Akarnya Ibadah, Pohonnya Keadilan, Buahnya Kesejahteraan Universal
Pilar-pilar pembangunan ekonomi dalam perspektif Islam
Apa sebenarnya yang hendak dibangun Islam di muka bumi? Jawabannya sederhana, sebuah harmoni. Harmoni manusia, antara kebahagiaan spiritual yang sesuai fitrah ciptaannya; kebahagiaan material yang juga menjadi kebutuhan dasarnya; serta keadilan sosial yang menjadi kebutuhan nuraninya. Bahkan pembangunan ekonomi yang bercirikan pergerakan materi pun, dalam perspektif Islam diwajibkan memenuhi kebutuhan harmoni dari ketiga kutub kehidupan itu.
Islam hadir dengan berbagai perlengkapan ajaran yang bersifat multidimensional karena akan menjadi tempat berpijak bagi peradaban manusia. Tantangan bagi kemanusiaan pada hakekatnya hampir tidak berbeda dari masa ke masa, hanya kemasan dan coraknya saja yang berbeda. Begitu pula dalam bidang pembangunan ekonomi, Islam menantang sistem-sistem yang berlaku di dunia khususnya pada saat Nabi Muhammad Shalallaahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Terdapat beberapa pilar penting dalam pembangunan ekonomi yang patut dicermati, diantaranya adalah :
Pembangunan ekonomi adalah ibadah
Di dalam Islam, sebagaimana semua jenis kerja rekayasa, pembangunan ekonomi adalah bentuk ibadah manusia untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak melalui proses-proses keduniawian yang sangat kompleks ini. Allah telah menegaskan kepada manusia untuk mencari manfaat akhirat dari apa saja kekayaan yang diberikan kepada mereka. Pembangunan ekonomi bukan satu-satunya upaya pembangunan manusia. Suatu ketika para sahabat Anshar ada yang merasa lega setelah kaum Muslimin dapat mengkonsolidasikan kekuatannya dan oleh karenanya mereka menganggap sudah saatnya untuk kembali berniaga. Allah Swt segera menurunkan ayat yang artinya:
“Janganlah kamu jatuhkan diri kamu ke dalam jurang kebinasaan.” (al-Baqarah: 185)
Arahan dari Rasulullah Saw juga sangat jelas ketika beliau bersabda bahwa yang beliau takutkan bukanlah kemiskinan yang melanda ummatnya, tetapi justru tatkala kemewahan dunia itu datang kemudian kaum Muslimin bersaingan dan berlomba-lomba di dalamnya sehingga menyebabkan kebinasaan.
Pembangunan ekonomi bertumpu pada pembangunan manusia
Letak keadilan adalah pada sikap, bukan pada konsep, karenanya Islam menekankan bahwa tulang punggung pembangunan ekonomi adalah pembangunan manusianya. Betapapun agungnya konsep dari al-Quran dan as-Sunnah tentang ekonomi tidak akan berjalan tanpa keadilan dari kaum Muslimin yang akan menegakkannya. Oleh karena itu Rasulullah Saw senantiasa memperhatikan tingkah laku orang-orang yang bekerja dalam bidang perekonomian dengan menekankan perlunya dibangun sikap keadilan ini. Beliau sering mengancam orang-orang yang berbuat korupsi, menimbun, spekulasi, dan lain-lainnya dengan ancaman yang pedih di akhirat nanti.
Pembangunan ekonomi bersifat universal
Dalam perspektif Islam, pembangunan ekonomi bersifat universal, artinya tidak hanya untuk menyejahterakan kaum Muslimin belaka. Rasulullah Saw bertransaksi ekonomi dengan siapapun termasuk orang Yahudi, bahkan sampai ke persoalan utang. Utsman bin Affan berdagang lintas negara dengan membawa komoditi perdagangan dalam jumlah yang sangat besar. Surat Quraisy sendiri mencerminkan pola perdagangan bangsa Arab pada umumnya pada musim dingin maupun musim panas yang tidak berubah pada zaman Islam. Dalam berinteraksi dengan segala jenis manusia di muka bumi ini pilar pertama (ibadah) dan kedua (keadilan) tetap berlaku. Partisipasi masyarakat dalam bidang pendanaan umum misalnya diwujudkan dengan zakat bagi kaum Muslimin dan jizyah bagi kaum kafirin.
Ada perangkat konstan dan fleksibel
Sendi-sendi pembangunan ekonomi dalam Islam ada yang bersifat pasti sepanjang zaman dan tidak berubah-ubah dan ada yang bersifat teknis. Ada yang bersifat pokok dan umum di samping ada yang bersifat cabang dan khusus. Ruang-ruang ijtihad dibuka dalam untuk mengantisipasi perkembangan zaman yang berubah-ubah. Sebagai contoh pengelolaan zakat, jizyah, ghanimah, fa’i dan lainnya pada masa Rasulullah Saw dan Abu Bakar Shiddiq masih bersifat sederhana. Harta-harta itu sering didistribusikan habis kepada pos-pos yang telah ditentukan pada saat terkumpulnya di tangan para pimpinan. Tetapi ketika daerah Islam telah demikian luas dan tanggungjawab pemerintahan mengharuskan pemerintah melakukan pengelolaan harta lebih bersifat ke depan, maka model pengelolaan berubah. Lembaga Baiytul Maal baru ada pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang pendiriannya terinspirasikan oleh cara-cara pengelolaan harta negara yang ada di Persia sebelum negeri itu ditaklukkan kaum Muslimin. Dalam kaitan ini kecerdasan dan sikap inovatif dari kalangan pemimpin dan ulama Islam sangat menentukan dinamika dan kemajuan peradaban perekonomian kaum Muslimin sepanjang zaman.
Ajaran dasar pembangunan ekonomi
Beberapa ajaran dasar dalam perekonomian Islam diantaranya adalah :
1. Kepemilikan hanyalah ada pada Allah Swt, oleh karenanya manusia boleh mengolah alam semesta ini dengan keadilan bagi seluruh manusia dan tidak boleh ada penguasaan mutlak atas harta benda yang mereka miliki. Konsekuensi dari hal ini tercermin dalam konsep zakat, pengelolaan tanah, penguasaan barang-barang strategis, kharaj, pengaturan tentang barang temuan dan lain-lain.
2. Harta kekayaan (modal) menurut Islam hendaknya dapat begerak dan berputar diantara manusia melalui mekanisme yang tersedia misalnya pewarisan, perdagangan, zakat, hadiah, dan lainnya sehingga jurang perbedaan antara kaya dan miskin tidak terlalu dalam meskipun tidak berpretensi untuk ditiadakan sama sekali.
3. Transaksi ekonomi diantara manusia tidak boleh bersifat merugikan satu sama lain dan oleh karenanya Islam mengutuk penipuan dalam perdagangan, monopoli, perdagangan fiktip, dan lainnya.
4. Institusi riba sangat ditolak dengan keras juga hal-hal lainnya yang berbau riba dalam sistem perekonomian manusia karena riba ini telah menjadi alat pemerasan sepanjang sejarah kemanusiaan.
5. Kerjasama-kerjasama ekonomi dibolehkan dalam berbagai bentuknya (mudharabah, murabaha, musyarakah, bayus salaam, dan lain-lainnya) di atas prinsip-prinsip ta’awun (saling menolong) dan takaful (saling menanggung).
6. Campur tangan pemerintah terhadap pasar adalah campur tangan regulatif yang bersifat moral. Diantaranya adalah sistem dan mekanisme pengawasan yang diterapkan kepada tingkah laku para pelaku pasar sehingga pasar dapat berlangsung dengan sehat. Umar bin Khattab pernah memeriksa pedagang-pedagang di pasar dan mengusir mereka yang tidak memahami prinsip-prinsip Islam dalam bermuamalah perekonomian. Rasulullah Saw pernah menolak untuk ikut campur tangan dalam penentuan harga pasar. Artinya pasar ditentukan oleh para pelaku pasar itu sendiri karena hal-hal yang menjadi tanggungjawab negara sudah jelas.
Kaum Muslimin telah menjalani sebuah perjalanan panjang terkait dengan pembangunan ekonomi ummat ini, baik yang bersifat positif maupun yang negatif. Dalam kerangka sistem negara Islam pasang surut penerapan ajaran syari’at tentang pembangunan ekonomi ini banyak tercatat dalam sejarah. Ada sosok-sosok khalifah yang sangat konsisten dengan sistem Islam sehingga pada zamannya amat terasa sekali bahwa nilai ajaran agama Ilahi ini dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan yang luar biasa kepada rakyatnya. Tetapi ada pula terjadi pada suatu masa munculnya sosok-sosok khalifah yang zalim, menindas, memeras, boros dan hidup penuh penyimpangan sehingga rakyat menjadi korban.
Strategi Umar bin Khattab
Umar bin Khattab adalah pemimpin kaum Muslimin yang wilayah kekuasaannya pada saat itu terdiri dari lebih dari berpuluh-puluh negara modern pada masa sekarang. Umar banyak melakukan terobosan ekonomi, misalnya dengan tidak membagikan tanah rampasan kepada pasukan perang. Melainkan, sejak saat itu tentara diprofesionalkan dengan gaji tetap yang memadai. Kebijakan Umar ini memberi ruang hidup yang sangat besar kepada masyarakat, karena penduduk-penduduk setempat yang negerinya ditaklukkan tidak jadi kehilangan pekerjaan mereka. Distribusi tanah yang besar-besaran biasanya tidak akan menguntungkan, apalagi membawa kemakmuran, bagi generasi yang akan datang. Hal itu juga akan melukai rasa keadilan dan menyebarkan benih-benih ketidakpuasan dalam masyarakat.
Umar bin Khattab telah menerima nasihat dari Wahid bin Hisham bin Mughirah yang menyarankan kepadanya untuk mencatat secara lengkap seluruh nama rakyat yang ada di dalam negara sehingga hal ini akan memudahkan pembagian harta kekayaan negara sebagaimana yang dilakukan di Syria. Umar kemudian menunjuk Tim Sensus Penduduk yang diketuai oleh Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk mendata penduduk menurut kepentingan dan kelasnya. Dengan dasar ini Umar menetapkan kebijakannya atas tunjangan-tunjangan kepada penduduk dengan berbagai tingkatannya, mulai dari sahabat-sahabat dekat Rasulullah Saw yang mengikuti hijrah dan Perang Badar sampai para penduduk biasa dari kalangan wanita dan anak-anak yang hidup pada masa itu.
Hazm bin Hisyam menuturkan pengalaman ayahnya tentang pribadi Umar bin Khattab:
“Saya melihat Umar bin Khattab membawa catatan (penduduk) suku Khuza’ah. Ketika sampai di Qudaid beliau memanggil semua wanita baik yang sudah kawin atau belum dan beliau sendirilah yang membagi-bagikan tunjangan kepada mereka. Kemudian beliau pergi ke Isfahan dan memberikan tunjangan kepada setiap orang.” Sebagai catatan, data penduduk tersebut tidak hanya dipegang oleh Umar tetapi juga oleh para gubernur di masing-masing wilayah.
Memoar Ibnu Khaldun
Kisah-kisah buram pelaksanaan pembangunan ekonomi di kekhalifahan Islam juga dapat ditemukan dalam catatan sejarah sebagaimana banyak ditulis oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Misalnya, fenomena kehancuran sebuah negara karena pembebanan pajak yang terlalu besar dari para rajanya. Keadaan itu terjadi ketika para raja mulai meninggalkan adat badawiyah-nya dan terjun ke dalam kemewahan yang membutuhkan banyak pengeluaran, baik untuk dirinya maupun untuk hadiah-hadiah, gaji pengiring, pengawal dan tentara.
Hal pertama yang dilakukan untuk mengongkosi kehidupan mewah itu adalah mengenakan pajak kepada penduduk yang semakin lama jumlahnya semakin besar. Sampai pada akhirnya penduduk tak mampu lagi membayar pajak. Ketika penduduk telah dikuras dengan pajak dan kebutuhan pendapatan negara terus meningkat maka raja akan mengenakan pajak atas hal-hal lainnya, seperti pajak atas barang dagangan. Besarnya pajak perdagangan ini pada saatnya akan menyebabkan kemerosotan dalam perdagangan karena harapan yang kecil dari pedagang untuk memperoleh keuntungan sehingga perekonomian tidak terkendalikan lagi. Inilah yang terjadi pada masa-masa terakhir daulah Bani Abbasiyah, Bani Ubaidi (Fathimiyah), di Andalusia (masa raja-raja kecil) dan al-Jarid di Afrika. Bahkan pada saat itu pajak juga dipungut bagi kaum Muslimin yang menunaikan ibadah haji sampai kemudian hal ini dihapus oleh Shalahudin al-Ayyubi.
Ibn Khaldun juga mencatat fenomena kehancuran perekonomian negara dengan ikut terjunnya para raja ke dalam perdagangan. Salah satu jalan yang ditempuh para raja untuk menambah pendapatan mereka tatkala pengeluaran bertambah banyak adalah dengan melakukan sendiri perdagangan dan pertanian. Raja merasa iri dengan keuntungan yang diperoleh para pedagang sehingga ia ikut terjun pada permainan pasar.
Ibn Khaldun menganalisa beberapa bahaya dari fenomena ini, yaitu :
Pertama, rakyat pedagang akan mendapatkan kesulitan untuk memperoleh barang dagangan karena kalah bersaing dengan para raja yang berdagang dengan modal besar serta fasilitas dan kekuasaan yang dimilikinya.
Kedua, raja dapat memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada petani atau pedagang dalam memenuhi keuntungan perdagangannya sendiri sehingga mengacaukan harga pasar.
Ketiga, modal dan harta para pedagang dan petani akan terus menerus tersedot pada kerugian-kerugian akibat perdagangan yang tidak sehat itu sampai akhirnya habis sama sekali dan menjadi orang-orang miskin.
Keempat, pada akhirnya timbul tingkat frustrasi yang tinggi dari kalangan petani dan pedagang dan mereka tidak mau lagi teribat dalam dunia itu yang berarti menambah masalah baru dalam negara karena bertambahnya jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Menurut Ibn Khadun keterlibatan para penguasa dalam perdagangan adalah sebuah cermin pemikiran dangkal, zalim dan bodoh. Kehancuran sistem perdagangan yang diakibatkannya jauh lebih besar dari keuntungan yang diperolehnya. Pada saatnya negara akan hancur karena itu. Raja hanya berfikir tentang keuntungan yang diperolehnya secara cepat, padahal sesungguhnya keuntungan itu bisa diperoleh dari pajak-pajak yang bertambah akibat perdagangan masyarakat yang bertambah maju. Ibn Khaldun menilai perdagangan raja (penguasa) menimbulkan destruksi pada peradaban dan menyebabkan disintegrasi bangsa.• Untung Wahono
Ekonomi yang Membahagiakan
Mengupas sejarah reformasi ekonomi Umar bin Abdul Aziz, dan mengapa kita gagal?
Umar Bin Abdul Aziz muncul di persimpangan sejarah umat Islam di bawah kepemimpinan dinasti Bani Umayyah. Pada penghujung abad pertama hijriyah, dinasti ini memasuki usianya yang keenam puluh, atau dua pertiga dari usianya, dan telah mengalami pembusukan internal yang serius. Umar sendiri adalah bagian dari dinasti ini, hampir dalam segala hal. Walaupun pada dasarnya ia seorang ulama yang telah menguasai seluruh ilmu ulama-ulama Madinah, tapi secara pribadi ia juga merupakan simbol dari gaya hidup dinasti Bani Umayyah yang korup, mewah dan boros.
Itu membuatnya tidak cukup percaya diri untuk memimpin ketika keluarga kerajaan memintanya menggantikan posisi Abdul Malik Bin Marwan setelah beliau wafat. Bukan saja karena persoalan internal kerajaan yang kompleks, tapi juga karena ia sendiri merupakan bagian dari persoalan tersebut. Ia adalah bagian dari masa lalu. Tapi pilihan atas dirinya, bagi keluarga kerajaan, adalah sebuah keharusan. Karena Umar adalah tokoh yang paling layak untuk posisi ini.
Ketika akhirnya Umar menerima jabatan ini, ia mengatakan kepada seorang ulama yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri, “Aku benar-benar takut pada neraka.” Dan sebuah rangkaian cerita kepahlawanan telah dimulai dari sini, dari ketakutan pada neraka, saat beliau berumur 37 tahun, dan berakhir dua tahun lima bulan kemudian, atau ketika beliau berumur 39 tahun, dengan sebuah fakta: reformasi total telah dilaksanakan, keadilan telah ditegakkan dan kemakmuran telah diraih. Ulama-ulama kita bahkan menyebut Umar Bin Abdul Aziz sebagai pembaharu abad pertama hijriyah, bahkan juga disebut sebagai khulafa rasyidin kelima.
Mungkin indikator kemakmuran yang ada ketika itu tidak akan pernah terulang kembali, yaitu ketika para amil zakat berkeliling di perkampungan-perkampungan Afrika, tapi mereka tidak menemukan seseorang pun yang mau menerima zakat. Negara benar-benar mengalami surplus, bahkan sampai ke tingkat dimana utang-utang pribadi dan biaya pernikahan warga pun ditanggung oleh negara.
Memulai dari Diri Sendiri, Keluarga dan Istana
Umar Bin Abdul Aziz menyadari dengan baik bahwa ia adalah bagian dari masa lalu. Ia tidak mungkin sanggup melakukan perbaikan dalam kehidupan negara yang luas kecuali kalau ia berani memulainya dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkannya pada keluarga intinya dan selanjutnya pada keluarga istana yang lebih besar. Maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi besar yang abadi dalam sejarah.
Begitu selesai dilantik Umar segera memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik berupa uang maupun barang, ke kas negara, termasuk seluruh pakaiannya yang mewah. Ia juga menolak tinggal di istana, ia tetap menetap di rumahnya. Pola hidupnya berubah secara total, dari seorang pencinta dunia menjadi seorang zahid yang hanya mencari kehidupan akhirat yang abadi. Sejak berkuasa ia tidak pernah lagi tidur siang, mencicipi makanan enak. Akibatnya, badan yang tadinya padat berisi dan kekar berubah menjadi kurus dan ceking.
