ingin mengkomunikasikan ketulusan. Pelamar kerja ingin mengkomunikasikan kompetensi, efisiensi, dan pengalaman. Dengan demikian, jelas bahwa ini semua merupakan tujuan yang penting. Sayangnya, komunikasi nonverbal begitu kompleks sehingga tidak mudah bagi kita untuk mencapai tujuan tersebut. Apalagi, jika kita tidak memiliki cukup pengetahuan yang memungkinkan kita membaca pikiran seseorang dari gerak-gerik, sosok tubuh, atau ekspresi wajah. Kita juga tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang komunikasi nonverbal untuk menetapkan aturan yang jelas mengenai komunikasi nonverbal yang menyangkut status atau kekuasaan.

Ketika orang Amerika menggenggamkan kedua tanganya di atas kepalanya, hal itu lazimnya menunjukkan kebanggaan dan terkadang kesombongan, sebagai tanda kemenangan atas musuh (seperti yang ditunjukkan oleh petinju). Akan tetapi bagi orang Rusia hal itu berarti persahabatan. Maka ketika Krushchev mengunjungi Amerika dan diberitakan lewat foto melakukan isyarat tersebut, jutaan orang Amerika marah karena mereka menganggapnya sebagai isyarat arogan atas keyakinan dan keunggulan komunisme atas Amerika dan kapitalismenya (Deddy Mulyana, 2003 : 171). Di Kolombia isyarat serupa tetapi dengan tangan yang setingkat dengan wajah berarti “Saya setuju dengan Anda”.

Pesan nonverbal juga memiliki cirri-ciri tertentu, yaitu :

1. Tanda-tanda Komunikasi Nonverbal Bersifat Ambigu

Tidak ada kamus yang dapat mengklasifikasikan semua tanda-tanda nonverbal. Karena semua tanda nonverbal itu tidak mempunyai makna denotative, yang ada hanyalah makna konotatif yang ditentukan oleh factor kebudayaan pemakainya. Selain tergantung pada latar belakang budaya, pemahaman atas makna pesan nonverbal sangat tergantung pada tujuan pesan nonverbal, konteks, dan derajat interaksi antar-peserta komunikasi. Misalnya, anggukan kepala dalam satu budaya bisa dianggap sebagai tanda setuju, namun dalam budaya lain mungkin berarti ‘Saya mengerti yang Anda katakan’.

1. Pesan nonverbal itu Berkelanjutan

Kalau Anda berkomunikasi secara verbal maka setiap saat kata yang diucapkan dapat Anda hentikan kalau Anda mau, tetapi bila berkomunikasi secara nonverbal maka Anda tidak bisa mnegontrol pengriman pesan tersebut. Itulah kenapa kita sebut pesan nonverbal itu berkelanjutan. Kita dapat menghentikan kata-kata verbal karena struktur kata-kata verbal itu secara jelas diatur dalam tata bahasa, misalnya setiap kalimat harus tersusun dalam Subjek, Predikat, Objek (SPO). Sementara pesan nonverbal tidak mempunyai syarat0syarat tertentu sehingga ia tidak bisa dianalisis berdasarkan tata bahasa. Jika kita hendak menganalis nonverbal maka analisis itu harus diletakkan dalam konteks budaya pemakainya.

1. Tanda Nonverbal Menggunakan Banyak Saluran

Sebuah kekhawatiran dapat dinyatakan dalam banyak saluran, tidak hanya melalui mata, tetapi raut muka, gerakan tangan, keringat atau kadang-kadang dia menyatakan suranya dengan desah napas panjang-pendek dan mengeluh. Dalam teori psikologi dikatakan bahwa setiap manusia selalu ‘menangkap’ sesuatu yang bersifat realitas dengan otak kanan, dan otak kanan itu cenderung digunakan untuk ‘menangkap’ sesuatu yang sangat holistic, umum sekali, oleh karena itu kita tidak bisa merinci apa yang kita tangkap.

1. Pesan Nonverbal Menunjukkan Batas Budaya

Pesan-pesan verbal ataupun nonverbal digunakan oleh setiap orang atau kelompok orang dalam masyarakat yang berbudaya, oleh karena itu jika kita ingin memahamimya maka kita harus terlibat dalam suatu pergaulan yang lama supaya kita dapat memahami pesan-pesan itu dalam konteks budaya. Itulah yang kita maksudkan dengan pesan-pesan nonverbal dapat menunjukkan batas-batas kebudayaan.

