Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia. Teori itu juga diaplikasikan langsung baik pada perempuan maupun laki-laki. Sayangnya penerapan semacam ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan metodologis. Bila kita berbicara mengenai masalah generalisasi teori, maka teori Erikson seharusnya tidak digeneralisasikan secara universal. Apalagi menyangkut permasalahan jenis kelamin, sangat tidak tepat jika kasus perempuan dibahas dengan menggunakan teori Erikson.
Sebagian besar tahapan perkembangan yang dikemukakan Erikson merupakan hipotesis belaka. Hanya perkembangan masa kanak-kanak dan remaja yang didasarkan Erikson pada hasil penelitiannya. Mengenai tahapan perkembangan masa kanak-kanak, ia melakukan observasi terhadap anak-anak suku Sioux dan Yurok. Sedangkan mengenai remaja, ia melakukan analisis terhadap kehidupan tiga remaja putra[1]. Dari observasi dan analisis itulah ia mengemukakan teorinya mengenai delapan tahap perkembangan manusia dari lahir hingga lanjut usia, dalam buku pertamanya yang berjudul Childhood and Society pada tahun 1964.
Gagasan Erikson mengenai delapan tahap perkembangan manusia yang ditulisnya dalam buku tersebut banyak menerima kritik. Pertama, Erikson dianggap salah bila mengklaim teorinya itu sebagai sesuatu yang universal. Hal ini dikarenakan sampel penelitiannya terbatas pada dua suku primitif Indian. Tentunya hasil penelitiannya tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh budaya. Apalagi ia sendiri mengungkapkan pentingnya aspek sosial budaya sebagai pembentuk kepribadian seseorang. Dengan meyakini bahwa tahap perkembangan yang dikemukakannya berlaku universal, maka Erikson membantah sendiri pandangannya mengenai aspek sosial budaya.
Memang dalam penelitiannya mengenai tahap pembentukan identitas remaja, Erikson meneliti subyek dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Jerman, dan Rusia. Namun demikian, ia hanya menganalisis masing-masing satu subyek dari tiap negara tersebut. Pemilihan subyek semacam itu dianggap tidak representatif untuk menjelaskan perkembangan remaja. Belum lagi tahap perkembangan lainnya hanya merupakan hipotesisnya sendiri, yang tidak didasarkan pada observasi atau uji empiris apapun.
Kritik yang lebih tajam dan gencar datang dari kalangan feminis pada saat itu. Mereka menyetujui kritik sebelumnya bahwa teori Erikson tidak dapat diterapkan secara universal, apalagi pada perempuan. Mereka melihat bahwa delapan tahap perkembangan manusia (eight stages of man[2]) memang hanya untuk laki-laki. Mereka melandaskan kritik tersebut atas dua hal. Pertama, tahap perkembangan identitas, yang dianggap Erikson sebagai tahap perkembangan terpenting, hanya didasarkan pada analisisnya terhadap tiga subyek yang ketiganya adalah laki-laki. Kedua, meskipun Erikson mengobservasi baik anak laki-laki maupun perempuan pada suku Sioux dan Yurok, namun tulisannya dalam buku Childhood and Society hanya mengacu kepada anak laki-laki.
Contohnya dalam halaman 176 dari buku tersebut dituliskan,” The Yurok child is trained to be a fisherman”. Kata anak (child) tersebut jelas hanya mengacu kepada anak laki-laki. Hanya anak laki-laki yang dididik menjadi nelayan sedangkan anak perempuan di Yurok akan dipersiapkan menjadi ibu. Jadi ketika Erikson menggunakan kata child (anak) untuk mengacu kepada boy (anak laki-laki), maka ia seolah meniadakan anak perempuan dalam tulisannya. Erikson menganggap anak (child) hanya anak laki-laki (boy). ‘Kesalahan’ ini terlihat pula dalam kalimat berikut ini : Sioux limits itself in specializing the individual child for one main career, here the buffalo hunter (hal. 156). Memang benar bahwa di Sioux, anak laki-laki dipersiapkan untuk berkarir, yaitu sebagai pemburu banteng. Namun Erikson malah menekankan bahwa ada satu karir utama yang dipersiapkan untuk masing-masing anak (individual child), padahal yang dimaksudnya hanya untuk anak laki-laki. Jadi sekali lagi Erikson seolah melupakan bahwa yang dimaksud dengan kata anak tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.
Selain itu, Erikson sendiri melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap tahap perkembangan perempuan. Khususnya dalam tahap perkembangan identitas, yang merupakan tahap paling penting menurut Erikson. Ia mengatakan bahwa pada perempuan, tahap identitas ini tidak akan tercapai jika ia belum mengembangkan keintiman (intimacy). Keintiman ini hanya dapat dicapai bila perempuan menjalin hubungan dengan lawan jenis, menjadi seorang istri, dan selanjutnya menjadi ibu. Jadi menurut Erikson, identitas seorang perempuan ditentukan oleh keberhasilannya menjadi seorang istri dan ibu.
Sedangkan pencapaian identitas laki-laki tidak ditentukan oleh apapun, termasuk keintiman. Oleh karena itu tidak heran jika delapan tahap perkembangan yang dikemukakan Erikson diklaim sebagai tahap perkembangan khusus laki-laki. Hal ini dikarenakan dalam tahap itu Erikson terlebih dahulu mengurutkan pembentukan identitas baru kemudian tahap pencapaian keintiman. Dengan demikian jelas Erikson hanya mengalamatkan teorinya tersebut untuk pada laki-laki. Jadi ketika ia mengklaim teori itu untuk manusia secara keseluruhan, ia telah menggunakan laki-laki sebagai prototip manusia.