Setelah selesai dengan diri sendiri, ia melangkah kepada keluarga intinya. Ia memberikan dua pilihan kepada isterinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas negara, atau kita harus bercerai.” Tapi istrinya, Fatimah Binti Abdul Malik, memilih ikut bersama suaminya dalam kafilah reformasi tersebut. Langkah itu juga ia lakukan dengan anak-anaknya. Suatu saat anak-anaknya memprotesnya karena sejak beliau menjadi khalifah mereka tidak pernah lagi menikmati makanan-makanan enak dan lezat yang biasa mereka nikmati sebelumnya. Tapi Umar justeru menangis tersedu-sedu dan memberika dua pilihan kepada anak-anak, “Saya beri kalian makanan yang enak dan lezat tapi kalian harus rela menjebloskan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.”
Selanjutnya, Umar melangkah ke istana dan keluarga istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan harganya ke kas negara. Setelah itu ia mulai mencabut semua fasilitas kemewahan yang selama ini diberikan ke keluarga istana, satu per satu dan perlahan-lahan. Keluarga istana melakukan protes keras, tapi Umar tetap tegar menghadapi mereka. Hingga suatu saat, setelah gagalnya berbagai upaya keluarga istana menekan Umar, mereka mengutus seorang bibi Umar menghadapnya. Boleh jadi Umar tegar menghadapi tekanan, tapi ia mungkin bisa terenyuh menghadapi rengekan seorang perempuan. Umar sudah mengetahui rencana itu begitu sang bibi memasuki rumahnya. Umar pun segera memerintahkan mengambil sebuah uang logam dan sekerat daging. Beliau lalu membakar uang logam tersebut dan meletakkan daging diatasnya. Daging itu jelas jadi “sate.” Umar lalu berkata kepada sang bibi: “Apakah bibi rela menyaksikan saya dibakar di neraka seperti daging ini hanya untuk memuaskan keserakahan kalian? Berhentilah menekan atau merayu saya, sebab saya tidak akan pernah mundur dari jalan reformasi ini.”
Langkah pembersihan diri, keluarga dan istana ini telah meyakinkan publik akan kuat political will untuk melakukan reformasi dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pemberihan KKN. Sang pemimpin telah telah menunjukkan tekadnya, dan memberikan keteladanan yang begitu menakjubkan.
Gerakan Penghematan
Langkah kedua yang dilakukan Umar Bin Abdul Aziz adalah penghematan total dalam penyelenggaraan negara. Langkah ini jauh lebih mudah dibanding langkah pertama, karena pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan kredibilitasnya di depan publik melalui langkah pertama. Tapi dampaknya sangat luas dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.
Sumber pemborosan dalam penyelenggaraan negara biasanya terletak pada struktur negara yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit. Tentu saja itu disamping gaya hidup keseluruhan dari para penyelenggara negara. Setelah secara pribadi beliau menunjukkan tekad untuk membersihkan KKN dan hidup sederhana, maka beliau pun mulai membersihkan struktur negara dari pejabat korup. Selanjutnya beliau merampingkan struktur negara, memangkas rantai birokrasi yang panjang, menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara itu negara menjadi sangat efisien dan efektif.
Simaklah sebuah contoh bagaimana penyederhanaan sistem administrasi akan menciptakan penghematan. Suatu saat gubernur Madina mengirim surat kepada Umar Bin Abdul Aziz meminta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan adminstrasi kependudukan. Tapi beliau membalik surat itu dan menulis jawabannya, “Kaum muslimin tidak perlu mengeluarkan harta mereka untuk hal-hal yang tidak mereka perlukan, seperti blangko surat yang sekarang kamu minta.”
Redistribusi Kekayaan Negara
Langkah ketiga adalah melakukan redistribusi kekayaan negara secara adil. Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, pemangkasan birokrasi, penyederhanaan sistem administrasi, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja negara, dan pada waktu yang sama, mensosialisasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah masyarakat. Dengan cara begitu Umar memperbesar sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.
Dalam konsep distribusi zakat, penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat, yang selanjutnya mendorong meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tapi juga dapat menjadi faktor stimulan bagi pertumbuhan ekonomi di tingkat makro.
Itulah yang kemudian terjadi di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tapi tak seorang pun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq zakat benar-benar habis secara absolut. Sehingga negara mengalami surplus. Maka redistribusi kekayaan negara selanjutnya diarahkan kepada subsidi pembayaran utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi sosial dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan negara, seperti biaya perkawinan. Suatu saat akibat surplus yang berlebih, negara mengumumkan bahwa “negara akan menanggung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah di usia muda.”
Mengapa sejarah tak berulang?
Sejarah selalu hadir di depan kesadaran kita dengan potongan-potongan zaman yang cenderung mirip dan terduplikasi. Pengulangan-pengulangan itu memungkinkan kita menemukan persamaan-persamaan sejarah, sesuatu yang kemudian memungkinkan kita menyatakan dengan yakin, bahwa sejarah manusia sesungguhnya diatur oleh sejumlah kaidah yang bersifat permanen. Manusia, pada dasarnya, memiliki kebebasan yang luas untuk memilih tindakan-tindakannya. Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan akibat dari tindakan-rindakannya. Tetapi karena kapasitas manusia sepanjang sejarah relatif sama saja, maka ruang kemampuan aksinya juga, pada akhirnya, relatif sama.
Itulah sebab yang memungkinkan terjadinya pengulangan-pengulangan tersebut. Tentu saja tetap ada perbedaan-perbedaan waktu dan ruang yang relatif sederhana, yang menjadikan sebuah zaman tampak unik ketika ia disandingkan dengan deretan zaman yang lain.
Itu sebabnya Allah Subhaanahu wa ta’ala memerintahkan kita menyusuri jalan waktu dan ruang, agar kita dapat merumuskan peta sejarah manusia, untuk kemudian menemukan kaidah-kaidah permanen yang mengatur dan mengendalikannya. Kaidah-kaidah permanen itu memiliki landasan kebenaran yang kuat, karena ia ditemukan melalui suatu proses pembuktian empiris yang panjang. Bukan hanya itu, kaidah-kaidah permanen itu sesungguhnya juga mengatur dan mengendalikan kehidupan kita. Dengan begitu sejarah menjadi salah satu referensi terpenting bagi kita, guna menata kehidupan kita saat ini dan esok.
Sejarah adalah cermin yang baik, yang selalu mampu memberi kita inspirasi untuk menghadapi masa-masa sulit dalam hidup kita. Seperti juga saat ini, ketika bangsa kita sedang terpuruk dalam krisis multidimensi yang rumit dan kompleks, berlarut-larut dan terasa begitu melelahkan. Ini mungkin saat yang tepat untuk mencari sepotong masa dalam sejarah, dengan latar persoalan-persoalan yang tampak mirip dengan apa yang kita hadapi, atau setidak-tidaknya pada sebagian aspeknya, untuk kemudian menemukan kaidah permanen yang mengatur dan mengendalikannya.
Masalah di Ujung Abad
Ketika Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebuah ketetapan sejarah, bahwa di ujung setiap putaran seratus tahun Allah Swt akan membangkitkan seorang pembaharu yang akan akan mempebaharui kehidupan keagamaan umat ini. Ketetapan itu menjadikan masa satu abad sebagai sebuah besaran waktu yang memungkinkan terjadinya pengulangan-pengulangan masalah, rotasi pola persoalan-persoalan hidup. Ketetapan itu juga menyatakan adanya fluktuasi dalam sejarah manusia, masa pasang dan masa surut, masa naik dan masa turun. Dan titik terendah dari masa penurunan itulah Allah Swt akan membangkitkan seorang pembaharu yang menjadi lokomotif reformasi dalam kehidupan masyarakat.
Itulah yang terjadi di ujung abad pertama hijriyah dalam sejarah Islam. Sekitar enam puluh tahun sebelumnya, masa khulafa rasyidin telah berakhir dengan syahidnya Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sofyan yang kemudian mendirikan dinasti Bani Umayyah di Damaskus, mengakhiri sistem khilafah dan menggantinya dengan sistem kerajaan. Pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam tidak lagi dipilih, tapi ditetapkan.
Perubahan pada sistem politik ini berdampak pada perubahan perilaku politik para penguasa. Secara perlahan mereka menjadi kelompok elit politik yang eksklusif, terbatas pada jumlah tapi tidak terbatas pada kekuasaan, sedikit tapi sangat berkuasa. Sistem kerajaan dengan berbagai perilaku politik yang menyertainya, biasanya secara langsung menutup katup politik dalam masyarakat dimana kebebasan berekspresi secara perlahan-lahan dibatasi, atau bahkan dicabut sama sekali. Itu memungkinkan para penguasa menjadi tidak tersentuh oleh kritik dan tidak terjangkau oleh sorot mata masyarakat. Tidak ada keterbukaan, tidak ada transparansi.
Dalam keadaan begitu para penguasa memiliki keleluasaan untuk melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan. Maka penyimpangan politik segera berlanjut dengan penyimpangan ekonomi. Kezaliman dalam distribusi kekuasaan dengan segera diikuti oleh kezaliman dalam distribusi kekayaan. Yang terjadi pada mulanya adalah sentralisasi kekuasaan, tapi kemudian berlanjut ke sentralisasi ekonomi. Keluarga kerajaan menikmati sebagian besar kekayaan negara. Apa yang seharusnya menjadi hak-hak rakyat hanya mungkin mereka peroleh berkat “kemurahan hati” pada penguasa, bukan karena adanya sebuah sistem ekonomi yang memungkinkan rakyat mengakses sumber-sumber kekayaan yang menjadi hak mereka. Bukan hanya KKN yang terjadi dalam keluarga kerajaan, tapi juga performen lain yang menyertainya berupa gaya hidup mewah dan boros. Negara menjadi tidak efisien akibat pemborosan tersebut. Dan pemborosan, kata ulama-ulama kita, adalah indikator utama terjadinya kezaliman dalam distribusi kekayaan. Jadi ada pemerintahan yang korup sekaligus zhalim, penuh KKN sekaligus mewah dan boros, tidak bersih, tidak efisien dan tidak adil.
Itulah persisnya apa yang terjadi pada dinasti Bani Umayyah. Berdiri pada tahun 41 hijriyah, dinasti Bani Umayyah berakhir sekitar 92 tahun kemudian, atau tepatnya pada tahun 132 hijriyah. Tapi sejarah dinasti ini tidaklah gelap seluruhnya. Dinasti ini juga mempunyai banyak catatan cemerlang yang ia sumbangkan bagi kemajuan peradaban Islam. Salah satunya adalah cerita sukses yang tidak terdapat atau tidak pernah terulang pada dinasti lain ketika seorang laki-laki dari klan Bani Umayyah, dan merupakan cicit dari Umar Bin Khattab, yaitu Umar Bin Abdul Aziz, muncul sebagai khalifah pada penghujung abad pertama hijriyah.
Yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz adalah mempertemukan keadilan dengan kemakmuran. Ketika pemimpin yang saleh dan kuat dihadirkan di persimpangan sejarah, untuk menyelesaikan krisis sebuah umat dan bangsa. Dan itu bisa saja terulang, kalau syarat dan kondisi yang sama juga terulang. Dan inilah masalah kita, pengulangan sejarah itu tidak terjadi, karena syaratnya tidak terpenuhi.• M Anis Matta
Ruhul Qur’an dalam Ekonomi
Sebagai rujukan utama kehidupan manusia, ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi yang berkenaan dengan pengaturan kehidupan ekonomi bertebaran. Mereka terselip di antara tema-tema besar al-Islam, baik aqidah, ibadah, maupun akhlaq. Ayat dan hadits itu memberikan prinsip-prinsip dasar kegiatan ekonomi, baik dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi, maupun sirkulasi barang dan uang dijelaskan secara mujmal (garis besar). Bimbingannya berupa dasar-dasar nilai agar dalam pelaksanaan mereka saling memberi manfaat, saling meridhai, bukan saling menzalimi.
Islam memberikan perlindungan terhadap sekecil apapun hak seseorang. Bahkan jika ada seseorang membela haknya, kemudian ia mati karenanya, kematiannya dihitung syahid fi sabilillah. Setetes darah dan secuil harta dilindungi hak-haknya oleh Allah Subhaanahu wa ta’ala.
Kekeliruan sebagian besar ummat manusia selama ini adalah menganggap bahwa aqidah sebagai urusan ke “atas”, sedangkan ekonomi merupakan urusan domestik, antar manusia sendiri. Karena pandangan keliru seperti itu akhirnya aqidah hanya dipandang sebagai urusan akhirat, sedangkan ekonomi semata-mata urusan dunia.
Akibatnya adalah keterbelakangan di bidang ekonomi yang fatal. Keterbelakangan ini menyebabkan kemiskinan merupakan musibah agama, sebab dekat sekali hubungan antara kefakiran dengan kakafiran. Dalam sebuah hadits Rasulullah disebutkan bahwa hampir-hampir kefakiran itu menghantarkan seseorang pada kekufuran.
Tak heran bila Rasulullah sangat getol menganjurkan ummatnya untuk menguasai dunia ekonomi dan mendorong mereka untuk terjun ke dunia bisnis. Dalam pandangan Islam, bekerja mencari nafkah disejajarkan dengan mereka yang pergi berperang, memanggul senjata untuk agama.
Lebih dari itu, dorongan Nabi kepada ummatnya itu tidak hanya ditujukan kepada individu-individu Muslim saja, tapi secara jama’i hendaknya menjadi gerakan bersama. Artinya, ummat Islam secara keseluruhan dan terorganisasi hendaknya membangun basis perekonomian yang kuat sehingga dapat mensejahterakan dan membahagiakan. Kesejahteraan dan kebahagiaan merupakan missi utama diturunkannya agama.
Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Celaan agama terhadap orang-orang yang terlalu mencintai dunia sama sekali jangan menyebabkan ummat Islam meninggalkan dunia usaha. Pemahaman keliru seperti itu telah menyebabkan motivasi berekonomi di kalangan sebagian ummat menurun. Pada gilirannya menjadi sebab kemunduran ummat di bidang lainnya, seperti penguasaan ilmu dan teknologi, serta penguasaan sumber-sumber daya yang lain.
Akibat yang lebih parah, dunia dikuasai dan didominasi bukan oleh mereka yang taat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan sungguh Kami telah menetapkan di dalam Zabur sesudah peringatan (Taurat) bahwa sesungguhnya bumi akan diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh.” (al-Anbiyaa’: 105)
Agar pemahaman keislaman kita utuh dan integral, dianjurkan agar kita kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta merefleksikannya dengan pola hidup Rasulullah dan para sahabatnya. Dari sana kita dapat memperoleh gambaran utuh tentang Islam, bukan serpihan-serpihan Islam yang dipungut dari sana-sini tanpa rekonstruksi ulang.
Ada dua ibadah yang selalu disebut-sebut hampir selalu bersamaan, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadist, yaitu shalat dan zakat. Shalat merupakan tiang agama, sedangkan zakat merupakan jembatannya. Zakat merupakan sarana utama dalam pendistribusian asset dan kekayaan ummat. Melalui zakat diharapkan sumber-sumber ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada orang-orang kaya saja, tapi juga terdistribusikan kepada para fakir miskin, sehingga mereka juga ikut merasakan nikmatnya. Dalam Islam, zakat merupakan rukun agama, sedangkan dalam perekonomian, zakat merupakan sarana terpenting dalam distribusi kesejahteraan. Dengan demikian, ekonomi dalam Islam masuk dalam bagian penting ibadah.
Begitu pentingnya masalah ekonomi tersebut, maka Nabi mengajarkan berbagai do’a yang berkaitan dengannya, diantaranya Rasulullah mengajarkan:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.”
Pada do’a ini ada dua hal yang mestinya kita berlindung kepada Allah agar terhindar darinya, yaitu kekafiran dan kefakiran. Do’a senada juga diajarkan Rasulullah:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah teman yang paling mengenaskan.” (Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Pada kesempatan yang lain Rasulullah juga mengajarkan suatu do’a:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati, dan aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” (Bukhari dan Muslim)
Rasulullah juga mengajarkan do’a:
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan fitnah yang disebabkan oleh kekayaan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan fitnah yang disebabkan oleh kemiskinan.” (Bukhari)
Masih banyak lagi do’a lain yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Hal itu menujukkan betapa sesungguhnya masalah ekonomi merupakan urusan penting dalam kehidupan manusia, sehingga Rasulullah selain memberikan bimbingan dan pedoman, juga mengajarkan do’a untuk mengiringi ummatnya dalam semua aktivitas perekonomiannya.
Dalam pandangan Islam, kaya dan miskin sama sama mengandung risiko. Di dalamnya terdapat fitnah, ujian, dan cobaan. Orang miskin yang sabar dan orang kaya yang dermawan merupakan sendi pokok kehidupan kemasyarakatan. Jika dalam sebuah negeri diisi oleh dua golongan tersebut, insya-Allah negeri itu akan makmur. Sebaliknya jika suatu negeri diisi oleh orang-orang miskin yang penuh dendam dan orang-orang kaya yang bakhil, maka tunggulah saat kehancurannya.
Negeri itu tidak pernah aman. Pencurian, penjarahan, perampokan, pembunuhan, dan berbagai tindak kriminal lainnya menjadi berita harian. Itulah sebabnya Islam memotivasi ummatnya untuk menjadi muzakki, orang-orang yang bisa membayar zakat. Untuk bisa menjadi pembayar zakat, setidak-tidaknya orang mempunyai penghasilan yang melebihi satu nishab.
Agar kekayaannya dapat mencapai lebih satu nishab, ummat Islam diharuskan bekerja keras dan cerdas. Semakin banyak pembayar zakat, maka semakin merata kesejahteraan, semakin tercipta kebahagiaan, ketenteraman, dan perdamaian. Bukankah hal itu yang menjadi idaman setiap insan?• Hamim Thohari
Ekonomi Sekular Berkali-kali Gagal
Ketangguhan bank-bank syariat sudah terbukti di masa krisis ekonomi dan moneter. Bahkan dalam dua tahun terakhir ini, di Indonesia, belasan bank konvensional diam-diam telah mengoperasikan outlet syariah. Dan tanggapan masyarakat, subhanallaah. Dari segi yang lebih mendasar, hal itu merupakan tanda-tanda keberhasilan para fuqaha dan ulama dalam merespon berbagai persoalan bangsa ini. Kebangkitan ijtihad –yang sesungguhnya merupakan kebangkitan bersama antara ilmu pengetahuan dan al-Islam— secara bertahap telah mulai mengambil tempat yang khusus di tengah masyarakat.
Syariat Islam tegak satu per satu sesuai prioritasnya, untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini. Sebagian bisa segera terlaksana dan menjadi rujukan hukum positif, sebagian lainnya harus menunggu suasana dan momentum yang tepat. No problemo.
Kerja keras para da’i di berbagai bidang kehidupan akan mempercepat lahirnya solusi-solusi praktis. Bidang ekonomi dan keuangan telah membuktikannya.
“Tindakan dan kebijakan para penguasa ateis dan sekularis di berbagai negara Muslim yang —secara konstitusional maupun non-konstitusional— memaksa rakyatnya meninggalkan syariat serta menerima nilai dan gaya hidup hidup Barat adalah sangat tidak realistis,” simpul Prof Umer Chapra, penasihat senior Badan Moneter Kerajaan Arab Saudi, dalam bukunya Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Perspektif Islam. Chapra merasa heran kenapa masyarakat Islam harus melepaskan sistem nilai dan keyakinannya dan harus mengadopsi milik orang lain.
Chapra menyebut para ateis dan sekularis itu out of touch, kehilangan daya rasa pada kenyataan di dalam masyarakatnya sendiri. Mereka tak mampu merasakan betapa kebangkitan Islam kini telah menjadi gejala yang sangat mengakar. Karenanya, mereka pada akhirnya butuh tipu muslihat, bahkan cara-cara kasar untuk menghapus Islam. Tindakan mereka ini akan menyulut kekerasaan yang kelak justru sulit mereka kendalikan.
Mereka berusaha mencekoki rakyat dengan filsafat materialis dan hedonis yang mengagungkan pola hidup konsumeristik, kebebasan seksual, serta pemuasan nafsu pribadi. Gaya hidup seperti ini akan merusak moral, mendorong orang bergaya hidup melebihi kemampuannya, mengurangi tabungan dan investasi, memperbesar pasak daripada tiang, serta melemahkan solidaritas keluarga dan sosial. Konsekuensi semua ini tidaklah sulit ditebak: kehancuran kepribadian bangsa (hei, rasanya itu bukan sesuatu yang belum kita alami).
Perjalanan sejarah telah membuktikan, bahwa pembangunan ekonomi berbasis pemikiran sekular atas masyarakat Muslim telah gagal berkali-kali. Pengalaman Khalifah al-Ma’mun dan dua penerusnya merupakan contoh nyata. Para penguasa ini sebenarnya tidak menentang Islam vis a vis. Mereka hanya berusaha mencekok rakyatnya dengan beberapa faham Mu’tazilah, yang oleh para ulama dikategorikan bertentangan dengan syari’ah. Sungguhpun mereka gagal, anehnya semua rejim sekular dan ateis yang memerintah bangsa Muslim mengulang model yang sama. Sekularisasi selama lebih 70 tahun di Turki telah gagal membahagiakan bangsa Turki, sebagaimana yang dialami juga oleh bangsa Iraq dan Syiria di bawah penguasa Ba’ath, juga oleh rakyat Tunisia di bawah Habib Bourguiba serta para pelanjutnya, dan rakyat Mesir Aljazair di bawah kediktatoran militer. Indonesia di bawah H M Suharto merupakan contoh yang paling di depan mata.
Maka cukuplah bangsa kita mengambil hikmah dari kehancuran bangsa-bangsa Muslim bergaya sekular dan ateis itu. Mari kita kerjakan blue-print baru strategi pembangunan ekonomi hari ini, meskipun seandainya besok kiamat akan terjadi.• wpr
Joserizal Jurnalis, dokter spesialis wilayah perang:
“Banyak Bicara Pecah, Banyak Bekerja Berkah”
Berjihad dengan jarum suntik. Begitulah yang terpancang kuat di dada Dokter Joserizal Jurnalis, SpBO (Spesialis Bedah Orthopedi). Di saat dokter lain sibuk melayani pasien di berbagai rumah sakit dengan upah melimpah, dia justru memilih berpayah-payah terjun ke daerah yang membahayakan nyawa. Ketua Presidium MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) ini ratusan kali menangani pasien korban perang dan bencana alam. Mulai dari Tual (Maluku Tenggara), Ambon, Galela, Halmahera, Bengkulu, sampai Aceh.
Tanggal 29 Oktober 2001 lalu Jose dan empat orang relawan MER-C —dr Hendry Hidayatullah, dr Yogi Prabowo, dr Dany K Ramdhan, dan Muhammad Azzam— berangkat ke Afghanistan. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk berjihad memberi bantuan medis gawat darurat.
Bersama rekan-rekannya Jose mengendarai mobil sejauh seribu kilometer lebih. Alasannya, “Misi MER-C memang mendatangi tempat yang tak ada lagi dokter mau yang mendatangi.” Mereka berhasil menembus Afghanistan lewat Quetta (perbatasan Pakistan-Afghanistan di sebelah tenggara), bahkan menerobos kawasan selatan sampai Kandahar yang merupakan jantung pertahanan Taliban.
Di Kandahar, mereka mempertaruhkan nyawa di bawah guyuran bom-bom Amerika yang turun bagai hujan lebat tak kunjung padam. Dalam perjalanan, jip yang dikendarai Jose terus diikuti pesawat tempur Amerika, mungkin dikira rombongan milisi Taliban (yang terbiasa mengendarai kendaraan jenis ini). “Pesawat-pesawat itu rasanya ada di atas kepala. Ledakan bom yang cukup dekat membuat telinga kami sakit dan berdengung,” kenang Jose.
Jose mengaku sempat takut juga. Tapi keadaan mencekam seperti itu sudah dialaminya berkali-kali sepanjang tiga tahun ini. Cuma, di Afghanistan memang membutuhkan urat nyali ekstra. “Saya pernah ke Maluku atau Aceh, tapi kan tidak ada rudal dan pesawat tempur. Kalau di Afghanistan, itu santapan tiap hari.”
Rentetan bom itu terus mengiringi aksi medis MER-C. Untunglah pengalamannya di berbagai kawasan darurat di dalam negeri telah membekalinya cukup banyak. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini sudah terbiasa melakukan operasi dengan peralatan seadanya. Bahkan sewaktu di Galela (Maluku Utara), Tim MER-C pernah mengamputasi kaki pasien dengan gergaji kayu.
Kondisi yang sama terjadi di Afghanistan. Pasien membludak sementara fasilitas medis di rumah sakit sangat minim. Peralatan suntik-menyuntik pun terpaksa dipakai beberapa kali. Celakanya, tidak ada alkohol atau zat untuk mensterilkan peralatan itu. Apa boleh buat, alat-alat itu pun terpaksa direbus di air mendidih.
Banyak lagi pengalaman mengesankan yang membuat Jose senantiasa rindu untuk kembali di daerah-daerah merana itu. Termasuk, beberapa kejadian ajaib yang mencengangkan. Semua itu dikisahkan kepada Saiful Hamiwanto dan Pambudi Utomo dari Suara Hidayatullah. Berikut ini petikannya.
Apa yang paling berkesan dari misi kemanusiaan ke Afghanistan kemarin?
Banyak perubahan dalam diri saya setelah dari sana, terutama dalam memaknai jihad dan perjuangan. Saya sangat kagum kepada orang-orang Afghan. Mereka tawakal dan hanya bergantung kepada tali Allah. Padahal mereka hidup miskin, susah, alamnya gersang, dan dibombardir tiap hari. Wajah-wajah Mujahidin yang luka-luka adalah wajah yang ikhlas dan... Subhanallah. Yang dilawan adalah angkatan perang terkuat di dunia (Amerika Serikat).
Saya bertemu Gubernur Kandahar Mullah Hassan dan Mullah Najibullah di Spin Boldak yang zuhud dan bersahaja. Mereka adalah orang yang berperan besar dalam memukul tentara Uni Soviet beberapa tahun lalu. Kaki Mullah Hassan putus sampai paha akibat perang itu. Namun beliau tegar, optimis, terbungkus dalam tutur kata yang lembut dan penuh hormat pada orang lain. Rasanya saya sedang berjumpa dengan para sahabat Rasulullah Saw.
Tapi citra yang dibentuk oleh Barat adalah Taliban yang keras, biadab, dan pelanggar HAM?
Sikap kepada orang kafir yang menindas mereka memang tegas. Namun kepada saudara sesama Muslim sangat ramah. Saya sendiri ketika bertemu pertama kali, terasa seperti teman akrab yang sudah lama tidak berjumpa. Batin kami seolah tersambung. Mereka tidak menganggap kami sebagai orang asing. Begitu salam, Mullah Hassan langsung memeluk saya dengan hangat. Bayangkan, seorang gubernur, orang besar yang punya reputasi luar biasa di medan tempur, memeluk saya tanpa harus cium-cium tangan segala. Kesannya sangat mendalam. Mereka sangat egaliter. Persahabatan begitu indah.
Menurut Anda, orang Afghan pantang menyerah dan tidak takut. Kenapa Kabul begitu mudah jatuh?
Saya sempat bertanya tentang hal ini. Menurut mereka, Taliban tidak kalah. Mereka mundur dan membiarkan Kabul jatuh sebab tidak ingin korban sipil berjatuhan. Selain itu, mereka ingin agar masyarakat menilai sendiri, bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan non-Taliban. Karena sikap itu, tidak mengherankan bila waktu itu sebenarnya belum terjadi pertempuran face to face antara Taliban dan Amerika Serikat. Yang terjadi cuma bom-bom berjatuhan, dan kadang mengenai orang Amerika sendiri.
Malah ada pula yang lucu. Taliban mengecat beberapa tank dan pesawat tempur rusak bekas Uni Soviet dulu dan dibiarkan di tempat terbuka. Pesawat Amerika terkecoh dan membombardir tank dan pesawat rusak itu.
Sempat banyak komentar tentang kepergian Anda, misalnya kenapa mesti ke sana sementara di sini masih banyak yang harus ditolong?
Persoalannya begini, seperti di Tual waktu awal kerusuhan, ummat Islam terjepit dan tidak ada yang menolong. Bagi saya, ahli bedah ortopedi, tidak perlu menunggu turunnya fatwa yang menyatakan berangkat ke Afghanistan ini fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Saya baca bukunya Abdullah Azzam, seandainya pemimpin kita melarang, kita bisa menolaknya. Ini menggambarkan betapa tinggi nilai jihad.
Saya juga tak perlu membuka buku-buku fiqih mazhab ini itu. Kalau sibuk memperdebatkan konsepsi fiqih, sementara situasinya sudah mendesak, jangan-jangan itu hanya jadi alasan untuk menghindari jihad. Bagi saya, terjun ke Afghanistan sudah merupakan fardhu ‘ain, sebab ada saudara yang dibantai. Dan saya yakin tenaga saya sangat diperlukan di sana. Saya pun tidak perlu minta izin orang tua, bahkan istri. Tentu saja saya harus memberitahu istri dan keluarga, tapi tidak perlu ada izin.
Sesama Muslim itu bersaudara, tidak peduli dia berada dimana. Amerika sedang membombardir Afghanistan, masak kita diam saja?
* * *
“Ummat Islam selalu teraniaya,” kata Joserizal. Kenyataan itu dilihatnya sejak di Tual, daerah konflik pertama yang dikunjunginya (April 1999). Jose yang saat itu tergabung dalam Tim Medis Mahasiswa (TMM) UI merasa prihatin. Pertama, tenaga medis tidak netral dalam menangani korban kerusuhan. Padahal ini merupakan syarat mutlak dalam etika profesi tenaga medis. Tenaga medis yang kebetulan mayoritas non-Muslim, enggan menolong korban yang beragama Islam.
Kedua, penyaluran bantuan (yang datang dari berbagai pihak) tidak adil. Bantuan itu dibagi tiga, yaitu untuk Kristen (Protestan), Katolik, dan Islam. Ini juga terjadi di Ambon, dimana ummat Islam yang mencapai 50% hanya mendapat 1/3 dari total bantuan.
Ketiga, ketika ummat Islam teraniaya, tidak ada LSM yang peduli. LSM seperti ICRC (Palang Merah Internasional), juga Palang Merah Indonesia (PMI), tidak ke sana.
Ketimpangan di atas mengusik pikiran Jose dan kawan-kawan. Lantas muncul keinginan untuk mendirikan Bulan Sabit Merah. Sayang, keinginan itu tidak bisa terwujud, terbentur Konvensi Jenewa yang tidak membenarkan satu negara mempunyai lebih dari satu lembaga kemanusiaan. Seperti kita tahu, di Indonesia sudah ada PMI.
Diskusi berlanjut, diikuti tujuh orang dokter dan beberapa mahasiswa FK UI. Keputusan akhir menyepakati berdirinya lembaga yang bisa bergerak cepat di daerah gawat darurat medis. Lahirlah MER-C pada 14 Agustus 1999.
Sekarang lembaga kemanusiaan ini mempunyai cabang di berbagai daerah, di antaranya Jakarta (pusat), Manado, Malang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Di luar negeri pun ada, yaitu di Jerman. “Insya Allah sebentar lagi Aceh,” kata Jose.
MER-C berasaskan Islam. Hal ini sempat menjadi perdebatan di antara pendiri MER-C sebab ada yang khawatir hal itu akan mempersempit ruang gerak. Namun Jose ngotot agar lembaga ini tidak malu-malu mengibarkan bendera Islam. “Tak perlu takut, sebab Islam mempunyai ajaran elegan yaitu rahmatan lil ‘alamin. Asas ini memungkinkan kita untuk leluasa bergerak dimana saja dan untuk siapa saja,” alasannya.
* * *
Dengan menganut asas Islam, apakah MER-C membuka peluang bagi relawan non-Muslim untuk bergabung?
Silakan saja. Kalau memang bisa bekerja sesuai dengan pogram kami, kenapa tidak? Pernah ada orang Bali yang beragama Hindu mengajukan lamaran. Kami oke saja. Kami yang berasas Islam ini tidak takut kok sama siapa saja.
Di lapangan apakah tidak ada kecurigaan pihak non-Muslim ketika Anda dan kawan-kawan bekerja?
Curiga mungkin ada. Tapi kami buktikan dengan menolong siapa saja tanpa membedakan golongan, etnis, atau agama. Di Tual, kami sering menolong pihak Kristen dan berkunjung ke rumah sakit Katolik. Salah satu pasien yang saya tolong adalah kemenakan Brigjen TNI Max Tamaela (mantan Panglima Kodam Pattimura, orang Kristen). Tangannya hancur kena bom dan harus diamputasi. Saya bilang bahwa saya Muslim, ahli bedah, dan akan menolong. Setelah keluarganya mengizinkan, ya saya tolong sebagaimana mestinya. Alhamdulillah tak jadi diamputasi. Kalau saya biarkan dia terkapar, sementara saya punya kemampuan untuk menolong, saya berdosa. Dalam sejarah kita mengenal Shalahuddin al-Ayyubi —tokoh yang saya kagumi— rela menolong musuhnya, Raja Richard The Lion Heart.
Ada pengalaman mengesankan ketika melakukan pertolongan medis di daerah non-Muslim?
Ya, misalnya di Tual. Ada pasien non-Muslim yang akan dioperasi dan harus dibawa ke rumah sakit. Di perjalanan kami dicegat kelompok Merah. Mereka menenteng panah, golok, senjata rakitan, bom, tombak, diacung-acungkan di depan hidung saya. Alhamdulillah lolos, setelah sopir kami, orang Irian beragama Katolik, berteriak, “Jangan diganggu, ini dokter yang sudah menolong saudara kamu.”
Di Halmahera, kami sempat putus komunikasi dengan dunia luar selama satu bulan. Saya kebingungan sebab terisolir bersama masyarakat yang terkepung musuh dan terus-menerus diserang paling tidak dua kali seminggu. Aparat keamanan kewalahan. Tidak ada lagi bantuan bahan bakar, makanan, dan peralatan medis. Kami terancam kelaparan.
Saya juga tak pernah melupakan prosesi penguburan massal warga Muslim yang dibantai di Masjid Al-Muhajirin Poppilo. Kondisinya sangat menyedihkan. Ratusan mayat terbakar hangus, dan tampak jelas sebelumnya mengalami siksaan berat. Pembunuhan di rumah ibadah merupakan hal yang keji dan tidak kenal etika, apalagi banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak.
Apa Ayatur-Rahman fii Jihaadil Afghan (ayat-ayat Allah di medan jihad Afghan) pernah juga Anda Alami di tempat lainnya?
Betul, misalnya di Tual. Ummat Islam cuma 20%, kampungannya terjepit di tepi pantai, sementara orang-orang Kristen berada di kawasan yang lebih tinggi. Orang-orang Merah menyerang dengan gencar dengan berbagai macam senjata. Hebat, ummat Islam mampu bertahan.
Setelah suasana aman dan Islam-Kristen berbaur kembali, baru saya tahu sebabnya. Orang Kristen mengaku sudah setengah mati menyerang tapi akhirnya lari sebab mereka melihat banyak sekali orang berpakaian putih-putih, tersebar dimana-mana, bahkan di pohon dan genting rumah. Ini kan aneh, tapi betul-betul terjadi.
Kejadian semacam ini juga terjadi di Halmahera dan Saparua. Mungkin itu disebabkan sikap ikhlas mujahidin dalam membela agamanya. Yang berjuang di awal-awal konflik adalah orang-orang yang mungkin dulu akhlaknya tidak baik tapi hatinya terpanggil dan ikhlas. Jadi, tolong hargailah orang-orang ini, jangan dilupakan. Tidak banyak lho orang yang mau maju ke medan perang membela agama. Dan tidak ada bedanya darah seorang profesor dan gelandangan di medan jihad, kalau memang itu diniatkan secara ikhlas.
Anda beberapa kali lolos dari ancaman maut. Apa yang Anda lakukan?
Sebenarnya konsep hidup seorang mujahid justru mengharapkan jangan lolos dari maut. Kalau bisa ya biarlah mati, sebab insya Allah akan syahid.
Memang Anda bercita-cita mati syahid?
Jelas dong. Mati syahid adalah kedudukan tertinggi dalam ajaran agama kita. Kalau ada orang Islam yang tidak ingin mati syahid, wah rugi sekali. Tapi ternyata mati syahid itu tidak gampang.
Bagaimana cara Anda melakukan pertolongan medis dalam situasi yang serba terbatas dan sulit itu?
Memang sangat sulit. Perlengkapan tidak ada. Tapi kita kan diberi otak oleh Allah dan ini harus dipakai untuk mengatasi situasi sulit. Ketika di Maluku misalnya, tidak ada persediaan antibiotik. Maka saya menggunakan madu sebagai gantinya. Orang-orang yang patah tulang dan terluka saya olesi madu. Berdasar literatur, di dalam madu ini ada zat yang merangsang perkembangan jaringan dan pembunuh kuman. Teori ini kurang populer di Fakultas Kedokteran, justru banyak ditentang. Tapi saya sudah membuktikannya di lapangan.
Untuk melaksanakan aksi di lapangan, darimana MER-C memperoleh dana?
Kami mengandalkan peran masyarakat, tidak pernah ada kucuran dari konglomerat atau luar negeri. Dana semacam ini biasanya dilandasi kepentingan tertentu. Kalau ada tawaran bantuan besar tetapi didasari kepentingan selain kemanusiaan atau tidak sejalan dengan visi dan misi MER-C, insya Allah akan kami tolak.
Sebelum melakukan aksi di lapangan kami biasa ngeteng (mengumpulkan dana). Modal terpentingnya adalah trust (kepercayaan). Maka dana dari masyarakat pun kami salurkan sesuai amanah. Kalau amanahnya untuk Ambon, ya kami salurkan ke Ambon. Kami juga membuktikan dengan bekerja serius. Di Afghanistan, kami terjun langsung ke kancah perang.
Kami juga yakin bantuan yang ikhlas akan membawa berkah. Ketika akan berangkat ke Afghanistan, ada orang yang menyumbang uang cukup banyak. Padahal hidupnya sangat sederhana. Saya lihat sendiri, sebab saya yang mengambil uangnya. Rumahnya biasa-biasa saja, terletak di sebuah gang sempit di Jakarta. Beliau ikhlas melepaskan bantuan. Yang semacam ini insya Allah lebih berkah daripada uang berjuta-juta tapi hasil korupsi.
Dalam waktu mendatang, MER-C akan tetap menitikberatkan pada aksi reaksi cepat atau mungkin akan lebih luas daripada itu?
Spesifikasi reaksi cepat tetap akan kami pertahankan, dengan melibatkan dokter-dokter yang mempunyai kerelaan hati. Selain itu, mungkin juga akan menjadi lembaga ZIS (zakat infaq shadaqah) khusus untuk kesehatan agar aksi kami bisa lebih cepat. Seperti kasus Afghanistan kemarin, semestinya begitu hari Selasa ada penyerangan maka hari Rabu kami sudah berangkat. Tapi karena kami harus mengumpulkan dana dulu, jadinya tidak bisa secepat itu. Mau minta ke lembaga ZIS ternyata sulit. Idealnya memang harus ada satu lembaga yang mengumpulkan dan mendistribusikan dana untuk berbagai sektor, termasuk kesehatan.
* * *
Joserizal lahir di Padang, 11 Mei 1963. Masa kecil sampai remaja dihabiskan di kota kelahiran. Tamat SMA hijrah ke Jakarta demi menuruti cita-cita orang tua agar dirinya menjadi dokter. “Dalam hal pendidikan, saya selalu menuruti keinginan orang tua,” ujar suami Dian Susilawati, Msi ini.
Padahal ketika kecil Jose ingin jadi astronot atau tentara. Ketika menjadi siswa SMAN 2 Padang, ingin menjadi ahli nuklir. Namun ketaatannya kepada orang tua membuat Jose lebih memilih profesi dokter.
Repot juga meniti profesi yang sebenarnya tak disukai. Apalagi Jose tidak suka dijejali hafalan rumus yang banyak dijumpai di bangku kuliah kedokteran. Akibatnya dia sempat mangkir dan lebih asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, atau politik. Cerita ringan seperti novel silat Kho Ping Ho sampai buku berat seperti Madilog karya Tan Malaka dilahapnya. Namun dasar otaknya encer, gelar dokter bisa juga diraih (1988). Jose lantas bertugas di sebuah Puskesmas di Padang.
Ketaatan kepada orang tua pula yang mendorong Jose mengambil program spesialis bedah ortopedi. Ceritanya bermula dari sebuah tragedi, ketika ibunya ditimpa musibah kecelakaan. Kakinya patah dan harus menjalani operasi. Dua tahun kemudian ternyata tulang yang patah itu tidak tersambung sehingga harus dioperasi ulang. Rupanya ini memberi kesan yang mendalam, dan sejak saat itu Jose ingin mendalami spesialis bedah ortopedi. Gelar ini berhasil digondol tahun 1999.
Meski telah menyandang titel dokter spesialis, perasaan Jose tetap biasa-biasa saja. “Saya baru merasa sebagai ‘dokter sungguhan’ setelah terjun ke Maluku,” ujarnya terus terang. “Inilah hikmahnya taat kepada orang tua, yaitu Allah selalu memberi jalan terbaik. Sekarang saya tidak hanya bisa mencari nafkah tapi juga berjihad.”
Namun ada satu hal yang tidak ditaati Jose, yaitu nama. Orang tua sebenarnya memberi nama Yus Rizal, yang kurang lebih berarti memberi kemudahan kepada orang lain. Namun Jose kecil enggan menyandang nama itu. “Kurang keren sih,” katanya sembari tertawa. Dia ingin nama yang terdengar gagah dan keren: Joserizal. “Maklum ya, masih anak-anak.”
* * *
Seorang dokter spesialis punya kesempatan jadi kaya, tapi Anda justru lebih sering terjun di kegiatan sosial-kemanusiaan. Mengapa?
Betul, saya bisa saja enak-enakan cari duit. Tapi semua yang saya lakukan ini menyangkut masalah amanah. Allah Swt menganugerahi keahlian, dan ini harus dipertanggungjawabkan. Mungkin bagi orang sekuler akan terdengar klise. Tapi saya rasakan bahwa pertanggungjawaban amanah ini merupakan inti ajaran Islam.
Seandainya ummat ini aman-aman saja, hidup makmur, tidak dizalimi, mungkin saya akan sibuk dengan praktik, kursus, melanjutkan program doktor dan bila perlu profesor. Tapi dalam kenyataannya kan tidak seperti itu. Ummat ini membutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian tertentu dan mau sedikit berkorban.
Bagaimana dengan kebutuhan ekonomi keluarga?
Saya praktik di beberapa rumah sakit, istri saya punya penghasilan sebagai pegawai negeri, dan ada sedikit tabungan. Kalau saya pas tidak di rumah, ternyata ada saja orang yang menolong. Kami yakin bahwa orang yang menolong agama Allah pasti akan ditolong oleh Allah melalui sesama Muslim. Seandainya tidak ada yang mau menolong, tidak masalah.
Bagaimana cara menanamkan pemahaman kepada keluarga agar bisa ikhlas melepas kepergian Anda ke medan jihad?
Yang terpenting adalah penanaman aqidah dan tauhid. Harus muncul keyakinan bahwa kita hanya bergantung kepada Allah Swt, bukan yang lain. Kalau sudah seperti ini, anak-anak tidak akan takut lagi kepada hantu. Istri tidak perlu khawatir saya tinggal sebab Allah akan selalu menolong. Yang menjaga keselamatan keluarga adalah Allah, bukan Joserizal. Jadi ya tidak masalah.
Kalau tidak ada pemahaman seperti itu, repot. Wah, nanti istri gua bagaimana, sekolah anak-anak, mertua saya, dan semacamnya. Akhirnya ya tidak akan berangkat.
Anda belajar hal seperti itu di mana?
Terutama sejak dari Maluku, dan lebih kuat setelah dari Afghanistan. Di sanalah saya melihat orang-orang yang hanya takut kepada Allah, dan tidak takut kepada siapapun. Ini berbeda dengan kebanyakan orang, tidak punya duit ngeri, tidak utang ke IMF ngeri, selalu minder. Bicaranya sih luar biasa. Kalau pidato selalu mengatakan, “Puji syukur kepada Allah Swt dan seterusnya.”
Apa benar perpecahan rawan terjadi di medan jihad?
Dalam hal menyikapi perbedaanpun saya banyak belajar di sana. Perbedaan di antara kita harus diminimalisir, apalagi ketika di medan jihad. Kita dituntut untuk bekerja. Kalau kita sibuk bicara dan diskusi, perbedaan akan makin besar, perpecahan makin mungkin terjadi. Muncullah kenakalan dalam pikiran untuk berpetualang, dan kadangkala nafsu kita yang membimbing pikiran, bukan Allah. Kalau kita banyak bekerja berkah Allah akan semakin banyak turun.
Anda juga menginginkan anak-anak kelak memilih jalan hidup seperti itu?
Jelas, sebab begitu mulianya mati syahid itu. Kalau anak-anak mati syahid, dia bisa memberi syafaat kepada orang tua yang tidak mati syahid. Maka saya akan mendorong Aisha, Nabila, dan Saladin (nama anak-anaknya) menjadi mujahid dan mujahidah.
Bagaimana tanggapan rekan seprofesi terhadap apa yang Anda lakukan selama ini?
Banyak yang sinis. Ngapain pergi jauh-jauh dan nampang di televisi, mau cari popularitas ya? Saya jawab, nampang di televisi itu ada risikonya lho, gua bisa dicatat CIA sebagai pendukung Taliban. Ya begitulah, komentar yang standarnya nilai-nilai duniawi. Mereka tidak memahami makna ukhuwah Islamiyah dan jihad. Tapi kalau orang tahu betapa tingginya nilai syahid, mungkin komentarnya tidak seperti itu.
Bagaimana Anda bisa meninggalkan tempat praktik?
Saya minta izin dan harus menyiapkan dokter pengganti. Kepergian saya jangan sampai menelantarkan pasien.
Sampai kapan Anda akan terus aktif di lembaga kemanusiaan?
Jihad itu seumur hidup. Saya akan menjadi relawan seumur hidup, meskipun tak lagi menjadi ketua presidium MER-C. Rata-rata teman di MER-C punya komitmen seperti itu.
Kami tidak ingin seperti orang kebakaran jenggot, mendirikan lembaga karena ada kasus Maluku dan ketika sudah aman lantas selesai. Lembaga ini hendaknya menjadi media ummat dalam aksi kemanusiaan, tidak hanya untuk ummat di Indonesia tapi juga dunia. Dalam waktu dekat insya Allah kami akan berangkat ke Chechnya.•
Muslim yang Jahil
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (al-Baqarah: 208)
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abas menafsirkan ayat di atas sebagai ayat yang membicarakan tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani (ahlul-kitab) yang telah menyatakan beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW tapi masih menginginkan untuk bisa dibolehkan memperingati hari suci mereka, Sabtu. Mereka beralasan bahwa kitab Taurat memuliakan hari itu dan mengajarkan tata cara memuliakannya. Sedangkan kitab Taurat adalah wahyu Allah juga. Maka turunlah ayat ini untuk menegaskan bahwa masuk Islam itu harus keseluruhan, tidak boleh setengah-setengah. Jangan sekali-kali beriman kepada sebagian dalam Islam, dan mengingkari sebagian yang lainnya.
Sementara Imam asy-Syaukani menafsirkan: “Kepada semua golongan kafir, musyrik, ahlul-kitab, munafiq yang di dalam hati mereka masih ada iman kepada Allah, Allah menyeru kepada mereka untuk masuk saja kepada Islam dan jangan bercerai berai. Sesungguhnya orang-orang musyrik, hati mereka percaya kepada Allah. Yahudi dan Nasrani telah diajarkan oleh agama mereka percaya kepada Allah. Orang munafiq juga percaya kepada Allah, tetapi hati mereka ingkar.
Tafsir Lughowi
Pada ayat ini terdapat dua kalimat yaitu as-Silmi dan Kaaffatan. Menurut penafsiran al-Kisa-i, as-Silmi boleh juga dibaca as-Salmi. Kedua kalimat itu bermakna menyerahkan diri dengan tulus hati. Sementara Kaffatan berarti semuanya atau secara keseluruhan.
Kalau arti ini ditujukan kepada mereka yang masih memiliki iman berarti seruan ini berlaku kepada kafir, musyrik, munafiq, dan orang yang lebih dahulu masuk Islam. Mulai saat ini mereka sekalian bersatu di dalam naungan Islam. Tetapi jika Kaaffatan ini kita jadikan ‘hal’ (keadaan) dari as-Silmi atau Islam itu sendiri, maka kalimat ini diserukan kepada orang-orang yang telah mengaku beriman kepada Allah supaya memasuki Islam secara keseluruhan, jangan setengah-setengah.
Komitmen Berislam
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa pada saat seseorang menyatakan diri sebagai muslim maka pada hakikatnya ia telah bertaubat (kembali kepada Allah) dan memulai kehidupan yang baru sekaligus meninggalkan pola kehidupan sebelumya baik berupa konsepsi, nilai, adat istiadat, dan perilaku.
Maka barangsiapa yang bertaubat tetapi ilmunya tidak bertambah bukanlah ia bertaubat. Barangsiapa bertaubat tetapi ibadahnya tidak meningkat tidaklah ia bertaubat. Barangsiapa bertaubat tetapi ia tidak bisa melipat tempat tidurnya pada malam hari (untuk shalat lail) tidaklah ia bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tetapi tidak bisa merubah akhlaqnya tidaklah ia bertaubat. Dan barangsiapa bertaubat tetapi tidak merubah cara berpakaian bukanlah ia termasuk orang yang bertaubat. (Al-Hadits)
Bertolak dari firman Allah dan hadits diatas kita bisa memahami bahwa salah satu konsekuensi seorang muslim adalah meninggalkan segala bentuk nilai-nilai, aturan, kebiasaan, cara berpakaian, perilaku yang tidak Islami atau yang jahiliyah. Ketika ahlul-kitab yang telah masuk Islam meminta keringanan kepada Nabi Muhammad SAW agar dibolehkan merayakan hari Sabtu dan menjalankan kitab Taurat, maka turunlah ayat tersebut menegaskan larangan orang Islam berperilaku seperti orang jahiliyah.
Hal ini dimaksudkan agar komitmen seseorang terhadap Islam itu utuh, tidak main-main. Kepribadian Islam tidak bercampur dengan kepribadian jahiliyah. Allah mencela kepada seorang yang menyembah-Nya berada di pinggir (tergantung situasi dan kondisi). Dan diantara manusia ada yang menyembah Allah (berada) di pinggir (QS. Al Hajj : 11)
Diriwayatkan Ibnu Hatim dari Ibnu Abas berkata: Dahulu orang-orang arab desa mendatangi Nabi SAW dan masuk Islam. Ketika mereka kembali ke kampung halaman dan dalam keadaan musim hujan dan panen mereka berkomentar sesungguhnya agama kita adalah baik, mereka berpegang teguh dengannya. Tapi jika mereka kedatangan masa paceklik mereka mengatakan tidak ada kebaikan dalam agama ini. Demikian pula penafsiran menurut Qotadah, Adh-Dhohak, Ibnu Juraij dan sebagian ulama salaf lainnya.
Abdul Rahman bin Zaid mengatakan seorang yang beribadah kepada Allah tersebut diatas adalah orang munafiq, dia menyembah Allah untuk meraih kekayaan dunia, jika sedang mendapat ujian dalam beragama dan dunia tidak diperoleh maka agama akan ditinggalkan dan kembali kepada kekafiran.
Jadi, kalau kita telah mengaku beriman dan telah menerima Islam sebagai minhajul hayah (pedoman hidup), maka seluruh isi al-Quran dan Sunnah harus diikuti. Semuanya diakui kebenarannya secara mutlak. Kita harus melatih diri untuk menjadi muslim sejati 100%, sekalipun dunia ini meninggalkan kita.
Janganlah kamu meninggal, melainkan hendaklah kamu menjadi Muslim sejati (QS. Ali Imran : 102).
Pendeknya seorang muslim wajib berikhtiar agar Islam berlaku dalam kehidupan baik secara individu, masyarakat dan negara. Selama hayat masih dikandung di badan perjuangan menegakkan syariat dalam semua aspek kehidupan adalah kewajiban yang tetap harus dipikul setiap individu muslim.
Jangan sekali-kali mengakui dan mengikuti nilai, adat istiadat, sistem kehidupan dan upacara yang bernuansa spiritual yang bukan dari Islam. Misalnya natalan bersama, pesta Valentine’s Day (tgl 14 Februari), sedekah bumi, selamatan HUT, kematian tokoh, dan lain-lain. Apalagi Rasul Bersabda: “Barang siapa yang mengikuti suatu kaum maka mereka adalah bagian dari mereka.”
Muslim yang sebenarnya adalah yang memiliki kesiapan secara fisik dan mental untuk menjauhi segala prktek kehidupan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Bila hal itu tetap saja kita lakukan, bisa jadi keimanan dan keislaman kita hanya sebatas pengakuan di bibir, karena keislaman kita masih menyisakan unsur jahiliyah pada sisi batin dan amal. Sebaliknya seorang muslim yang jahili memeluk Islam tidak secara murni, konsisten dan konsekuen.• Sholih Hasyim
Positive Thinking: Ajaran Khas Islam
Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda: Aku selalu mengikuti persangkaan hamba-Ku dan Aku akan selalu bersamanya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepadaku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di tengah keramaian maka aku akan mengingatnya di tengah keramaian yang lebih ramai lagi. Dan jika ia mendekati-Ku sejengkal maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan jika ia mendekati ku sehasta maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. (HR. Bukhari)
Sudah menjadi hukum kehidupan (sunnatullah) bahwa setiap perilaku sadar manusia lahir dari dinamika yang berlangsung di dalam jiwanya. Dinamika yang merupakan hasil interaksi antara potensi hati, akal dan nafsu itulah yang memberikan ‘perintah’ (secara cepat dan alamiah) kepada manusia untuk berbuat sesuatu.
Jika jiwa memberikan instruksi yang positif kepada seseorang maka akan lahir perbuatan-perbuatan (aksi) yang positif pula. Dampak aksi positif adalah reaksi positif dari berbagai pihak yang menjadi obyek aksinya itu, baik itu dari sesama manusia (muamalah) maupun dari Allah (ibadah).
Sebaliknya jika ‘order’ yang datang dari dalam jiwa berisi hal-hal yang negatif, maka ia pun akan berperilaku negatif. Konsekuensinya ia akan mendapatkan reaksi yang negatif pula. Proses kejiwaan yang sangat menentukan kebahagiaan manusia ini, dalam ilmu jiwa disebut dengan konsep diri.
Berasal dari Islam
Konsep diri, secara sederhana, adalah pandangan-pandangan tentang diri yang dimiliki dan diyakini oleh seseorang dalam menjalani kehidupannya. Pandangan-pandangan ini menjadi pengarah yang sangat menentukan segala tindak tanduk manusia. Karenanya ilmu manajemen modern berupaya mengembangkan nilai tersebut, konsep Possitive Thinking yang amat populer dalam dunia pengembangan SDM.
Sebenarnya, jauh sebelum konsep itu dikembangkan Barat, Islam sudah lebih dahulu memiliki rumusan dan kaidah-kaidah pokok sebagaimana yang tertuang dalam hadits qudsi di atas.
Dalam kitab Al-Lu’lu’ u wal Marjan matan hadits di atas disebutkan dalam tiga hadits yang berbeda yakni pada bab tentang keutamaan dzikir, doa dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah; bab tentang anjuran dzikir; dan bab tentang taubat dan kebahagiaan. Ini menunjukkan bahwa tema yang diangkat dalam hadits-hadits tersebut memiliki nilai yang amat mendasar.
Hukumnya Wajib
Menurut Imam Abi Jamroh, yang dimaksud dengan persangkaan (zhann) dalam hadits tersebut adalah pengetahuan. Sedangkan Al-Qurthubi dalam Mufham-nya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan persangkaan itu adalah perasaan yang yakin akan tercapainya harapan dan permintaan kepada Allah ketika berdoa, bertaubat, dan amal ibadah lainnya.
Barang siapa yang berprasangka bahwa Allah tidak menerima ibadah, tobat dan doanya, atau menganggap dan merasa semua itu tidak ada manfaatnya, maka ia sudah terjerumus ke dalam penyakit buruk sangka (su‘uzhann) yang pada gilirannya akan menjebloskannya ke dalam sikap putus asa. Barang siapa yang berputus asa dari rahmat Allah, maka ia sudah melakukan dosa besar, bahkan oleh Allah disebut termasuk ciri kekufuran. Nabi sendiri melarang sikap tersebut.
“Janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah (HR. Muslim)
Ancaman-ancaman tersebut secara tidak langsung seperti mewajibkan manusia untuk selalu berbaik sangka kepada Allah (husnuzhan). Di sisi lain hal itu juga menunjukkan bahwa Islam berupaya untuk men-setting manusia untuk senantiasa mendapatkan kebahagiaan dengan jalan ber-husnuzhann. Ini sesuai dengan misi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin.
Dzikir Berkualitas
Tentang pengertian ‘dan Aku bersamanya selama ia mengingat-Ku’, Abu Jamroh mengatakan: “Allah menyertai hamba-Nya ketika ia berdzikir sesuai dengan mutu dzikirnya.” Menyertai di sini bermakna menjaga dan melindungi serta memberikan pertolongan dan karunia-Nya di mana pun ia berada, selama ia terus ingat Allah.
Kualitas dzikir yang terbaik adalah yang integral antara hati, lisan dan perbuatan, yakni dengan mengerjakan segala yang diperintah Allah dan menjauhi semua yang dilarangNya. Cuma seringkali manusia bisa melakukan itu hanya ketika sepi, dalam arti hanya untuk dirinya saja.
Itulah sebabnya masih ada yang lebih baik, yaitu yang melakukan dzikir integral itu ketika di tengah keramaian. Tentu saja maksudnya bukan untuk riya, melainkan untuk tetap konsisten menghadirkan Allah dalam setiap langkahnya. Kalau ini bisa dilakukan maka Allah pun akan mengingatnya baik dalam sepi maupun dalam ramai. Dalam arti, Allah akan memuliakannya di hadapan manusia lantaran ia telah memuliakan dirinya di hadapan Allah.
Sedangkan maksud Allah mendekati hamba yang mengingat-Nya sehasta, sedepa dan dengan berlari adalah bahwa Dia akan memberikan ganjaran dari usaha si hamba mendekati-Nya dengan lebih cepat dan lebih banyak. Maka, seperti kata Qurthubi, “Sudah semestinyalah seseorang selalu berprasangka baik kepada Allah.”• Deka Kurniawan
Nasihat Ibrahim agar Selamat Dunia Akherat
Banyak kisah tentang orang yang bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Ada yang dramatis, ada pula yang biasa-biasa saja. Ada yang karena sebab-sebab sepele, ada pula yang melalui proses panjang sebagai hasil pergulatan pemikiran dan pergolakan ruhani. berikut ini adalah kisah orang yang telah sadar, yang ingin agar perilaku buruknya di masa lalu tidak lagi terulang.
Suatu hari, Ibrahim bin Adham yang sehari-hari dipanggil Abu Ishaq kedatangan tamu seorang laki-laki. Setelah menyampaikan berbagai pengakuan dosa dan kesalahannya di masa lalu dan tekadnya untuk bertobat, tamu tersebut ingin mendapatkan resep mujarab agar perbuatan lamanya tidak mudah kambuh. Kepada tamunya, Abu Ishaq menasihatkan, jika kamu mau menerima lima hal serta mampu melaksanakannya, niscaya kemaksiatan tidak akan mampu menyerang dirimu dan kamu tidak mudah dihancurkan oleh kelezatan duniawi.
Tolong beritahukan kepadaku tentang lima hal tersebut, wahai Abu Ishaq, kata lelaki tersebut.
Pertama, bila kamu akan melakukan kedurhakaan kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, janganlah kamu memakan rizki-Nya! kata Abu Ishaq mengawali nasihatnya.
Lalu, dari mana aku makan, bukankah semua yang ada di bumi ini rizki pemberian-Nya?
Lelaki itu mencoba mengomentari.
Begini, pantaskah kamu memakan rizki-Nya sedangkan pada saat yang sama kamu durhaka kepada-Nya? tandas Ibrahim.
Kedua, apabila kamu hendak berlaku durhaka kepada-Nya, jangan sampai kamu menginjak bumi-Nya! Abu Ishaq melanjutkan keterangannya.
Yang kedua ini lebih berat dari yang pertama. Segala sesuatu yang ada, mulai dari belahan timur hingga belahan barat adalah milik-Nya, lalu di mana aku mau bertempat tinggal? Adakah bumi lain selain bumi-Nya?
Belum selesai lelaki itu bertanya-tanya dalam hatinya, Ibrahim bin Adham melanjutkan penjelasannya, pantaskah kamu memakan rizki-Nya dan bertempat tinggal di wilayah-Nya sedangkan kamu terus menerus mendurhakai-Nya?
Ketiga, lanjut Abu Ishaq, jika kamu hendak melakukan kedurhakaan kepada Allah sedangkan kamu masih memakan rizki-Nya dan bertempat tinggal di wilayah-Nya, sekarang coba carilah tempat yang tak bisa dilihat oleh-Nya. Jika ada tempat seperti itu, silahkan kamu berbuat maksiat sebebas-bebasnya.
Wahai Abu Ishaq, mana mungkin aku dapat menemukan tempat seperti itu, bukankah Dia selalu melihat dan mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi? lelaki itu tak sabar mengomentari.
Pantaskah kamu memakan rizki-Nya, bertempat tinggal di wilayah-Nya, sedangkan kamu masih saja durhaka kepada-Nya dalam penglihatan dan pengawasan-Nya?
Keempat, jika malaikat maut datang kepadamu hendak mencabut nyawamu, cobalah kamu meminta kepadanya untuk diberi tangguh beberapa saat agar ada kesempatan bagimu untuk bertobat dengan tobat yang sesungguhnya dan beramal shaleh sebanyak-banyaknya, lanjut Abu Ishaq.
Mustahil ia mau menerima permohonanku, kata lelaki itu.
Demikianlah, kata Ibrahim melanjutkan, kamu tidaklah mungkin akan mampu menangguhkan kematian walaupun sesaat sehingga kamu dapat bertobat sebelum maut menjemputmu. Jika saat kematian sudah tiba, tak ada yang bisa memajukan ataupun mengundurkannya. Dengan demikian, tiada jalan bagimu untuk menyelamatkan diri.
Kelima, jika nanti pada hari kiamat Malaikat Zabaniyah telah datang kepadamu untuk menggiringmu ke neraka, usahakan untuk menolaknya!
Sampai di sini lelaki itu menangis sambil berkata, mereka tak mungkin membiarkanku begitu saja walaupun aku berusaha membela diri dengan berbagai alasan dan argumentasi yang masuk akal.
Jika demikian, bagaimana mungkin kamu mendapatkan jalan keselamatan? tukas Ibrahim mengakhiri dialognya dengan sebuah pertanyaan yang diharapkan dapat dijawab oleh lelaki tersebut dengan jawaban amal, sikap dan perilaku yang benar.
Nukilan kisah yang ditulis dalam berbagai kitab salaf tersebut memberi gambaran kepada kita tentang jalannya orang yang bertobat. Sesederhana apapun pertobatan seseorang pastilah melewati proses panjang dari hasil pergumulan dan pergolakan pemikiran. Ada dialog dalam jiwa, antara nafsu, aqlu dan qalbu. Ada tarik ulur, ada peperangan batin yang mungkin lebih hebat dari perang fisik manapun.
Bagi orang awam dialog batin seperti itu masih perlu bantuan dari orang lain, sebagaimana yang terjadi antara seorang lelaki dengan Ibrahim bin Adham di atas. Akan tetapi bagi mereka yang sudah pada tingkatan tertentu, mereka dapat berdialog dengan gunung, air, angin, langit, dengan malam, siang, dan dengan semua kejadian. Dialog dengan makhluq ciptaan Allah pada dasarnya adalah dialog dengan Allah, karena kita bukan Nabi juga bukan malaikat. Kita adalah manuisa biasa.
Dialog seperti itu dapat mengalirkan berbagai inspirasi, kesadaran, pemahaman baru, dan pencerahan batin. Lebih banyak kita melakukannya, akan menjadi lebih baik dan hasilnya akan memuaskan. Dialog seperti itu dapat melunakkan hati yang sebelumnya keras bahkan lebih keras dari batu. Jika hati sudah lunak, akan mudah menerima kebenaran, mudah menerima nasehat, mudah menerima pengetian. Dalam pergaulan kemasyarakatnya, ia akan terhindar dari sifat sombong, mau menang sendiri, egois, dan semau-maunya sendiri.
Mencerdaskan hati dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu melalui dialog dengan alam dan segala fenomena dan kejadiannya. Kedua, melalui dialog langsung dalam ibadah-ibadah ritual, seperti shalat, puasa, do’a, membaca al-Qur’an, dan dzikir.
Untuk itu ada baiknya jika kita menyiapkan waktu khusus untuk memberi kesempatan yang cukup kepada jiwa untuk mendialogkan berbagai hal. Proses dialog seperti itu dalam al-Qur’an disebut dengan Tabattul, yaitu perenungan yang dalam tentang berbagai hal melalui kontemplasi. Melalui ritual ini diharapkan kita mendapatkan ke dalam pemahaman, pengertian, dan hikmah di balik semua yang nampak. Dengan ilmu kita bisa memahami hal-hal yang nampak, yang kasat mata. Sedangkan melalui hikmah kita bisa menangkap makna di balik segala peristiwa, memahami yang tersirat di balik yang tersurat.
Perintah tabattul sesungguhnya sudah ada sejak wahyu ketiga diturunkan Allah kepada rasul-Nya, yaitu dalam surat al-Muzammil ayat 8:
"Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan."
Dalam berbagai terjemahan, tabattul biasa diartikan dengan beribadat, tapi dalam berbagai tafsir yang mu’tabar, tabattul adalah proses perenungan yang mendalam, yang melibatkan rasio dan rasa sekaligus. Melalu jalan ini diharapkan kita dapat memperoleh hikmah.
Mudah-mudahan kita termasuk ahlul hikmah.•
Ubahlah Lingkungan Kita
dengan Da’wah
oleh Ustadz Abdurrahman Muhammad, Pimpinan Umum Hidayatullah
Interaksi antar orang-orang dalam masyarakat menimbulkan dampak positif dan negatif. Jika masyarakat tempat berinteraksi itu baik, maka seseorang cenderung menjadi baik. Sebaliknya jika seseorang hidup di tengah masyarakat yang rusak, maka kecenderungannya menjadi rusak. Tentu ada satu dua kasus yang menyelisihi kecenderungan ini.
Karakter dan kepribadian seseorang juga sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pembawaan dan lingkungan. Faktor bawaan tidak ada yang menyangkal adanya, sebab setiap manusia lahir dengan pembawannya masing-masing. Itulah sebabnya antara individu yang satu dengan yang lain berbeda, tidak ada yang sama. Hingga saudara kembar sekalipun tidak persis sama.
Faktor lingkungan tak kalah besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian seseorang, bahkan sangat menentukan. Baik buruknya lingkungan sangat menentukan baik buruknya kepribadian seseorang. Lingkungan terdekat adalah keluarga, disusul kemudian lingkungan tempat tinggal (tetangga), lingkungan sekolah, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat secara keseluruhan, termasuk lingkungan global dunia yang semakin tak berjarak dengan berkembangannya teknologi komunikasi dan informasi.
Untuk mengurangi dampak negatif dari lingkungan yang kurang kondusif terhadap tumbuh kembangnya nilai-nilai akhlaqul karimah, demi menjaga kesucian dan kebersihan jiwa masyarakat, mencegah unsur-unsur kekejian dan kerusakan, Islam mensyari’atkan da’wah, amar ma’ruf nahi munkar. Inilah jalan yang harus ditempuh ummat Islam agar dunia terselamatkan dari marabahaya.
Seperti diketahui bahwa Islam sangat menjaga kesucian masyarakat dari segala bentuk kekejian dan kerusakan moral. Sementara di saat yang sama kita menyaksikan pada masyarakat Islam sendiri adanya kerusakan dan dekadensi moral yang menyebar luas di bawah legitimasi hukum dan perundang-undangan negara.
Media massa mempunyai andil yang sangat besar dalam menyebar luaskan kerusakan ini, melalui drama, telenovela, film-film porno dan setengah porno, sinetron, lagu-lagu, tari dan dansa.
Televisi yang sudah sangat familiar, bahkan telah menjadi bagian dari hidup kaum Muslimin setiap hari menyuguhkan adegan-adegan kekerasan dan kriminalitas, seakan film-film itu mengajari anak-anak muda kita sedetail-detailnya bagaimana cara berbuat kriminal. Di sisi lain dipertontonkan pula biduan dan biduanita melenggak-lenggok dengan kepribadiannya yang lembek, hal ini secara langsung mengajarkan kepada para pemuda muslim untuk berjiwa banci dan pengecut.
Di balik semua itu tentu saja ada skenario besar yang dirancang secara matang dan profesional oleh kekuatan-kekuatan internasional yang mempunyai modal besar untuk menghancurkan generasi Muslim dengan cara-cara canggih yang sulit dilawan.
Satu-satunya perlawanan kita yang paling memungkinkan adalah dengan menggencarkan da’wah, amar ma’ruf nahi munkar. Inilah satu-satunya alat yang diberikan oleh Islam untuk menangkal segala serangan musuh yang hendak menghancurkan nilai-nilai akhlaqul karimah yang kita bangun dengan susah payah. Dengan alat itu pula Allah Swt hendak mengangkat derajat ummat Islam beberapa tingkat lebih tinggai dari umat-ummat yang lain. Allah berfirman:
“Kamu adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imraan: 110)
Inilah jalan yang telah dibuka oleh Allah Swt bagi ummat Islam untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan moral yang diciptakan oleh golongan kuffar. Dengan kekuatan modal yang besar, ilmu dan teknologi yang canggih, ditambah dengan sumber daya manusia yang mencukupi, mereka berharap dapat mengubur nilai-nilai Islam sedalam-dalamnya.
Tetapi dengan kekuatan da’wah yang kita lancarkan dari orang per orang, dari kelompok kepada kelompok yang lain, dari harakah ke harakah yang lain, insya-Allah gelombang besar permusuhan mereka dapat digagalkan.
Jika ummat Islam tidak lagi menjadikan da’wah sebagai alat utama dalam memerangi gelombang serbuan kaum kuffar, maka tunggulah saat kehancurannya. Allahpun tak sudi menolongnya. Rasulullah bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kamu sekalian akan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, (kalau tidak) akan dikhawatirkan Allah mengirim siksa kepadamu, kemudian kamu berdo’a kepada-Nya sedang Dia tidak akan mengabulkan do’amu.” (HR. Tirmidzi)•
Ukuran Sebuah Kemewahan
Sore itu, saya tertegun mendengar celetukan anak saya, sewaktu kami sedang mendiskusikan tentang sekolah lanjutan yang akan ia pilih tahun depan, selepas SD. "Aku mau mondok asalkan dibelikan hand phone, seperti Kak Icha!", itulah syarat yang diberikannya terhadap saran kami agar ia meneruskan sekolahnya ke pesantren putri.
Gejala apa ini? Seperlu itukah anak SLTP memiliki hand phone sendiri? Kenyataannya, memang banyak santri putri di tingkat menengah itu yang membawanya ke pesantren.
Kak Icha, tetangga yang telah lebih dulu mondok memang menjadi idola anak saya. Dan ia menghabiskan hampir dua ratus ribu rupiah untuk pulsa hand phone setiap bulannya. Padahal, di pondok pun ada telepon umum yang bisa digunakan lokal maupun interlokal.
Antara kebutuhan dengan kemewahan, memang sulit dicari garis pemisahnya yang jelas. Seorang kaya dengan dua orang anak, memiliki 2 hektar tanah dengan tiga rumah besar di dalamnya untuk masing-masing anaknya, lengkap dengan kebun buah-buahan dan kolam renang pribadi. Dan karena penghuninya begitu sibuk, praktis rumah-rumah itu lebih banyak ditinggali tiga orang penjaga setiap harinya. Kebutuhan atau kemewahankah ini?
Kehidupan masyarakat sekarang memang sedang dihadang oleh serbuan alat-alat telekomunikasi yang serba canggih dan mewah. Mereka yang ingin sukses, atau bahkan sekedar bisa eksis dalam pertarungan memperebutkan hidup di jaman sekarang ini memang harus berlomba memanfaatkan seoptimal mungkin sarana yang ada tersebut.
Sebuah keluarga yang memiliki empat orang putra yang kesemuanya sedang bersekolah, bisa jadi memerlukan seperangkat komputer yang sekaligus bisa dipergunakan mengakses internet di rumah. Mereka pun memerlukan minimal lima kamar tidur untuk masing-masing anak dan orang tua. Tentu saja, rumahnya pun harus luas karenanya. Bisa jadi anak sulung dan seorang adiknya memiliki sepeda motor sendiri untuk memperlancar kuliahnya. Dan, kalaupun mereka memiliki dua orang pembantu rumah tangga sehingga sang ibu bisa lebih banyak waktu luang untuk menekuni bidang sosial dan dakwah di luar rumah, bisakah ukuran ini dikatakan mewah?
Tentu tidak, karena semua benda yang ada di rumah tersebut memang benar-benar bisa dimanfaatkan efektif, tidak sia-sia. Bahkan rumah yang besar pun senantiasa berguna untuk menampung sanak saudara dan teman yang sering bertandang ke sana, dan untuk tempat beragam kegiatan silaturahim dan sosial.
Lain halnya dengan hand phone yang dimiliki oleh anak SLTP yang masih belum bisa membatasi keasyikan ngobrol dengan teman di seberang hand phone, atau berjajar mobil mewah di garasi yang hanya dipakai berhura-hura, atau uang saku lima ribu rupiah sehari untuk anak SD.
Letak perbedaan antara kebutuhan dengan kemewahan, bisa ditinjau dari pemanfaatannya. Disebut kebutuhan jika dengan keberadaan benda tersebut akan diperoleh manfaat yang besar. Sementara jika tak ada nilai tambah yang berarti, berarti sebenarnya benda terseebut belumlah terlalu urgen untuk dimiliki, alias hanyalah sebuah kemewahan belaka. Dengan demikian, sebuah keluarga kaya (di mata orang awam) bisa dikatakan sederhana jika mampu memaksimalkan manfaat dari segala harta benda yang dimilikinya baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan lingkungannya. (Ira)
Hai, Para Muslimah, Berkaryalah!
Setiap orang selalu diberi kelebihan oleh Allah. Mengapa tidak digali dan dikembangkan?
Tak ada orang menyangka, Bu Atik bisa mengembangkan usahanya berjualan ikan presto dengan cepat. Padahal usaha itu hanya berawal dari iseng-iseng berjualan satu-dua kilo bandeng yang dimasak dengan sebuah panci presto peninggalan ibunya yang sudah berusia cukup tua. Rupanya tetangga kiri kanan cukup menyukai masakan Bu Atik, hingga berkembanglah cerita dari mulut ke mulut tentang keahliannya ini. Tak sampai tiga bulan kemudian, sudah ada dua orang pemilik gerobak ikan yang setiap harinya mengambil bandeng presto Bu Atik untuk diedarkan keliling desa hingga ke kota.
Begitu pula dengan kisah Bu Imas dengan donatnya. Bermula dari keinginan menambah uang saku sekolah ketiga anaknya, Bu Imas membuat donat untuk dititipkan di tiga buah warung yang ada di kampungnya. Ternyata permintaan terus bertambah, dan tetangga pun mulai suka memesan donatnya untuk berbagai acara besar. Dan kini, Bu Imas telah cukup dikenal di daerahnya dengan mengusung nama usaha catering 'NIKMAT'.
Apa yang dialami Bu Atik dan Bu Imas, adalah sedikit contoh dari sekian banyak sukses kaum ibu yang bermula hanya dari sebuah potensi kecil yang dikembangkan secara tak sengaja. Dan sesungguhnya, pada diri tiap manusia, tiap ibu dan tiap muslimah, tersimpan potensi dan kelebihannya masing-masing, yang satu waktu kelak mungkin bisa berkembang menjadi sebuah karya besar!
Potensi diri kaum muslimah, memang umumnya lebih banyak terpendam dan terkubur dalam-dalam. Kesibukan mengurus rumah tangga dan anak, telah menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya. Dan masih banyak yang belum menyadari, bahwa pengembangkan potensi diri muslimah, sesungguhnya bukanlah sekedar hak, melainkan sebuah kebutuhan!
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Setiap orang memiliki kebutuhan aktualisasi diri. Yaitu sebuah kebutuhan untuk menunjukkan potensi diri, sehingga mendapatkan pengakuan positif dari masyarakat di sekelilingnya. Pada akhirnya pengakuan dari masyarakat ini akan menumbuhkan rasa percaya diri, sehingga mampu mencitrakan dirinya dengan positif.
Contohnya dapat kita lihat pada kisah ibu yang menjahit sendiri baju untuk suami dan anak-anaknya, misalnya. Senyum dari suami, ucapan terima kasih serta kebanggaan suami ketika mengenakan baju buatan istrinya itu, adalah sebuah ungkapan pengakuan positif terhadap karya ibu. Begitu pula ketika anak-anak berebut untuk mengenakan baju buatan ibunya, dan ketika mereka dengan bangga menunjukkan baju tersebut kepada teman-temannya, semua itu merupakan pengakuan positif yang tak terhingga nilainya bagi pribadi ibu. Ibu merasa dirinya telah diterima dengan bangga oleh lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga. Berarti, kebutuhan aktualisasi diri ibu telah terpenuhi di tahapan paling dasar.
Citra diri positif sang ibu akan semakin kuat terbentuk, manakala aktualisasi dirinya semakin berkembang kualitasnya. Bukan hanya diterima dan dibanggakan oleh keluarganya saja, tetapi juga mendapatkan pengakuan positif dari tetangga dan teman-teman. Tentu saja ini harus diraih dengan menunjukkan sebuah karya pula.
Bu Atik dengan bandengnya dan Bu Imas dengan donatnya, telah berhasil memperoleh pengakuan positif dari masyarakat sekitar, sehingga terpenuhilah aktualisasi dirinya dalam tahapan yang lebih luas. Rasa percaya diri pun akan semakin besar, citra diri pun kian positif saja.
Pribadi yang telah memiliki citra diri positif, selanjutnya akan mudah mengembangkan sebuah kepribadian mulia dalam dirinya. Jika beroleh kebaikan mereka pandai bersyukur, tak sombong dan tak melupakan orang lain, sementara jika beroleh musibah pun mereka mudah untuk ikhlas, cepat memaafkan, dan tak suka mencari-cari kesalahan orang. Pendeknya, hanya mereka yang memiliki citra diri positiflah yang mudah membentuk karakter akhlaq Islami dalam dirinya.
Sebaliknya, mereka yang tak pernah mengembangkan potensi dirinya, sehingga tak sempat menghasilkan sebuah karya, walau hanya untuk suami dan anak, sulit untuk membentuk citra diri positif. Mereka merasa dirinya tak sedemikian berguna untuk orang lain, tak memiliki sesuatu yang patut dibanggakan. Keberadaan serta ketiadaan dirinya seperti tak banyak bedanya buat lingkungan.
Lebih buruk lagi jika sampai terpatri citra diri negatif, yang kerap ditandai gejala adanya perasaan minder, iri pada keberhasilan orang lain, hingga kegemaran membuang waktu hanya untuk bersantai-santai dan bersenang-senang semata.
Berkarya dan Berkarya
Aktualisasi diri akan bisa terpenuhi dengan cara mengkaryakan sesuatu. Manakala hasil karya ibu tersebut dipergunakan oleh orang lain, secara otomatis hal itu sama artinya dengan ungkapan pengakuan dari orang tersebut, dan dari lingkungan, terhadap potensi diri ibu.
Karya itu pun tak perlu terlalu muluk-muluk. Pada tahapan awal, sekedar memasakkan sarapan, mencucikan baju dan merawat kebersihan rumah pun sudah bisa dianggap sebuah karya. Dan jika suami pandai memuji dan mensyukuri jerih payah ibu tersebut, itu adalah sebuah langkah awal yang baik untuk upaya peningkatan rasa percaya diri ibu.
Tentu saja, tak cukup hanya itu. Kaum ibu harus memulai untuk peka terhadap potensi diri sendiri. Potensi itu jangan dikubur, tetapi harus dikembangkan. Dan tahukah ibu, Allah menciptakan setiap manusia dengan kelebihannya masing-masing?
Aisyah ra, istri Rasulullah, memiliki potensi kecerdasan yang hebat, sehingga beliau memilih untuk terus belajar dan belajar dari suaminya, hingga akhirnya beliau menjadi salah seorang perawi ratusan hadis yang sekaligus menjadi guru bagi banyak ulama.
Istri Rasulullah yang lain, Hafshah binti Umar, memilih untuk belajar menulis indah dan Rasulullah pun memanggilkan guru khusus untuknya. Sementara Zainab binti Jahsy, memilih untuk mengerjakan ketrampilan yang ia kuasai, yaitu menyamak dan menjahit kulit. Dengan ketrampilannya itu ia bisa memperoleh uang sendiri untuk ia sedekahkan kepada fakir miskin. Mungkin seperti Bu Atik dan Bu Imas, Anda juga suka memasak. Kembangkan kegemaran ibu ini untuk mencoba dan mencoba, belajar dan belajar. Hingga ibu menemukan satu spesifikasi yang paling tepat untuk diri ibu. Sekedar ahli membuat botok, pepes ikan, atau tempe goreng pun Anda bisa kembangkan. Bahkan sekedar ahli membuat bumbu juga tak mengapa.
Atau Anda punya keahlian bidang menjahit? Sekarang banyak toko yang menjual kain kiloan, sisa pabrik kain, dengan harga relatif murah. Mengapa tidak memanfaatkannya untuk membuat baju anak-anak, atau baju dan selimut bayi? Bahkan sprei, taplak atau sekedar sarung bantal pun tak mengapa.
Masih banyak karya lain yang bisa diperbuat. Anda bisa manfaatkan karya-karya tersebut untuk menambah ekonomi keluarga, atau untuk kegiatan sosial. Ada beberapa ide karya sederhana yang bisa dilakukan kaum ibu, dan selebihnya anda bisa menuangkan puluhan ide Anda sendiri. Selamat Mencoba!· Ira
Mulailah dari yang SederhanaBeberapa ide di bawah ini barangkali bisa membantu Anda untuk memulai berkarya:
|
Melatih Anak Rela Berkorban
Ikhlas berkorban adalah kemuliaan. Sejak dini anak-anak mestinya dilatih begitu. Bagaimana caranya?
"Uang hadiah puasa yang ibu kasih ke kamu masih ada kan, Sam?" tanya ibu agak curiga melihat Sammy anak lelakinya yang berusia 9 tahun membujuk adiknya Mona agar diberi sepotong coklat.
Sammy diam saja tak menjawab sambil sedikit menyeringai.
"Heh Sam..... serius nih ibu tanya. Kemana uangmu yang tiga puluh ribu itu? Masak habis dalam tempo dua hari. Boros sekali kamu! Beli apa saja sih kamu?! Ibu marah sekali lho Sam. Kalau kamu mubadzir gitu, masih banyak orang-orang yang kesusahan dan kelaparan. Pengungsi Ambon, Poso, dan Afghan, coba!...."
"Nah itu Bu.....itu Bu!" tukas Sammy mencegah "pidato" ibunya terlalu berpanjang-panjang kata.
"Apa Sam! Apa maksudmu "itu bu...itu bu"
"Maksudku ya itu Bu. Ibu belum-belum sudah marah-marah aja sih. Kemarin di sekolah ada pengumpulan dana solidaritas dunia Islam ya untuk Ambon, Poso, dan juga Afghan Bu. Ya sudah uangku hadiah dari ibu itu aku berikan saja semua. Kata Bu guru kan nanti juga diganti sama Allah. Sementara ini ya aku minta dikit-dikit aja kalau kakak sama adik jajan. Nah aku anak ibu yang patuh kan sama nasihat Ibu...solider!, solider!" ganti kini Sammy yang menceramahi ibu.
Ibu terpana, tak tahu mau bicara apa. Ia juga tak bisa protes misalnya "nyumbangnya sebagian saja Sam". Ya inilah hasil didikannya selama ini. Akhirnya sambil menahan haru, ibu menggosok-gosok kepala Sammy. Ternyata walau perangai Sammy agak keras, ia juga berhati lembut. Mau mengurbankan seluruh uang hadiah puasanya untuk saudara-saudara sesama Muslim yang sedang menderita. Bahkan lebih dari yang ibu kira.
Fragmen kehidupan yang men yentuh berupa dialog ibu anak di atas takkan bisa terjadi begitu saja bila sang ibu tak rajin menyemai dan memupuk potensi kemampuan berempati (dapat merasakan kesu sahan orang lain) dan berbelaskasih pada sesama sejak dini.
Allah swt mengabadikan sifat-sifat mulia itu pada diri Rasulullah Muhammad Saw di dalam Qur'an Surat At Taubah ayat 128: "Laqod jaa'akum rasuulu min anfusikum aziizun alaihi maa anittum. Harishun alaikum, bil mu'miniina raufur rahiim. Telah datang kepadamu seorang rasul, dari golonganmu sendiri. Terasa amat berat baginya apa yang kamu derita. Ia amat menginginkan kebaikan bagimu. Terhadap mu'min ia santun lagi penuh kasih sayang".
Rasulullah adalah sosok mulia yang sangat mudah berempati, bersangka dan berharap baik untuk saudara-saudaranya serta bersikap lembut dan penuh kasih terhadap mereka.
Bahkan pada akhirnya semua sifat tersebut dapat mengarah kepada kemampuan berkurban (at tadhiyah) mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan. Sebenarnya apa yang kita kurbankan dijalan Allah semuanya juga berasal dari Allah. Hanya saja ego dan besarnya sense of belonging (rasa memiliki) yang kita miliki membuat kita merasa telah berkurban ketika membelanjakan sebagian yang kita punyai di jalan Allah.
Padahal semakin banyak kita memberikan kontribusi tenaga, fikiran dan harta di jalan Allah, akan semakin banyak kemudahan yang Allah beri kan pada kita. Semakin kita berkur- ban dan banyak menolong di jalan Allah semakin besar pertolongan Allah yang kita rasakan, di antaranya ya keteguhan hati di jalan Allah. "Jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu dan mene guhkan pendirianmu." (QS. 47 : 7)
Agar bisa memerangi sifat bakhil dan enggan berkurban dalam diri kita, hendaknya kita meniru do'a Abu Bakar Ash Shidiq, "Ya Allah ikatkan harta pada tanganku dan tidak pada hatiku". Hanya memang di masa sekarang ini, saat orang-orang semakin egois, individualis dan apatis tidak mudah kita membiasakan diri dan anak-anak kita untuk terbiasa dan bahkan senang berkurban.
Lima metode yang diajarkan Abdullah Nashih Ulwan dalam buku "Pedoman Pendidikan Anak" dapat kita manfaatkan.
Metode pertama yang terbukti paling efektif adalah keteladanan. Awalnya kita mencoba meneladani bagaimana pengurbanan Nabi Ibrahim sekeluarga sampai dapat membangun peradaban berupa kota Mekkah Al Mukaromah. Nabi Ibrahim adalah simbol pengurbanan maksimal yang dapat dilakukan manusia. Bahkan rangkaian manasik haji hingga Idul Qurban adalah sebuah rekonstruksi jejak-jejak perjuangan Nabiyullah Ibrahim sekeluarga. Kemudian kita mencoba mencontohkan bagaimana kita juga selalu berusaha berkurban untuk orang lain.
Metode berikutnya adalah pembiasaan. Hendaknya kita selalu berupaya melatih anak mau mengalah dan berkurban pada saat ia memang harus mengalah dan berkurban untuk orang yang lebih lemah dan membutuhkan. Tetapi juga mampu berjuang dan mempertahankan haknya bila dizhalimi.
Selanjutnya metode yang ketiga yakni pemberian nasehat. Agar anak tidak jenuh, kita dapat mengemas nasehat tersebut secara halus dalam sebuah cerita. Misalnya sebuah kisah nyata di Inggris, ketika seorang laki-laki kehilangan sebelah tangannya karena menyelamatkan nyawa seorang anak kecil yang terjatuh ke rel kereta api. Begitu pula kisah-kisah indah yang termaktub di dalam Al Qur'an, misalnya di Surat Al Hasyr ayat 8-9. Bagaimana sahabat-sahabat Anshor saling bergegas, berlomba-lomba dan bersicepat untuk berkurban dan menolong saudara-saudara Muhajirin yang baru tiba di Yatsrib (Madinah). Dan kisah klasik yang luar biasa di ayat 9. "Wayu'tsiruna ala anfusihim walau kaana bihim khososoh. Dan mereka berbuat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) diatas dirinya sendiri walau mereka sendiri kelaparan."
Setelah turun ayat tersebut Rasulullah mengatakan pada Abu Thalhah "Allah tersenyum melihat kelakuan kalian berdua tadi malam". Ya kisah klasik itu memang bertutur tentang kejadian yang dialami sahabat Nabi Abu Thalhah dan istrinya Ummu Sulaim atau Rumaisha binti Milhan.
Malam itu Rasulullah didatangi seorang musafir yang sudah tiga hari tidak makan. Karena Rasulullah juga sedang tidak memiliki makanan maka disuruhnya orang tersebut mendatangi rumah Abu Thalhah. Padahal sebenarnya Abu Thalhah pun hanya tinggal memiliki satu porsi makanan untuk anak-anak mereka. Namun mereka tak ingin kehilangan satu peluang emas untuk berbuat kebajikan. Akhirnya anak-anak mereka beri pengertian dan ditidurkan. Mereka lalu mempersilakan tamu tersebut untuk makan sementara mereka memadamkan lampu di dekat mereka duduk dan berpura-pura makan agar tamu mereka tidak merasa sungkan-sungkan. "Toh kami baru malam ini saja tidak makan, besok rizeki bisa dicari lagi, sementara tamu musafir tersebut sudah tiga hari tidak makan." Subhanallah kisah-kisah klasik yang indah dalam sirah senantiasa merupakan nasehat yang terbaik.
Metode keempat adalah pengawasan hendaknya kita terapkan dalam keseharian interaksi kita dengan anak agar terpantau siapa diantara anak kita yang masih egois, masa bodoh dan tidak mau mengalah dan mana yang sudah mulai mau berkurban sedikit-sedikit.
Terakhir metode hukuman kita terapkan sebagai langkah terakhir jika memang benar-benar perlu dan kasusnya benar-benar sudah keterlaluan. Misalnya seorang kakak remaja yang ridak mau mengalah pada adik balitanya dan sebagainya.
Dengan bersungguh-sungguh dan bermujahadah serta berdo'a mudah-mudahan kita dan anak-anak kita menjadi orang yang senantiasa mau berkurban di jalan Allah.· Sitaresmi S Soekanto
Bila Suami Suka Main Pukul
“Ibu... saya sedih." Seorang penanya sesenggukan di ujung telepon ketika berkonsultasi dengan ustadzah dalam sebuah acara curhat di televisi."Suami saya Bu, orangnya suka mukul kalau sedang marah. Jika saya tak berada di dekatnya, tangannya terbiasa membanting barang atau merusak apa saja yang ada di rumah."
Setelah berhenti sejenak untuk mengurangi sesenggukannya, si ibu bertutur kembali, "Padahal dulu dia orangnya saleh, rajin ibadah. Saya justru belajar banyak kepadanya hingga saya sekarang pakai jilbab. Tetapi mengapa kelakuannya lama kelamaan berubah seperti setan, Bu?"
Sang ustadzah mendengar penuturan tersebut dengan penuh rasa haru dan menarik nafas panjang untuk mengatur diri agar tidak turut terbawa emosi. Sudah demikian sering, kasus pemukulan istri oleh suami seperti ini dikonsultasikan kepadanya.
Di berbagai rubrik konsultasi, baik di media cetak maupun radio, kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri pun termasuk kasus yang memiliki rating tinggi. Menurut LBH (Lembaga Bantuan Hukum)-Apik lembaga mereka antara tahun 1996 sampai tahun 2000 saja telah menangani 400 kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Di AS kekerasan dan kekasaran suami merupakan bahaya terbesar bagi perempuan, dibandingkan bahaya perampokan dan pencurian. Data statistik di sana menunjukkan bahwa dalam 9 menit terjadi kekerasan fisik terhadap perempuan, 25 % wanita yang terbunuh adalah oleh pasangan suaminya. Sedangkan di India 8 dari 10 perempuan yang berumah tangga mengalami kekerasan dari suaminya.
Beberapa pihak meyakini, jumlah yang terdeteksi mengenai kekerasan dalam rumah tangga selalu jauh lebih kecil dibanding jumlah sebenarnya. Hal ini umumnya disebabkan karena korban sering menganggap masalah pribadi dan merupakan aib rumah tangga yang perlu dijaga kerahasiaannya.
Kekerasan dalam rumah tangga (para ahli menyebutnya KDRT) adalah serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang terhadap pasangannya. Umumnya kekerasan dilakukan oleh suami terhadap istri. Persoalan semacam ini meskipun merupakan masalah sosial yang cukup serius namun seringkali kurang mendapat perhatian baik dari masyarakat maupun aparat keamanan. Penyebabnya adalah karena kasus kekerasan ini terjadi dalam lembaga perkawian, sedangkan campur tangan pihak luar biasanya dianggap sebagai intervensi yang tidak diharapkan oleh yang bersangkutan. Penyebab lain yaitu bahwa masih adanya anggapan bahwa seorang suami sebagai pemimpin wajar melakukan hal itu.
Kekerasan tidak selalu berarti kekerasan fisik, namun juga kekerasan verbal seperti kata-kata kasar atau memaki-maki. Kekerasan seperti ini lebih jarang lagi dilaporkan. Jika data kekerasan mencakup kekerasan verbal atau tekanan terhadap jiwa dan batin istri, tentu angka statistik akan lebih besar lagi.
Pemukulan terhadap Istri
Pandangan keagamaan yang berkembang di masyarakat cukup menyudutkan Islam, karena seakan menganggap bahwa kekerasan suami terhadap istri adalah hal yang wajar, yaitu berdasarkan ayat "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkam dari tempat tidur dan pukullah mereka." (An Nisa:34)
Secara definitif pengertian nusyuz (durhaka terhadap suami) jarang ditemukan dalam kitab-kitab tafsir. Menurut dra. Hj. Mursyidah Thahir, MA, dari berbagai litelatur nusyuz dibagi ke dalam beberapa tingkatan:
Pertama, nusyuz biasa seperti keluar rumah tanpa ijin, berpuasa sunnah tanpa ijin, menolak ajakan suami bercinta, membantah suami, tidak melakukan perintah suami. Untuk jenis nusyuz biasa suami cukup menasihati istri, mengingatkan dan memberi bimbingan dengan cara yang baik.
Kedua, nusyuz serius seperti pongah terhadap suami, bersikap angkuh, membenci suami, melawan suami. Untuk nusyuz serius ini baru diterapkan hajr pisah tidur.
Ketiga, nusyuz amat serius yaitu kabur dari rumah, bandel luar biasa, bertingkah laku mencurigakan, dan berselingkuh.
Berdasarkan kata wadlribuhum (dan pukulilah mereka), pemukulan suami terhadap istri memang diijinkan agama tetapi hanya untuk kasus nusyuz yang amat serius.
Para ulama tafsir memberi batasan-batasan diijinkan suami memukul istri antara lain pertama, menurut Syekh Rasyid Ridla pemukulan suami terhadap istri merupakan tindakan terakhir yang boleh dilakukan dengan tidak mubarrih (menyakiti). Kedua, menurut Al-Hijazi bahwa pemukulan hanya boleh dilakukan kepada perempuan yang durhaka (bandel luar biasa) yang tidak bisa diperbaiki kecuali dengan pukulan. Ketiga, menurut Ali al-Shabuni yaitu pemukulan dilakukan kepada perempuan yang berbuat maksiat dan tidak taat pada suami, serta angkuh dan pongah.
Adapun bila istri melakukan tindakan amoral secara terang-terangan dinamakan faahisyah. Misalnya dengan melakukan zina. Karena zina adalah kedurhakaan yang sangat buruk, oleh karena itu hukumannya ada aturannya sendiri.
Oleh karena itu para suami tidak diperbolehkan seenaknya memukul istri hanya karena kesalahan ringan. Berdasarkan ayat di atas seorang suami berkewajiban mendidik istrinya melalui tahapan-tahapan menasihati, membimbing, pisah ranjang kemudian baru boleh memukul.
Islam melarang berbagai bentuk penindasan dan kekerasan suami terhadap istrinya. Kalaupun ajaran Islam mengijinkan pemukulan terhadap istri lebih disebabkan prilaku istri yang melampaui batas yang perlu mendapat didikan dari suami. Dalam hal ini pemukulan dilakukan oleh suami yang sudah benar-benar menjalankan amanat rumah tangga sesuai petunjuk agama, bukan karena watak suami yang kasar dan sombong.
Banyak istri yang mengalami cedera, stress dan depresi akibat tindak kekerasan suami. Sedangkan dampak dari terjadinya kekerasan dalam keluarga ini tidak saja mengancam keselamatan jiwa dan raga istri melainkan juga keselamatan jiwa anak-anaknya.
Ayat tentang nusyuz di atas sering dipahami secara tekstual bahwa kekerasan suami terhadap istri adalah dilegalkan menurut dan tidak bertentangan dengan agama. Namun ayat tersebut seharusnya dikompromikan dengan ayat-ayat lain dan hadits-hadits yang melarang laki-laki melakukan kekerasan terhadap istri. Secara kuantitatif jumlah kata ma'ruf (perintah berbuat baik terhadap istri) disebutkan 12 kali dalam Qur'an sedangkan wadlribuhum (dan pukullah mereka) hanya satu-satunya terdapat dalam surat An-Nisa ayat 34 tersebut.
Rasulullah saw pun menegur dengan tajam para suami yang 'ringan tangan' ini, "Tidak malukah laki-laki memukuli istrinya seperti memukuli budak di siang hari lalu mencampurinya di malam hari." Ida SW
Jalan KeluarnyaMuslimah yang menjadi korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), hingga saat ini kerap dihadapkan kepada suatu situasi yang dilematis. Diam, pasrah dan merelakan diri teraniaya demi menjaga keutuhan rumah tangga tak mudah untuk bisa dilakukan. Sementara menceritakan persoalan ke pihak ketiga pun seakan tak mungkin, karena masyarakat banyak menganggap tabu untuk membuka apa yang dianggap sebagai aib keluarga. Bahkan buku-buku fiqh tentang pernikahan pun turut menyalahkan kaum wanita jika tak sabar menghadapi ujian dalam keluarganya. Jadi harus bagaimana?
Satu hal yang jangan dibiarkan terjadi adalah Anda, para istri, berusaha untuk bertahan menerima kekerasan ini, namun tak melakukan upaya apapun untuk memperbaikinya. Jika ini yang terjadi berarti Anda lalai pada hak diri sendiri, Anda zalim pada diri sendiri dan berdosa kepada yang memiliki diri Anda! Ira |
Ferrasta 'Pepeng' Soebardi:
"Orang Tua Jangan Teori Saja"
Bagi pria kelahiran Madura, 23 September 1954 ini, keluarga merupakan benteng pertahanan yang sangat penting. Orang tua harus menjadi contoh bagi anak-anaknya. Ketika malam tahun baru, orang lain sibuk dengan berbagai acara yang melenakan, ia malah mengumpulkan keluarga besarnya untuk merenungi kehidupan, baik yang sedang maupun yang akan dilakukan.
Pemilik nama lengkap Ferrasta "Pepeng" Soebardi ini sejak kecil telah kehilangan kehangatan pelukan ayahnya. Allah telah memanggilnya saat Pepeng masih SD. Ibunya yang mendidik Pepeng (Pemuda Pengkolan) -panggilan akrabnya- bersama saudaranya telah mematangkan jiwanya.
Perjalanan karir sebagai penghibur (entertainer) muncul ketika ia kuliah di UI (Universitas Indinesia). Ia pernah memenangkan lomba lawak antar mahasiswa, bahkan tingkat nasional. Dunia ini pula yang mengantarkan garis hidupnya hingga kini. Bintangnya bersinar ketika ia tampil pada acara kuis "Jari-Jari" dan pemandu obrolan "Warna-warni.
Alumni Antropologi UI ini pernah bekerja di sebuah bank. Pernah pula menduduki jabatan Direktur Operasional di perusahaan Bakrie Brothers. Namun karena dunia entertainer lebih disukainya, maka ia keluar.
Tak ada yang berubah pada diri Pepeng, meski ia kini telah menjadi orang terkenal. Penampilannya yang sederhana, cuek dan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos masih melekat padanya. Namun siapa sangka dibalik penampilannya yang sederhana itu ia memiliki idealisme yang kuat. Sekarang ia punya organisasi bernama Jaring. Yaitu semacam majlis ta'lim yang berada di 27 kecamatan di wilayah Jakarta.
Kini, buah dari cintanya bersama Utami Marian Siti Aisyah (40), ia dikaruniai empat orang anak: Vere Muhammad (SMA), Gymirio Muhammad (SD), Horlaw Muhammad (SD), dan Izra Muhammad (SD). Katanya, sebagai wujud do'a orang tua pada anaknya, maka semua anaknya diberi nama akhir Muhammad. "Saya harap anak-anak saya kelak mempunyai akhlak terpuji seperti Nabi Muhammad saw," ujar Pepeng yang punya hobi membaca, bertani dan beternak ini.
Ketika matahari tegak lurus di komplek Perumahan Bumi Pusaka Cinere, Jakarta, Pepeng menerima wawancara dengan Sahid(Suara Hidayatullah). Tidak seperti di luar rumah yang udaranya panas, suasana di dalam terasa lebih sejuk dan asri. Terasa nuansa Jawanya. Beberapa perabot rumah terbuat dari kayu ukiran yang dipernis. Warna hijau tua mendominasi. Di sebuah sudut ruangan terdapat lukisan kaligrafi. Menurut pemiliknya, sengaja suasana itu diciptakan agar selalu adem dan teringat suasana desanya. Berikut cuplikan wawancara itu:
Bagaimana proses pengalaman ruhani Anda sehingga cenderung pada agama?
Ya, berangkat dari kekosongan pribadi saya. Alhamdulillah, setelah nikah saya sebenarnya mulai intens. Kayaknya banyak yang saya tidak ketahui. Saya selama ini mentok di dunia materi saja. Saya muncul dari keluarga yang melaksanakan agama sebatas itu-itu saja. Maka saya banyak belajar, dan tanya-tanya pada guru ngaji. Saya katakana pada Allah, "Ya Allah apa yang saya pelajari tentang Islam sebatas apa yang saya perbuat saat ini. Seandainya ada yang lebih baik lagi akan saya pelajari." Sejak itu, Alhamdulillah ketemu jalan baik terus. Dan itu berpengaruh sekali pada kehidupan saya.
Adakah pengalaman yang membuat Anda merasa dekat dengan Allah?
Ya. Ketika saya melaksanakan ibadah haji bersama istri. Saya terpesona melihat Ka'bah dan pernah merasakan kejadian yang menurut saya itu kekuasaan Allah. Jika Allah menghendaki, saya mau pergi haji lagi. Masih banyak do'a dan pelaksanaan ibadah yang ingin saya sempurnakan.
Bagaimana cara Anda untuk meningkatkan ruhiyah dalam keluarga?
Pas kumpul bersama, saya shalat berjamaah. Anak-anak suruh baca hadits yang ringan-ringan saja dan menjelaskan maksudnya. Dua anak saya yang sudah mulai aqil baligh, saya set untuk masuk pengajian pada teman-temannya. Begitu juga istri saya, ia aktif di pengajian dan punya sahabat yang khusus mengajar ngaji. Orang tua harus memberi contoh yang baik. Bukan saja teori tapi juga praktek.
Anda dan istri merupakan dua keluarga yang latar belakangnya berbeda. Bagaimana menyatukan hal itu?
Memang banyak hal yang berbeda, tapi saya betul-betul meresapi. Saya dari keluarga sederhana, sedangkan istri dari keluarga diplomat yang lama tinggal di luar negeri. Dalam hidup saya yang namanya privacy hampir tidak ada. Misalnya, saya dapat rezeki suatu barang, adik saya mau, ya silakan saja pakai. Atau ibu saya dapat surat lalu dibaca sama-sama. Begitu saya nikah dan masuk ke keluarga istri yang namanya privacy selalu dipegang. Saya respek dan saya sebarkan pada keluarga saya. Kalau ada surat untuk saya, istri tidak mau buka.
Kapan pertama kali Anda niat ingin menikah?
Ketika saya lulus SMA. Saya sampaikan keinginan saya itu pada ibu. Saya bilang, andaikan ada yang mau sama saya, saya nikah sekarang juga. Ha..ha..haa. Tapi ibu saya hanya tertawa. Saya menikah pada usia 29 tahun. Wah rasanya sudah telat banget.
Tampaknya sosok ibu yang paling berperan dalam hidup Anda?
Ya. Ketika ibu ditinggal ayah saya usianya masih muda, 29 tahun. Saat itu, saya masih kelas tiga SD. Beliau bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya. Menurut saya ibu itu jenius. Ia selalu menghadirkan figur bapak saya di dalam keluarga. Beliau selalu mengandaikan kalau Bapak saya masih hidup. Ia akan berkata begini atau begitu. Ibu selalu berkata, "Pokonya kamu boleh ngapain saja, asal tidak melanggar hukum agama dan jangan bikin malu keluarga." Ibu juga berpesan, agar sesama saudara harus akur. Setiap waktu harus ingat pada Allah dan bantulah anak dengan do'a.
Apakah pola itu juga diterapkan pada keluraga Anda?
Saya ambil cara kebebasannya. Tapi saya selalu memegang satu hal, bantulah si anak sebatas yang ia tidak mampu.
Adakah pengalaman yang berkesan dalam rumah tangga Anda?
Banyak Mas. Saya nikah kan masih sama-sama mahasiswa baru. Rumah saja ngontrak dan saya belum punya pekerjaan. Nah, istri saya itu kan pintar jahit pakaian. Banyak teman-temannya yang menjahitkan ke dia. Tapi bukan dijahit di rumah. Saya dan istri mencari tukang jahit ke gang-gang yang harganya murah. Sekarang para penjahit itu jadi sahabat istri saya. Alhamdulillah, sekarang usaha busana muslimahnya maju dan kami punya tukang jahit sendiri.
Anda beruntung dapat istri yang pintar menjahit?
Alhamdulillah. Bukan itu saja, saya banyak belajar pada dia terutama masalah keuangan. Dulu antara ada uang dan tiada itu bagi saya sama saja. Sekarang istri pintar mengaturnya. Isri saya tidak mengeluh dan tidak suka tanya berapa sih dapat duit jadi MC. Artinya, ia percaya pada saya dan saya harus komitmen sejujur-jujurnya.
Bagaimana Anda mengekspresikan kecintaan pada keluarga?
Terus terang saya paling lemah soal manajemen keluarga. Pekerjaan saya itu tidak tentu waktunya. Senin sampai Jum'at di kantor. Pada saat yang lain libur Sabtu dan Minggu, saya jadi MC atau moderator seminar. Itu yang membuat kadang anak-anak protes. Saya minta maaf pada mereka. Saya bilang silakan kegiatan Bapak yang mesti dikurangi yang mana. Tapi pas anak-anak liburan, orang Jawa bilang "entek-entekan" (habis-habisan) untuk mereka. Itu juga tidak ke mana-mana, hanya nemani ke rumah uwaknya. Paling keluar kota, ke Bandung.
Jadi anak-anak lebih dekat ke ibunya daripada ke Anda?
Meski istri saya banyak di rumah, tidak juga. Kalau anak-anak ditanya, mereka jawab lebih enak ngobrol sama saya. Mungkin karena sama-sama laki-laki jadi terbuka. Pendekatan saya pada konsep sahabat. Tapi jangan tanya masalah pelajaran sama saya, istri saya lebih pintar urusan itu.
