Antara Islam dan Politik (3-habis):
Kedaulatan di Tangan Allah
oleh :H. Syamsul Balda, SE, MM, MBA, MSc.
PeKa Online-Jakarta, Tidak ada negara tanpa organ Legislatif. Demikian pula negara Islam. Tetapi dalam negara Islam, hukum publik dan hukum privat berada dalam penguasaan mereka yang mampu melakukan ijtihad, yaitu pembentukan hukum yang diasalkan pada hukum induk, dan bukannya mengamendir hukum-hukum dasar itu. Setiap zaman memiliki masalah-masalah sendiri, dan badan legislatif itu akan mengeluarkan fatwa hukum sesuai dengan huduud (hukuman-hukuman menurut undang-undang) sebagaimana telah ditetapkan Al-Qur'an.
Dari beberapa hal yang sudah kita bicarakan sejauh ini, dapat kita jelaskan jenis negara Islam apa yang sebenarnya diidealkan. Al-Qur'an dan Sunnah Nabi mempostulasikan tujuan dasar negara adalah tercapainya keadilan universal.
"Mereka adalah orang-orang yang jika Kami berikan kekuasaan di muka bumi, mendirikan shalat dan membayar zakat; memerintah berbuat yang ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar. Maka kepada Allah lah kembali segala urusan." (QS. Al-Hajj, 22:41).
"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan bagi manusia. Kalian memerintah kepada yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, dan kalian beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran, 3:110).
Kata-kata "memerintah kepada yang ma'ruf dan melarang kemunkaran" adalah makna dasar dari pandangan Islam. Allah menghendaki agar kaum Muslimin menjadi masyarakat yang terbaik untuk memelihara kesucian hidup dan mengekang kejahilan. Dihadapkan pada masalah-masalah yang muncul saat ini ketika terjadi ketimpangan hukum dan ketertiban, rapuhnya stabilitas, kemajuan maupun kebahagiaan, maka alternatif itu adalah mungkin, karena Islam merupakan agama yang mementingkan sikap moderasi dan keselarasan.
Apa yang telah ditentukan Islam dalam hal hukum dan tindakan-tindakan negara bukanlah sembarangan, akan tetapi berdasarkan aturan. Islam menjelaskan garis batas antara kebaikan dan kejahatan, hal-hal yang dibolehkan dan dilarang, hal-hal yang pantas dan tidak pantas. Dan yang paling penting adalah yang berkenaan dengan Hari Kebangkitan yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur'an. Nabi mengajarkan agar hidup kita selalu diorientasikan pada akhirat. Oleh karena itu, setiap perilaku kehidupan kita di dunia harus tetap diperhitungkan dari segi ini.
Sesungguhnya, meskipun para Nabi telah dijamin bahwa diri mereka dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak, tetapi manakala seseorang tampil di hadapan mereka dengan mengajukan keberatan (mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan sosialnya), mereka akan mendengarkannya. Di dalam Sirah yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam, delapan kejadian telah disebut berkenaan dengan masalah itu. Apa yang menjadi fokus perhatian kita di sini adalah bahwa hukum-hukum Ilahi adalah sangat supra-human dan memiliki derajat kebenaran yang begitu tinggi dan tak dapat diganggu gugat oleh kalangan cendekiawan maupun nabi sekalipun. Mereka tidak memiliki mandat untuk mengenyampingkannya. Masalah penting inilah yang sering dilalaikan dalam konsep negara Islam.
Oleh karena itu, wawasan bahwa Allah-lah yang memiliki kedaulatan tertinggi adalah benar secara hakiki. Sementara Nabi bertindak sebagai perantara untuk menyampaikan hukum-hukum Ilahi itu kepada manusia. Dengan kata lain, para Nabi itu diberi tanggung jawab untuk menyampaikan dan menyiarkan hukum-hukum itu. Tetapi disamping itu, Nabi Muhammad SAW misalnya, juga sering memberi kata putus (pass judgement) manakala terdapat keadaan-keadaan yang bertentangan dalam masyarakat.
Apa yang beliau putuskan itu tetap berlandaskan Syari'at Allah, dan semua tunduk pada kehendak Allah, apakah itu dalam bentuknya sebagai revelasi (wahyu) maupun inspirasi (iqla'). Seorang Nabi mempunyai sumber-sumber pengetahuan yang berbeda, misalnya dalam hal wawasannya mengenai masa depan (akhbar al-ghaib), inspirasi -berbeda dengan wahyu, mu'jizat dan sebagainya. Di dalam negara Islam, Nabi memiliki status tersendiri yang bertugas untuk menyampaikan, menyatakan, dan mengumumkan perintah-perintah Allah seperti yang ditugaskan-Nya.
Khalifah Allah
Dalam surat An-Nuur, Allah SWT berfirman: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kalian dan mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka khalifah (berkuasa) di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur, 24:55).
Di sini kita melihat bahwa Al-Qur'an menggunakan kata khalifah sebagai pengganti penguasa. Demikianlah, negara Islam akan diperintah oleh seseorang yang bertindak sebagai khalifah Allah. Bukan seorang penguasa mutlak yang akan memberlakukan hukum secara sewenang-wenang demi tujuan-tujuan tertentu.
Aspek lain dari persoalan ini adalah bahwa setiap Mu'min atau Muslim mempunyai hak untuk menduduki jabatan itu. Kekhalifahan atau Imamah bukanlah hak prerogatif seseorang, suatu keluarga atau kelompok tertentu. Imamah bersifat universal, bukan familial atau turun temurun. Setiap Mu'min sebagai khalifah Allah bertanggung jawab kepada Allah; dan inilah yang merupakan sifat yang sesungguhnya dari pemerintahan Islam.
Karena penunjukan kekhalifahan itu bersifat universal dan umum, maka tidak mungkin muncul masalah mengenai hirarki kekuasaan maupun keoligarkian. Demikian pula soal dinasti familial dan kebangsawanan menjadi tidak ada artinya di dalam sistem seperti itu. Setiap orang mempunyai derajat yang sama. Adapun faktor-faktor yang membatasi kepemimpinan hanyalah soal merit (keahlian) dan kecakapan. Hal inilah yang secara jelas dan eksplisit ditekankan oleh Nabi Muhammad saw dan pesannya pada saat ibadah Haji Wada' (terakhir).
Dengan demikian, Islam tidak menghendaki kediktatoran maupun kekuasaan mutlak oleh seseorang. Setiap Muslim dewasa dan normal baik laki-laki maupun wanita memiliki hak untuk melaksanakan kehendaknya.
Bagaimanapun harus dipahami bahwa konsep kekhalifahan adalah bersifat republik dan demokratis. Sekalipun konsep ini jauh berbeda dengan yang ada di Barat dimungkinkan (melalui pemilihan) untuk menentukan apakah negara berbentuk klerikal (dikuasai oleh para pendeta) atau sekuler; apakah homo-seksual diizinkan atau tidak; apakah larangan terhadap minuman keras diberlakukan atau tidak. Tidak ada peluang bagi yang demikian itu dapat diizinkan di dalam negara Islam.
Hukum moral universal adalah mutlak, dan jika ini dikesampingkan untuk beralih pada pernyataan vox populi (suara rakyat), maka kita tidak akan dapat memiliki negara Islam. Bisa jadi suatu negara diselenggarakan oleh kaum Muslimin, tetapi negara itu bukan negara Islam. Konsepsi modern mengenai demokrasi sering mengabaikan kedaulatan Allah. Tak mustahil jika rakyat mempunyai hak untuk menurunkan atau mengganti khalifah melalui pelaksanaan pemilihan umum (one man - one vote), tetapi ini harus dilaksanakan dalam kerangka cita-cita hukum Allah.
Loyalitas, ketaatan, dan syura
Suatu segi penting dari konsep kenegaraan adalah loyalitas rakyat pada kekuasaan hukum. Dalam sistem Islam, dimana kekuasaan ada di tangan Allah, setiap Muslim diperintahkan untuk mematuhi hukum-hukum-nya. Al-Qur'an menyatakan:
"Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian kepada Rasul dan penguasa diantara kalian. Bila kalian berselisih tentang sesuatu, hendaklah kalian kembali kepada Allah dan Rasul jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik bagi kalian dan itulah sebaik-baik penyelesaian." (QS. An-Nisa', 4:59).
Rasulullah SAW juga menekankan: "Barangsiapa yang taat kepadaku maka berarti dia menaati Allah, dan barangsiapa yang mengingkari aku maka berarti dia telah ingkar kepada Allah." (HR. Muslim).
Pilar ketiga dari negara Islam adalah akhlak terpuji dikalangan mereka yang memegang kekuasaan, serta kepatuhan rakyat kepada mereka. Mereka yang menjalankan kekuasaan eksekutif maupun administratif dan yang melaksanakan pengawasan atas masalah-masalah kolektif dari umat (seperti para juris, pemimpin-pemimpin politik, peradilan dan hakim) pantas ditaati. Namun dengan syarat bahwa: tidak ada kepatuhan jika terdapat pengingkaran kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketaatan, dengan demikian haruslah dilandasi oleh ketentuan tentang apa yang diizinkan dan apa yang dilarang sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari sini secara wajar akan muncul pertanyaan tentang bagaimana (dalam negara dimana kedaulatan Allah akan ditegakkan) pemerintahan harus didirikan? Apa pedoman-pedomannya ? Siapa yang akan menjadi pemimpin eksekutif negara itu ?.
Soal ini menjadi penting setelah setiap Muslim mempunyai hak untuk meraih jenjang jabatan itu. Al-Qur'an menyediakan petunjuk bagi kita tentang masalah ini. Syura (musyawarah) merupakan aspek terpenting yang sangat jelas mengenai hal ini.
"Dan mereka menerima seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka diputuskan melalui syura diantara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. Asy-Syura, 42:38).
Ayat ini, sebagaimana ayat-ayat lain, menekankan pentingnya musyawarah (counsel) dalam masalah-masalah kolektif masyarakat kaum Muslimin. Sahabat-sahabat Nabi menegakkan ke-Khalifahan di atas dasar ini. Kita mempunyai bukti dalam sejarah Islam yang awal (misalnya dalam pemilihan khalifah ketiga Utsman bin 'Affan) bahwa dalam sistem politik Islam, pemilihan kepala negara (Presiden atau Perdana Menteri) tergantung pada persetujuan rakyat. Tidak seorang pun berhak menjadi kepala negara melalui tindakan kekerasan maupun kudeta (usurpation).
Sepanjang menyangkut orang-orang yang harus terdapat dalam Majlis Syura, maka akan ditetapkanlah bahwa hanya mereka yang berdedikasi untuk tegaknya sistem Islam dan memiliki kemampuan untuk memahami dan mengapresiasikan implikasi-implikasi sistem itulah yang akan dipilih rakyat. Adapun pimpinan eksekutif dipilih oleh anggota Majlis Syura. Ibnu Qutaybah menulis bahwa sesaat setelah wafatnya Utsman bin 'Affan, orang-orang memanggil Ali bin Abi Thalib dan memintanya untuk menduduki jabatan Khalifah, tetapi Ali menanggapi: "Tidak ada seorang pun diantara kalian yang berhak memutuskan masalah ini. Ini adalah wewenang anggota Majlis Syura."
Ketika para anggota Majlis Syura memilih pimpinan eksekutif, maka mereka mengambil sumpah pemimpin eksekutif yang mereka pilih itu sementara rakyat mendengarkannya. Demikianlah pemilihan Khalifah harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada Hari Akhir, di hadapan Parlemen atau Majelis Syura, dan di hadapan rakyat. Oleh karena itu, tidak hanya anggota Majelis Syura, tetapi rakyat juga berhak menuntut khalifah dan memberhentikannya jika diperlukan.
Dalam pidato pengangkatannya, khalifah pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: "Jika saya mengerjakan perbaikan, dukunglah saya; tetapi jika saya berbuat salah, maka jangan patuhi saya dan pecatlah saya."
Pembuatan peraturan perundangan
Dalam hal apakah pemilihan itu bersifat langsung atau berdasarkan perwakilan berimbang (proportional representation), dan apakah parlemen (Syura) berbentuk bikameral atau unikameral, maka tidak ada keputusan politik akan dibuat tanpa persetujuan Syura. Sekarang timbullah pertanyaan: Jika dalam negara Islam, kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah dimana hukum-hukum yang akan diberlakukan adalah hukum-hukum-Nya, maka pakah gunanya parlemen atau badan legfislatif ?
Sepanjang menyangkut parlemen, QS. 42:36 bisa menjadi dalih. Kita juga mempunyai bukti dari Sunnah nabi dan prosedur permusyawarahan yang dilakukan para sahabatnya. Cukuplah diketahui bahwa Abdurrahman bin Auf suatu saat pernah berdiri di perempatan jalan kota Madinah dan menanyakan pada orang-orang yang lewat di situ tentang siapa yang akan mereka pilih untuk diangkat sebagai khalifah setelah terbunuhnya Umar bin Khathab. Ketika itu tercapailah kesepakatan untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai khalifah.
Dengan demikian, dalam hal aspek legislatif dari parlemen, Islam tidak melarang legislasi (pembuatan undang-undang). Hanya saja cakupannya terbatas, yaitu tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagai contoh, minuman keras atau perjudian tidak boleh diizinkan; atau misalnya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an tidak boleh dibatalkan atau diubah.
Oleh karena itu, sejauh Al-Qur'an mengatur secara eksplisit suatu masalah, maka para faqih, qadhi maupun badan legislatif tidak berhak mengajukan perubahan. Adapun dalam masalah-masalah dimana Syari'at tidak mengaturnya, dan dimana contoh-contoh dan kebiasaan-kebiasaan tidak tersedia, badan legislatif mempunyai hak penuh merumuskan peraturan perundangan. Sebagai contoh yang masuk kategori ini misalnya mengenai perindustrian, perburuhan, atau tindakan-tindakan badan hukum.
Yang terpenting adalah bahwa peraturan-peraturan yang dibuat mengenai hal-hal itu harus sejalan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Peraturan yang dibuat melalui ijma' (konsensus), qiyas (analogi), istinbat (deduksi logis), ijtihad (penjabaran analogis) haruslah dirumuskan secara bertanggung jawab. Perlu dicamkan, bahwa Syari'ah telah menyediakan alat-alat perlengkapan yang sempurna untuk menangani situasi-situasi seperti itu. Memang faktor-faktor ini mengakibatkan legislasi lebih bersifat rasional dan dinamis.
Asy-Syatibi (pakar masalah-masalah yang berhubungan dengan kebiasaan dan tradisi serta tindakan-tindakan tertentu yang bisa diterima dan disetujui tetapi tidak ada sumbernya dalam rangkaian rawi yang sampai pada sahabat Nabi) mengatakan bahwa hukum-hukum, peraturan-peraturan, dan ketetapan-ketetapan boleh diciptakan dengan mengingat adat kebiasaan dan tradisi. Namun semua itu harus disesuaikan dengan framework dasar dari hukum Islam dan bisa diterima oleh pemikiran logis serta akal sehat.
Dalam hal ini, wawasan pribadi dari seorang mujtahid (penafsir nash atau teks Al-Qur'an dan Al-Hadits) ataupun ulama tidak dapat dianggap mewakili status hukum. Demikian pula preseden-preseden dan penilaian-penilaian hukum tidak bisa menjadi hukum, karena hukum (sejauh Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak mengaturnya) harus diformulasikan atas dasar analogi atau induksi. Disamping itu menuntut pula ratifikasi dari parlemen atau Syura.
Sebagai contoh, dalam Al-Qur'an pemabukan minuman keras hanya diterangkan sebagai larangan. Tetapi selama kekhalifahan Utsman dan Ali, 80 kali cambukan diterapkan sebagai hukuman bagi perbuatan itu. Perlu pula disebutkan di sini bahwa berbagai peraturan perundangan yang ditetapkan oleh khalifah-khalifah yang alim sebenarnya dapat dikatakan kurang memenuhi syarat (not gain currency) sebagai hukum karena tidak menggunakan konsensus (ijma'), dan Asy-Syatibi menyebutkan berbagai macam kasus mengenai hal itu. Imam Ibnu Taymiyah dalam kitabnya Fatawa Ibnu Taymiyah (1:406), menyatakan bahwa ijma' (konsensus) merupakan pilar terpenting dari fiqh berkaitan dengan hadits Nabi yang menyebutkan bahwa, "Umatku tidak akan bersepakatan mengenai kesalahan."
Dari pembahasan terdahulu bisa disimpulkan mengenai adanya perbedaan antara perundang-undangan dan hukum Islam dengan konsepsi masa kini menurut sistem sekuler Barat, ketentuan-ketentuan apa yang berkenaan dengan negara, pimpinan badan eksekutif suatu negara, badan legislatif atau fungsi parlemen; dan bagaimana pula pemilihan umum dilakukan sesuai dengan konsepsi Islam tentang negara. Telah dijelaskan pula bahwa manusia merupakan wakil atau khalifah Allah di bumi atas suatu syarat bahwa dia tunduk kepada kedaulatan Allah. Wallahu a'lam bish-shawab.
penulis adalah Ketua Departemen Ekonomi DPP PK dan anggota Komisi IX DPR RI
PeKaOnline 13.03.2002 05:19
Antara Islam dan Politik (2):
Tauhid sebagai Prinsip Dasar Politik
oleh : H. Syamsul Balda, SE, MM, MBA, MSc.
PeKa Online-Jakarta, Pertanyaan pertama yang timbul dalam konteks ini adalah: Apakah yang dianut sebagai prinsip dasar di dalam politik ? atau dengan kata lain, apa yang secara esensial termaktub di dalam politik? Terdapat dua pandangan mengenai kenyataan bahwa secara mendasar politik meletakkan dirinya pada masalah tentang hubungan antara individu dengan negara.
Pertanyaan pokok lain yang berasal dari masalah itu adalah:
1. Apa yang diperlukan bagi didirikannya sebuah negara?
2. Siapa yang akan menempati puncak administrasi dan pemerintahan, serta siapa yang akan merumuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; atau dengan kata lain, siapa yang berwenang untuk menentukan kekuasaan tertinggi dan, jika mungkin, bagaimana bentuknya?
3. Peraturan apakah yang bisa mengatur sikap tunduk individu, kesetiaan dan kepatuhannya kepada negara?
4. Apakah yang menjadi tujuan negara, dan apakah dasar karakteristiknya?
Pertama-tama yang harus diperhatikan bahwa segi terpenting yang diajarkan Al-Qur'an kepada kita adalah bahwa Allah merupakan pencipta alam semesta. Karena itu Dialah yang memiliki kedaulatan tertinggi. Suatu studi yang mendalam terhadap Al-Qur'an akan menunjukkan secara jelas bahwa raja-raja dan penguasa-penguasa autokratik sebelum kedatangan Islam tidak menolak missi para Nabi yang menyerukan keesaan Allah dan keberadaan-Nya sebagai pencipta alam semesta. Berbagai ayat Al-Qur'an menerangkan perihal ini, misalnya surat Al-Ankabut (29:61) menyatakan pengakuan manusia pada umumnya akan adanya Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta yang berkuasa atas perputaran matahari dan rembulan, tetapi mereka tersesat.
Sekalipun para politeis mempercayai Allah sebagai pencipta, tetapi pokok persoalan yang menyebabkan mereka membangkang adalah pernyataan para Rasul yang menekankan bahwa Allah bukan hanya Pencipta tetapi juga Penguasa. Dengan kata lain, sementara orang-orang politeis itu memandang Allah sebagai Pencipta, mereka tetap masih merasa mempunyai hak untuk memerintah dan berkuasa. Sebaliknya, risalah-risalah para Rasul menyatakan bahwa dunia ini bukan hanya sebagai ciptaan-nya, tetapi sekaligus juga berada di bawah kekuasaan-Nya. Dengan kata lain, kebenaran Tauhid terletak pada kenyataan adanya Allah yang diakui sebagai Pencipta maupun Penguasa tanpa sekutu dari alam semesta.
Jika masyarakat mengakui kekuasaan Allah, sudah pasti bahwa masyarakat tersebut akan memenuhi ketentuan-ketentuan Islam. Sebaliknya, jika Allah dibenarkan sebagai Pencipta, tetapi Dia tidak diakui sebagai Pemegang kekuasaan mutlak yang tertinggi, maka hal ini sama saja dengan menyekutukan-Nya. Tauhid atau monoteisme mengajarkan bahwa dalam segala bidang kehidupan, kita harus mengikuti kehendak-Nya, baik Dia sebagai Pencipta maupun sebagai Penguasa.
Institusi negara
Agar persoalan ini menjadi jelas, kita akan mengalihkan dan mengarahkan perhatian kita pada pertanyaan yang sudah dikemukakan di atas, yaitu: Apakah yang diperlukan bagi didirikannya sebuah negara? Pertanyaan ini tidak menuntut perbincangan mengenai hal-hal yang tak lebih dari sekedar impian. Karena bagaimana mungkin sindikalisme atau anarkisme memperjuangkan suatu negara yang bukan negara?
Negara dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi yang mengatur aktivitas-aktivitas individu dalam hubungannya dengan masyarakat dimana negara itu bertindak sebagai kekuatan korektif melalui perangkat peraturan-peraturan dan hukum-hukum tertentu. Setiap masyarakat merasa memerlukan adanya suatu negara. Peraturan-peraturan negara tidak hanya memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat, tetapi juga terhadap individu, dan memang pada kenyataannya setiap individu membentuk dirinya sesuai dengan pola yang telah ditentukan negara tersebut.
Tanggung jawab pelaksanaan negara harus dibebankan pada seseorang. Ada tiga tipe orang yang bisa menjadi kepala negara. Tipe pertama, terdiri dari orang-orang yang kepada siapa tanggung jawab dilimpahkan melalui dinasti-dinasti. Tipe kedua, para despot yang sangat sadis dan megalomania, bahkan mereka sangat yakin bahwa tindakan-tindakannya selau benar serta selalu memaksakan kemauan dan kehendaknya melalui tindakan-tindakan tiranik.
Tipe ketiga, para penguasa yang melaksanakan haknya untuk memerintah negara atas nama-Nya. Penguasa tipe ini menyadari bahwa mereka hanyalah hamba-Nya. Perhambaan dan kepatuhan seperti ini mencapai puncaknya yang terbaik dalam diri Nabi umat Islam, baik sebagai hamba maupun sebagai Rasul. Dari wawasan seperti ini, bisa dinilai bahwa orang yang bertindak sebaliknya adalah seorang despot, perampas kekuasaan dan pendurhaka. Hal ini karena pembangkangannya tidak hanya meluas pada pembangkangan terhadap hukum Allah, tetapi juga menyebabkan timbul dan menyebarnya benih-benih perselisihan di muka bumi, meskipun secara temporer tindakan-tindakan mereka nampak bermanfaat.
Studi kesejarahan menyadarkan adanya kenyataan bahwa dominasi manusia atas manusia, apalagi jika tidak diawasi dan dikendalikan, akan selalu mengakibatkan timbulnya konflik dan perpecahan. Kenyataan ini tidak akan hilang dengan adanya peraturan hukum dari seseorang atau sebuah oligarki yang berkuasa. Ia justru akan meluas pada bangsa-bangsa lain.
Suatu bangsa (seperti halnya sebuah individu) akan merasa bahwa dialah yang lebih besar akan merasa lebih leluasa melaksanakan kehendaknya pada bangsa-bangsa yang lebih lemah. Pada akhirnya eksploitasi atas bangsa-bangsa yang lebih lemah menjadi sasaran yang tidak bisa ditolak. Kita menyaksikan beberapa negara terlibat dalam cara-cara kediktatoran. Terdapat juga beberapa negara lainnya dimana rakyat dikuasai oleh kepala negara yang merupakan boneka negara asing (xenophopic national states).