Menghadapi kritik tersebut, Erikson mencoba untuk ‘benar-benar’ meneliti perempuan. Ia melakukan analisis permainan (play analysis), dan melihat perbedaan gender dalam permainan anak-anak. Ia menemukan bahwa anak laki-laki dan perempuan membentuk permainan yang berbeda. Anak perempuan akan membentuk permainan dengan tipe interior, yang damai dan tenang. Mereka mengelompokkan kursi dan meja (furniture), manusia, dan hewan dalam posisi statis. Manusia diaturnya dalam posisi duduk, seperti bermain piano misalnya. Selain itu, mereka juga menggambar dinding yang rendah, dengan pagar dan teras. Kadang mereka juga memasukkan adanya pengganggu, yang biasanya laki-laki dan hewan. Sementara anak laki-laki menampilkan permainan yang dinamis. Mereka membentuk bangunan yang tinggi dan kokoh, seperti menara. Bila membangun rumah, mereka membangun dinding yang kokoh, yang tidak memungkinkan bencana datang. Mereka juga membuat mobil-mobilan ataupun hewan berjalan, yang keduanya menunjukkan suatu pergerakan dinamis.
Dari perbedaan dalam bermain tersebut, Erikson mengambil kesimpulan yang justru menegaskan pandangannya mengenai identitas perempuan. Menurutnya perempuan memilih permainan yang lebih bersifat menuju dalam diri, bukan keluar, sesuai dengan anatominya yaitu rahim dan vagina. Dalam pandangan Erikson, rahim dan vagina yang dimiliki perempuan merepresentasikan suatu kedalaman. Jadilah perempuan hanya berada dalam ruang dalam (inner space); ruang domestik, dan tidak keluar menuju ruang publik. Rahim ini juga identik dengan fungsi perempuan untuk melahirkan. Dan karenanya, perempuan pun identik dengan merawat dan mengasuh.
Lebih lanjut Erikson memandang laki-laki sebagai pribadi yang aktif karena terkait dengan fungsi penis yang berrsifat aktif, sedangkan perempuan pasif terkait dengan fungsi vagina yang bersifat menerima. Jadi desain tubuh perempuan, yakni vagina dan rahimnya diyakini Erikson sebagai penentu pembentukan identitas perempuan. Dengan rahim dan vagina yang dimilikinya, maka perempuan terikat bukan hanya secara biologis melainkan juga psikologis dan etis untuk secara pasif merawat anak dan melayani suami.
Pandangan Erikson yang tertuliskan dalam bukunya berjudul The Inner & the Outer Space : Reflections on Womanhood pada tahun 1964 itu mendapatkan kritik keras dari kelompok perempuan. Menurut mereka, Erikson membatasi pilihan perempuan untuk berdiam diri di rumah, menjadi istri dan ibu. Lebih dari itu, Erikson pun dianggap sama saja seperti Sigmund Freud yang menentukan takdir perempuan hanya berdasarkan anatominya.
Menanggapi kritik yang semakin keras, pada tahun 1975, Erikson menerbitkan kembali sebuah buku berjudul Once More the Inner Space. Dari judulnya terlihat bahwa ia tetap meyakini konsep inner space pada perempuan. Namun ia mengemukakan beberapa hal untuk ‘menenangkan’ kelompok perempuan yang mengkritiknya. Ia menyatakan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki keterbatasan dalam membuat pilihan. Laki-laki dibatasi oleh definisi sejauh mana mereka mampu (how they can be), sedangkan perempuan oleh apa yang dapat ia lakukan (what they can do). Ia juga menyatakan bahwa sebenarnya laki-laki memiliki kecemasan akan keberfungsian penisnya. Laki-laki juga iri terhadap kapasitas maternal perempuan untuk melahirkan dan menjadi ibu.
Namun pendapat Erikson ini memiliki kelemahan. Penjelasannya menunjukkan bagaimana ia menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah. Dalam hal memilih apa yang dapat ia lakukan pun, perempuan masih dibatasi. Sementara laki-laki sudah berhasil melewati batasan tersebut. Laki-laki sudah boleh memilih, sehingga keterbatasannya hanya terletak pada sejauh mana ia mampu berkarya dalam bidang yang telah ia pilih tersebut. Selain itu, kecemburuan laki-laki terhadap kapasitas maternal perempuan pun toh tidak serta merta menjadikan kehidupan perempuan lebih baik dibanding laki-laki.
Setelah mengetahui lebih menyeluruh tentang konsep Erikson yang sebenarnya, bukan berarti konsep ini tidak dapat kita gunakan dalam menjelaskan perkembangan manusia. Memahami perkembangan laki-laki dengan menggunakan kerangka teori Erikson tentu bukan merupakan suatu kesalahan. Namun mengadopsi pandangannya tentang perempuan, sama saja dengan membatasi pilihan perempuan dalam mengaktualisasikan potensi dirinya.
Sumber Acuan
Paludi, Michele A. The Psychology of Women. USA : Prentice-Hall, Inc. 1998.
Williams, Juanita H. Psychology of Women. Behavior in a Biosocial Context. 3rd ed. USA : W.W. Norton & Company, Inc. 1987.
[1] Remaja putra tersebut adalah seorang penduduk biasa di Amerika Serikat, Hitler di Jerman, dan Maxim Gorky yang kemudian menjadi penulis terkenal di Rusia.
[2] Man dapat diartikan sebagai manusia atau (hanya) laki-laki. Erikson sebenarnya memaksudkan kata man sebagai manusia (laki-laki dan perempuan).
Sumber: