Mulla Shadra dan Filsafat Hikmah
Dalam sejarah peradaban filsafat Islam, Mulla Shadra adalah tokoh filsafat muslim yang diakui sebagai orang yang paling berjasa bagi lahirnya Filsafat Hikmah. Nama lengkap Mulla Shadra adalah Shadr Al-Din Syirazi. Ia dilahirkan di Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat.
Filsafat Hikmah Mulla Shadra ini merupakan sintesa baru dalam ranah dialektika dan dinamika perkembangan filsafat Islam. Dalam dunia filsafat Islam memang telah terjadi semacam dialektika pemikiran yang cukup menggembirakan. Dan filsafat hikmahnya Mulla Shadra ini merupakan satu penggal rantai dialektis filsafat sebelumnya. Kalau sebelumnya Ibnu Rushd telah menggaungkan pemikiran rasional –Aristotalian, maka as-Syuhrawardi tampil sebagai filsof iluminsme yang lebih bersifat intuitif sebagai antitesis terhadap rasionalismenya Ibnu Rushd. Pada ketegangan dialektis
inilah lahir Mulla Shadra yang mewartakan filsafat Hikmah sebagai sintesis keduanya.
Bahkan dengan filsafat hikmah ini, Mulla Shadra dikenal sebagai tokoh yang yang membangun aliran filsafat baru untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum neoplatonis yang diwakili al-Faraby dan ibnu Shina, filsafat iluministik, irfaninya Ibnu ‘Arabi serta tradisi kalam (teologi) yang pada waktu telah mencapai tahap filosofisnya melalui figur Nashiruddin Al-Thusi.
Secara epistemologis, filsafat hikmah atau yang lebih populer dikenal dengan Hikmatul Muta’aliyyah ini bertumpu pada tiga sumber pengetahuan yaitu intuisi intelektual (intuitif atau dzauq), pembuktian rasional (aql atau istidlal ) dan syari’at. Sehingga filsafat hikmah ini adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan rasional. Dalam kerangka ini, menurut Mulla Shadra, hikmah bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga realisasi yang mengubah wujud penerimaan itu. Merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dapat dicapai bukan hanya proses rasionalisasi, melainkan juga dengan mengikuti syari’at.
Adapun secara ontologis, filsafat Hikmah ini berdasar pada tiga hal yaitu:realitas wujud (ashalah al-wujud), ambiguitas wujud (tasyqiqul wujud) dan gerak substansial (harakatul jauhariyyah). Dalam ketiga kerangka pokok inilah secara aksiologis, Shadra berusaha menjawab masalah realitas mahiyah (kuiditas atau esensi), dan wujud (eksistensi) yang menyusun setiap maujud. Obyek material yang menjadi dasar penguraian masalah tersebut adalah satu yakni wujud (Being). Puncak dari filsafat ini adalah bermuara pada persoalan yakni tentang substansi. Yang menjadi masalah adalah mana yang secara hakiki wujud, esensi atau eksistensi. Dalam hal ini Shadra berkesimpulan bahwa yang benar-benar ada adalah eksistensi dan bukan esensi. Esensi hanyalah kreasi imajinatif manusia, ia sebenarnya tidak ada. Oleh karena itu, filsafat hikmahnya Shadra ini populer disebut dengan eksistensialisme Islam.