Semua fakta-fakta ini merupakan akibat dari terlenanya orang pada konsep kepemimpinan tak ber-Tuhan dimana wahyu digantikan oleh rasio, hukum-hukum Ilahi digantikan oleh hukum-hukum duniawi beserta ordinan-ordinannya yang disesuaikan dan dirancang demi tujuan-tujuan tertentu yang spesifik. Dalam keadaan seperti itu, seseorang yang secara sukses berhasil menghimbau emosi-emosi orang lain agar dia dipilih untuk menjadi pemimpin eksekutif suatu negara, kemudian diangkat pada status 'dewa', maka tirani dan pengerukan kekayaan merupakan konsekuensi-konsekuensi alami yang pasti terjadi.
Inilah kenyataan yang menggejala di sepanjang perjalanan sejarah yang menyebabkan timbulnya penderitaan umat manusia yang tak terperikan sehingga mereka tercabut dari hak-hak dasarnya sebagai manusia. Inilah pula kenyataan yang selalu berulang terjadinya, yang membuat kemajuan umat manusia selalu terhambat. Ini pulalah yang menggerogoti gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep intelektual yang cemerlang, kebudayaannya, dambaan-dambaannya, ide-ide politiknya, dan kesejahteraan ekonominya. Oleh karena itu, kita harus mengubah konsep-konsep yang berlaku sekarang ini mengenai otoritas final, kedaulatan dan kepemimpinan.
Kita akan melihat konsep-konsep Al-Qur'an yang berkenaan dengan hal itu. Di bawah ini kita akan mengutip empat ayat yang membicarakan konsep Islam mengenai kekuasaan dan kepemimpinan.
"Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia; itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak (mau) mengerti." (QS. Yusuf, 12:40).
"Mereka berkata: Apakah ada barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini? Katakanlah: Sungguh urusan ini seluruhnya di tangan Allah." (QS. Ali 'Imran, 3:154).
"Janganlah kamu mengatakan apa yang dinyatakan oleh lidahmu secara dusta: Ini halal dan ini haram! Dengan maksud mengada-adakan kebohongan terhadap Allah." (QS. An-Nahl, 16:116).
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah, 5:44; juga 5:45; dan 5:47).
Kita dapat mengambil kesimpulan dari ayat-ayat itu atau ayat-ayat lain yang senada bahwa bukan individu, keluarga, kelompok maupun asosiasi masyarakat, atau bahkan seluruh penduduk dari suatu negara yang dapat meng-klaim berdaulat atas suatu negara dengan merebut kedaulatan Allah. Kemudian, sepanjang menyangkut lembaga Legislatif (law-making), Al-Qur'an menyediakan sebuah framework dimana para penguasa dapat berperan, tetapi tidak berwenang untuk mengubah hukum dasar yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijabarkan Nabi.
Keberatan yang sering diajukan mengingat batasan-batasan itu nampaknya adalah bahwa hal itu berarti membelenggu kebebasan manusia. Tetapi, pertimbangan yang lebih mendalam akan menunjukkan kebalikannya, yaitu bahwa Allah menetapkan hukum-hukum-Nya itu dalam rangka agar manusia mengikuti petunjuk yang telah diatur sedemikian rupa bagi kepentingan manusia itu sendiri. (bersambung)
PeKaOnline 11.03.2002 00:10
Antara Islam dan Politik (1):
Pandangan Islam tentang Politik
oleh : H. Syamsul Balda, SE, MM, MBA, MSc
PeKa Online-Jakarta, Pandangan Islam tentang politik bisa ditelusuri dari konsepnya mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta sebagai satu kesatuan yang satu sama lainnya tidak bisa dipisah-pisahkan. Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana manusia bisa mencapai kehidupan yang selaras dan bermakna dalam hubungannya dengan dirinya sendiri. Dengan sesama manusia atau masyarakatnya. Dengan gejala-gejala alam yang mengitarinya. Yang lebih penting lagi dalam hubungannya dengan penciptanya - Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tahu.
Dengan kata lain, isi Al-Qur'an mencakup empat aspek fundamental dari hubungan manusia. Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ketiga, hubungan manusia dengan sesama manusia. Keempat, hubungan manusia dengan alam semesta.