1. Pesan Nonverbal Selalu Ada Dalam Proses Komunikasi yang Rumit

Pesan nonverbal bersifat kontinu. Dia tidak saja melibatkan wajah, tetapi pandangan mata, gerakan alis mata, gerakan bibir, kerningan dahi, gerakan tangan, jari,dan lengan. Semua aktivitas fisik itu bisa dibedakan, namun jika dipandang dalam kesatuan gerakan maka aktivitas tersebut sukar dipisahkan satu sama lain. Proses komunikasi nonverbal itu rumit karena terlau banyak symbol yang disampaikan dalam waktu yang bersamaan, tidak ada sela, tidak ada frase. Dalam komunikasi nonverbal, seluruh pesan dan rangkain pesan ditampilkan secara serentak.

1. Pesan Nonverbal itu Bisa Dipelajari dengan Mudah.

Salah satu sifat kebudayaan adalah dapat dipelajari. Jika kita menganggap bahwa symbol nonverbal itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan maka symbol itu dapat dipelajari. Kita bisa belajar membungkukkan badan atau menutup dua telapak tangan pada waktu kita bertemu dengan orang Jepang. Kita bisa belajar dari lingkungan sampai kita terbiasa berbuat sesuatu sebagaimana dilakukan oleh suku bangsa setempat.

Untuk membahas gerakan tubuh, klasifikasi yang ditawarkan oleh Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (1969) sangat berguna. Kedua periset ini membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal berdasarkan asal-usul, fungsi, dan kode perilaku, yakni :

1. Emblim (Emblems)

Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, misalnya, isyarat untuk “oke”, “jangan ribut”, “kemarilah” yang dapat diisyaratkan dengan menggunakan gerakan tangan dan jari kita. Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau ungkapan tertentu.

1. Ilustrator

Ilustrator adalah perilaku nonverbal yang menerangkan bahwa pesan nonverbal digunakan untuk mengindikasikan ukuran, bentuk, dan jarak. Misalnya, ketika Anda memberikan pengarahan kepada seseorang maka Anda akan menunjukkan jarak suatu objek, apakah dekat/jauh, besar/kecil, atau tinggi/rendah (Simon Caper, 1997).

1. Affect Display

Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung makna emosional, seperti rasa marah, rasa takut, gembira, sedih, semangat atau kelelahan dan lain-lain. Fungsi ini membantu kita untuk menyatakan sikap dan emosi dalam relasi antarpribadi. Fungsi ini juga dapat meningkatkan relasi yang sangat tinggi antara para peserta komunikasi, misalnya meningkatkan simpati, atau daya tarik kepada lawan bicara.

1. Regulator

Regulator adalah perilaku nonverbal yang ‘mengatur’, memantau, memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika Anda mendengarkan orang lain, Anda tidak pasif, tetapi menganggukkan kepala, mengerutkan bibir atau kening, menyesuaikan focus mata, dan membuat berbagai suara paralinguistic seperti “mm-mm” atau “ooh”. Regulator terikat pada kultur dan tidak universal. Fungsi ini bermanfaat untuk mengatur pesan nonverbal secara seksama untuk meyakinkan orang lain dalam mengintepretasikan makna yang disampaikan secara verbal.

1. Adaptor

Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara pribadi, atau di muka umum tetapi tidak terlihat. Fungsi ini dimaksudkan sebagai fungsi pesan nonverbal untuk menyesuaikan pelbagai pesan baik verbal maupun nonverbal. Misalnya, gerakan-gerakan refleks seperti memegang jenggot, menggigit-gigit kuku, mengurai rambut sebagai gerakan yang tidak disadari atau disadari akan tetapi mungkin disembunyikan agar tidak diketahui orang lain (factor kesukaan atau untuk menyenangkan diri sendiri).

http://irapurwitasari.blog.mercubuana.ac.id/2009/09/11/komunikasi-verbal-dan-nonverbal/
Comments
5 Comments

5 comments:

panjang banget mas artikelnya.

aduhh baca y mpe ngantuk ..

heee ..

makasih posting y ..

thx mas postingan y ...

terima kasih banyak untuk informasinya ... semoga bermnafaat

Post a Comment

Terima Kasih telah Berkunjung. Blog Berstatus DoFollow.
Para pengurus Makalah Kita Semua Tidak selalu Online untuk memantau Komentar yang Masuk, Jadi tolong berikan Komentar Anda dengan Pantas dan Layak dikonsumsi oleh Publik. NO SPAM, NO SPAM, NO SPAM dan Sejenisnya.

 
 
 

Facebook

Status Makalah Kita Semua


Page Ranking Tool Site Meter
makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog makalahkitasemua.blogspot.com : Do Follow Blog SevenZero TV - Watch Live Streaming TV online My Ping in TotalPing.com
eXTReMe Tracker

Best Friends Yang Rendah Hati

 
Copyright © 2008 - Makalah Kita Semua , All rights reserved.