Bagaimana Anda mensikapi arus teknologi yang semakin canggih seperti internet terhadap anak Anda?
Saya orang yang tidak mau ketinggalan teknologi. Fasilitas internet saya masukan di kamar saya. Anak-anak saya ajak dan diberitahu hal yang positif dan negatifnya. Saat anak nonton TV saya dampingi. Kalau ada adegan ciuman, saya bilang itu dilarang. Saya ingin memberitahu sesuatu yang memang ada tetapi belum waktunya.
Apa perasaan Anda ketika melihat fenomena masyarakat saat ini?
Prihatin. Apalagi sebagai orang tua, wajar saya khawatir terhadap pergaulan anak-anak sekarang. Dua anak saya mulai dewasa. Saya bilang, pacaran menurut kamu itu apa sih, pegang-pegangan tangan? "Ya nggak Pak. Aku hanya nemenin ngobrol," katanya. Saya bilang hati-hati. Awalnya dari situ dan bisa keterusan. Kalu bisa kamu jangan pacaran. Nanti sudah waktunya lebih baik nikah saja. Saya heran, ada orang tua justru mendorong anaknya supaya pacaran. Kalau anaknya tidak pacaran dibilang kuperlah, tidak gaullah. Orang tua sekarang jauh beda dengan orang tua jaman saya dulu. Astaghfirullah. (Dadang K)
Antara Mu'jizat, Karamah, dan Istidraj
Saya hidup di tengah masyarakat tradisional yang masih percaya terhadap hal-hal aneh atau luar biasa. Dari mulut ke mulut berbagai cerita yang luar biasa mengalir sedemikian rupa sehingga mau tidak mau kita dipaksa untuk percaya. Di antara sekian warga, saya termasuk orang yang masih ragu, antara percaya dan tidak.
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada Ustadz, apakah ada orang yang diberi keistimewaan tertentu oleh Allah swt sehingga dapat melakukan keajaiban-keajaiban tertentu, seperti pengobatan non medis, meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang, atau menghilang dari pandangan orang?
Atas perhatian dan jawaban Ustadz saya sampaikan ucapan terimakasih.
A di Surabaya
Jawab:
Untuk memahami apa sebenarnya keajaiban-keajaiban Anda maksud, terlebih dahulu kita akan membahas proses kejadiannya.
Awalnya, seluruh alam ini diciptakan Allah berikut aturan detilnya untuk masing-masing benda. Bahwa api itu membakar, air itu membasahi, sudah ditetapkan sebagai hukum alam yang sering disebut sunnatullah. Hukum alam ini bersifat umum (terjadi pada benda serupa dalam kondisi serupa), pasti dan terus menerus, tak akan pernah berhenti maupun berubah sejak awal terciptanya hingga kiamat kelak. Jika sewaktu-waktu ditemukan sebuah pengetahuan baru mengenai sifat-sifat alam ini, sebenarnya yang terjadi bukanlah penemuan. Sifat alam tersebut sebenarnya sudah berlaku semenjak dulu, tetapi belum disadari oleh manusia. Setelah dilakukan penelitian, barulah sifat alam itu diketahui manusia.
Sunnatullah alam tersebut dibuat oleh Allah swt dan tak akan mampu diubah oleh manusia. Namun sesekali, Allah berkehendak mengubah sunnatullah tersebut dengan membuat keajaiban-keajaiban, untuk menunjukkan sifat-Nya yang Serba Bisa, yang berbeda dengan makhluk-Nya. Maka terjadilah peristiwa selamatnya Nabi Ibrahim dari api yang membakar tubuhnya, setelah Allah memerintahkan kepada api tersebut, "Wahai api, jadilah engkau dingin dan menyelamatkan bagi Ibrahium." Tentu saja, keajaiban ini hanya berlaku pada diri Ibrahim as di saat itu saja, tidak pada orang lain.
Keajaiban atau keanehan alam seperti ini terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1. Disebut mukjizat, jika terjadi pada diri seorang nabi. Tongkat yang dilempar Musa as bisa berubah menjadi ular. Nabi Isa bisa menghidupkan kembali orang yang telah mati, dan sebagainya. Karena sudah tak ada lagi nabi setelah wafatnya Rasulullah saw, maka dengan demikian mukjizat pun telah terhenti keberadaannya.
2. Disebut karamah, jika terjadi pada diri seorang wali. Siapakah yang tergolong para wali? Allah swt telah menjelaskannya sebagai berikut, "Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62). Berikutnya didefinisikan oleh Allah, "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa." (QS. Yunus: 62)
Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada diri Maryam. Ketika selalu tersedia makanan di sisi mihrabnya yang senantiasa tertutup. Juga ketika tumbuh janin dalam rahimnya tanpa ada yang membuahinya. Karena Maryam seorang perempuan, tak bisa digolongkan sebagai nabi, sehingga didefinisikan sebagai wali.
Predikat wali hanya dapat diberikan kepada orang-orang yang telah nyata ketaqwaannya. Sementara orang yang nyata-nyata telah melanggar syari'ah tidak bisa disebut wali.
3. Disebut istidraj, jika keajaibannya terjadi pada diri orang yang tidak beriman, atau mukmin yang tidak bertaqwa.
Sayangnya, banyak orang yang mengaku-aku bahwa dirinya adalah wali dan memperoleh karamah dari Allah, padahal dalam kehidupannya sehari-hari mereka tidak melaksanakan syariat Islam dengan baik. Mustahil Allah akan memberikan derajat 'wali' kepada orang seperti ini.
Yang perlu diwaspadai, setan pun bisa membantu manusia sehingga nampaknya seperti terjadi keajaiban-keajaiban di mata manusia. Itulah yang dinamakan sihir. Setan pun bisa membantu seseorang menghilang dari pandangan orang lain, dan juga memberi informasi kejadian yang akan datang. Dan inilah yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak beriman untuk menipu manusia.
Mengenai pengobatan non medis, kita tak terlalu khawatir terhadap ramuan-ramuan bahan alam (tanaman, akar-akaran) yang sekarang banyak diketemukan mengandung khasiat pengobatan yang manjur, karena sebenarnya semua itu adalah juga sunnatullah yang ada pada bahan-bahan alam tersebut.
Ada pula pengobatan non medis yang masih dalam batas-batas syariah dan tidak mengandung maksiyat, masih bisa dijalani. Rasulullah saw sendiri pun pernah mengobati luka maupun sakit mata para sahabat dengan cara-cara ini. Seperti dengan cara mendoakan, membacakan ayat-ayat al-Qur'an, dsb. Namun jika pengobatan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang berbau maksiyat, mengantarkan kita pada kesyirikan, berarti hal itu terlarang.
Terorisme dan Imperialisme Media
oleh Dedy Alief Z. Makarim *
Kita sedang hidup dalam tatanan dunia baru, dimana sejarah menurut Fukuhama, telah berakhir setelah datangnya dominasai politik, ekonomi dan kekuatan budaya. Tantangan dunia baru yang kini sedang kita jalani adalah tatanan dunia baru setelah runtuhnya Soviet, di mana gaya hidup dan simbol peradaban berkiblat pada Barat.
Ada tiga hal yang dapat dibedakan untuk melihat tatanan dunia baru hari ini. Pertama, munculnya globalisasi (ditandai dengan kemenangan kapitalisme dan pasar bebas), Kedua, revolusi informasi (ditandai lahirnya revolusi TV, internet, dan ponsel) dan yang terakhir adalah imperealisme media. Yang terakhir ini, adalah bentuk baru penjajahan melalui media.
Globalisasi, adalah fenomena baru dalam tatanan dunia. Monopoli media adalah makhluk yang kini mampu memimpin dunia. Begitu besarnya pengaruh media, Marshal McLuhan menyebut kehadiran globalisasi dan tanatan dunia baru sebagai “Dunia Yang Dilipat’. Imperialisme media menjadi penjajah baru menggantikan senjata-senjata militer yang menakutkan. Afghanistan hanya perlu 10 tahun mengalahkan Soviet walau dengan peralatan sederhana. Mungkin lebih mudah kita melawan senjata militer. Tapi melawan media tidak akan mampu menghabiskan satu abad generasi. Imperialisme (penjajahan) baru dalam bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik adalah ‘hantu’ yang kini tengah mengincar jiwa kita. Nilai-nilai hidup, sesuatu yang kita makan, pakaian yang kita pakai, buku yang kita baca, dan tontonan yang kita lihat, adalah bukti hadirnya imperialisme (penjajahan) itu.
Mungkin akan mudah bagi kita menghadapi tuduhan korupsi, pencurian bahkan pemerkosaan sekalipun. Sebab, dalam kamus hukum, delik tuduhan belum termasuk bukti. Karena itu, proses pengadilannya masih harus berjalan panjang. Andai seseorang dituduh memperkosapun, bisa gagal bila ada bukti kuat karena tidak adanya keterlibatan. Tapi akan lain persoalannya bila tuduhan itu justru dimuat dan datang dari media. Opini publik akan tetap menganggap orang tersebut ‘bersalah’ walau statusnya belum jelas.
Abu Bakar, Islam dan Terorisme
Seorang sarjana dari Inggris yang cukup terkenal, J. Oliver Boyd-Barret pernah mendefenisikan imperialisme media sebagai bentuk proses dimana dengan cara kepemilikan pribadi, struktur, distribusi, berusaha melakukan pengarus melalui tekanan media terhadap sebuah negara, bangsa, atau seseorang tanpa diberikan hak jawab yang seimbang.
Sejak tahun 1979 Barat —khususnya media Amerika —memberikan berbagai ‘cap’ dan stigma buruk terhadap Islam. Pemberian istilah ‘ekstremis, fanatik, muslim fundamentalis terhadap Islam adalah bentuk olok-olok yang sangat menyakitkan.
Semenjak terjadinya peledakan gedung WTC tanggal 11 September lalu, Islam menjadi kanvas hidup olok-olok Barat yang mereka sebut sebagai “public enemy number one,”. Hari ini, kita masih harus disibukkan dengan tuduhan-tuduhan Barat, tentang berbagai keterlibatan orang-orang Indonesia yang memiliki hubungan (sesungguhnya hanya di hubung-hubungkan) dengan adanya jaringan Al Qaidah di Indonesia. Tertangkapnya Fathur Rahman Al Ghozi, dituduhnya Ust. Abu Bakar Ba’asyir, tak lain adalah jembatan baru bagi Barat untuk masuk dan menekan gerakan-gerakan militan Islam di Indonesia.
Media kita, hari-hari ini, sedang sibuk, bahkan mungkin mencari kesibukan untuk mencari hubungan-hubungan antara Abu Bakar Ba’asyir dengan Al Ghozi, Kalau tidak ada hubungan, marilah berusaha dihubung-hubungkan. Kalau yang terakhir ini, memang sudah menjadi kerja aparat kita. Persoalannya, bukanlah Al Ghozi, atau siapapun Abu Bakar Ba’asyir yang kita tidak tahu itu. Abu Bakar hanyalah batu pijakan Barat dan militer Indonesia untuk kembali melenyapkan gerakan militan Islam di Indonesia.
Repotnya, Ust. Abu Bakar —dalam wawancara di beberapa TV— tidak menyadari bila dirinya sedang dalam perangkan kelicikan imperealisme media. Dengan kepandaian wartawan, media berusaha agar beliau berbicara ‘seolah-olah’ ada hubungan dengan Al Qaedah, Usamah atau Al Ghozi. Kekeliruan Abu Bakar, dia terlalu banyak menjawab persoalan. Seolah-olah yang dijawab itu bukanlah jebakan dari hubungan-hubungan tersebut. Abu Bakar benar bahwa dalam Al Qur’an diajarkan jihad melawan orang kafir yang memusuhi agama Allah dsb. Abu Bakar juga benar, bila di setiap pesantren manapun (pasti) diajarkan memahami Al Qur’an dan As sunnah. Hanya yang tidak benar, Ust. Abu Bakar terlalu banyak menjawab suatu persoalan besar, dimana ada ‘skenario besar’ terhadap tuduhan kebenaran adanya ajaran terorisme dalam Islam dan ajaran terorisme dalam pesantren Ngruki. Sementara Ust. Abu Bakar dengan enaknya menjawab ‘skenario besar’ dan pola hubungan yang memang sedang dicarikan itu. Mungkin akan aman bagi kita semua —karena ini tidak hanya menyangkut satu orang— bila, beliau tidak mudah menjawab pertanyaan yang bernada jebakan.
Isi pasal 19 dari RUU Antiterorisme, yang sedang dipersiapkan DPR dan pemerintah hari ini adalah bagian dari skenario tersembunyi itu. Isinya; tersangka tidak mempunyai hak: (a) didampingi advokat, (b) untuk diam (c) mendapat jaminan orang ataupun uang, (d) untuk berhubungan dengan pihak luar termasuk keluarganya. Bayangkanlah, andai yang ditangkap diantaranya itu adalah anak atau keluarga anda yang saat itu sedang lewat atau berkunjung pada orang yang dituduh sebagai ‘teroris’. Apa perasaan anda bila anak anda tidak berhak mendapat pengacara bahkan dikunjungipun tidak boleh.
Kita, bahkan saya pun, mungkin tidak kenal siapa Ghozi, atau Abu Bakar Ba’asyir. Namun, jelas, fenomena baru ini, akan memberi menjadi kesibukan baru kita yang sesungguhnya akan kembali menyita waktu. Kalau media berhasil mengungkap hubungan-hubungan itu, akan mudah anggapan orang. Bahwa sesungguhnya orang Islam diajarkan menjadi teroris. Dan jika kesimpulan ini yang diambil aparat kita, maka kehidupan kita akan mundur ke belakang. Kita mungkin akan mengalami nasib yang sangat buruk. Di mana kelak, ketika kita sedang duduk-dukuk di musolla, aparat punya alasan menangkap kita karena dianggap sebagai jaringan Al Qaidah yang sedang rapat. Berarti, menanglah imprealisme media.•
* Penulis adalah pemerhati media tinggal di Surabaya
Bersemi di Kota Kembang
“Saya salut dengan santri-santri Hidayatullah, usianya masih muda-muda tapi bersemangat tinggi untuk memperjuangkan Islam. Namun saya lihat ada beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian. Dalam hal ini mungkin niatnya baik, yakni untuk meluaskan dakwah ke berbagai daerah. Akan tetapi entah karena kekurangan SDM atau kurangnya pembinaan dari pimpinan, kemudian cabang itu kemudian dilikuidasi. Saya harap untuk ke depan lebih fokus lagi, mengingat setiap daerah memiliki keunggulan sendiri. Dan yang terpenting lagi setelah menjadi ormas, semestinya Hidayatullah tidak meninggalkan visi dan misinya sebagai lembaga dakwah.”
Demikian komentar Hj. Soekirman seorang simpatisan Hidayatullah Bandung, yang telah mendermakan harta, tenaga dan pikirannya untuk kepertingan dakwah.
Cabang Bandung dirintis oleh Ust. Ainur Rofiq pada tahun 1991. Selain ditemani istrinya, Amin Rahayu, Ainur Rofiq juga ditemani 4 orang santri dewasa. Saat itu, ia memulainya dengan mengontrak sebuah rumah sederhana yang berada di dalam sebuah gang kecil jalan Martadinata.
Setiap sore sekitar 20 anak, terdiri dari yatim piatu, anak tidak mampu dan anak jalanan belajar mengaji di rumah yang agak kumuh itu. Alhamdulillah, pelan-pelan tidak sedikit yang menaruh simpati dengan apa yang dilakukan Ainur Rofiq. Namun demikian, ada juga yang tidak senang bahkan terkesan sinis dengan apa yang dilakukan Ust. Rofiq itu. Misalnya, ketika mengurus administrasi lembaga, beberapa petugas Sospol (Sosial Politik) dan Depsos (Departeman Sosial) setengah curiga dan tidak percaya. “Anda mau mendirikan pesantren dan panti asuhan? Apa saya tidak salah dengar,” katanya. “Di sini (Bandung) sudah banyak. Apalagi Anda masih mahasiswa, sedang makan saja masih minta orang tua. Bagaimana mau ngasih makan anak yatim,” papar Dadang, salah satu santri awal menirukan petugas itu.
Namun, hal itu tidak membuat patah semangat. Di samping terus mendekatkan diri kepada Allah swt, para pengurus terus bekerja keras dan menjalin hubungan dengan berbagai pihak. Seiring dengan waktu, alhamdulillah, kini tidak ngontrak dan pindah-pindah tempat lagi. Yayasan Hayatan Thayyibah Pondok Pesantren Hidayatullah Bandung yang berlokasi di Jl. R. Edang Suwanda, Cimuncang itu telah memiliki tanah seluas 1600 m2. Dari lahan seluas itu, 800 m2 merupakan wakaf dari salah seorang pengusaha kosmetik dan sisanya, 800 m2, telah lunas dibeli dengan dicicil.
Kini telah berdiri dua bangunan berlantai dua. Satu bangunan digunakan untuk kantor, TK, aula dan asrama. Sedang bangunan lainnya untuk TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) dan Pesantren Tahfidz Quran khusus putri. Saat ini, pesantren mengasuh 45 santri, di antaranya, tingkat SD 12 anak, SLTP 15 anak, SMU 8 anak dan 10 santri tahfidz Quran.
Ma’had Tahfiz al-Qur’an dirintis sejak tahun 1999 oleh Ust. Munawar Abdullah (hafidz) bersama istrinya Ustadzah Widansyah (hafidzah), alumni Pesantren Al Irsyad Pekalongan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah yang menekankan pentingnya al-Qur’an agar dipelajari dan dijadikan pedoman hidup. “Dalam rangka membina generasi Qur’ani, saya mendukung berdirinya program tahfiz Qur’an yang dirintis kawan-kawan,” kata Ir. Usman B Hanafi, Ketua DPD Hidayatullah Bandung.
Kini penanggung jawab Pesantren Hidayatullah Bandung diamanahkan kepada Ust. Abdullah Azzam, sementara Ust. Ainur Rofiq sejak tahun 1998 pindah ke Surabaya dan memegang amanah baru sebagai Sekretaris Dewan Syuro Hidayatullah.•