Jadi kebahagiaan hidup manusia menurut Islam adalah jika orang itu menemukan keselarasan yang lengkap di dalam empat aspek hubungan itu. Keselarasan yang dikehendaki Al-Qur'an bukanlah semata-mata keselarasan tindakan seperti dalam agama-agama primitif. Atau semata-mata keselarasan moral dan spiritual seperti yang terdapat dalam agama-agama besar di Timur Tengah dan Timur Dekat. Juga bukan sekedar keselarasan seperti pada sebagian besar agama di India dan Timur Jauh. Tetapi merupakan sebuah keselarasan yang lengkap yang mencerminkan perpaduan komprehensif dari keselarasan atas empat aspek seperti yang sudah diterangkan di atas.
Islam, dengan demikian merupakan sebuah agama penyatu yang lengkap (a religion of complete integration). Untuk pertama kali dalam sejarah kita melihat ajaran mengenai pembangunan manusia melalui integrasi yang utuh dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan dengan alam semesta. Integrasi ini berdasar pada keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dalam seluruh eksistensi-Nya. Pemahaman ini memberi pengertian bahwa Islam adalah jalan hidup (the way of life) yang sempurna, memenuhi seluruh aspek dan seluruh institusi keberadaan manusia.
Seorang Muslim percaya bahwa Islam menyediakan pedoman untuk segala segi kehidupan (individu dan sosial, material dan spiritual, hukum dan kebudayaan, ekonomi dan politik, nasional dan internasional). Islam merupakan jalan hidup yang total dan utuh. Menyangkut ukhrawi dan duniawi. Merupakan seperangkat keyakinan dan tata peribadatan. Suatu sistem hukum yang total dan utuh. Suatu peradaban dan kebudayaan. Oleh karenanya menyediakan sistem politik dan metode pemerintahan.
Sebagai konsekuensinya, agama dan politik menurut sumber dan dasarnya adalah merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Dengan demikian konsep yang paling fundamental di dalam Islam yang disebut Tauhid (ke-Esaan Tuhan), bukanlah semata-mata dogma, tetapi juga merupakan suatu konsep praktis yang mencakup bukan hanya segenap aspek kehidupan manusia, tetapi juga seluruh institusi-institusinya. Hal ini karena kenyataan bahwa Islam menyatakan dirinya sebagai agama monoteis yang seluruh fungsi-fungsinya baik sosial, spiritual, moral atau politik memang ditujukan untuk realisasi Tauhid itu.
Terhadap latar belakang konseptual dan teoritis yang dengan mudah bisa difahami ini, pandangan Islam tentang politik dapat dianggap sebagai hal yang unik, mencakup karakter dan fungsi yang terdapat di dalamnya. Tetapi itu bukan demokrasi, sosialisme, autokrasi maupun sekularisme menurut pengertian yang digunakan dan difahami dunia modern, sungguhpun beberapa ilmuwan Islam lebih suka menganggap salah satu dari ideologi-ideologi itu tidak berbeda dengan sistem politik Islam. Tidak mustahil bahwa kesulitan-kesulitan itu timbul dari istilah-istilah yang kita gunakan ketika memperbincangkan fungsi negara dan politik, seperti hukum, kedaulatan, hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sebagainya.
Kesamaan-kesamaan istilah itu sering menimbulkan kebingungan karena konsep-konsep Qur'ani mengenai pengertian-pengertian itu secara tegas berbeda dengan pengertian yang dipakai oleh dunia modern. Demi kepentingan itu kita mesti menggunakan istilah yang sama, seraya mencoba menerangkan dengan pengertian apa istilah-istilah itu dipakai dalam Al-Qur'an.
Islam dan umat Islam memberi perhatian besar pada masalah politik. Politik diartikan sebagai cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.
Dalam hal ini, Ibnul Qayyim mengemukakan, "Allah SWT mengutus para Rasul untuk menurunkan kitab-kitab suci-Nya, agar manusia melaksanakan keadilan yang ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsip langit dan bumi. Jika keadilan muncul dan terlihat dalam bentuk apapun, maka itulah syari'at Allah dan agama-Nya. Bahkan Allah SWT telah menjelaskan bahwa garis-garis yang telah ditetapkan itu dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan di kalangan hamba-hamba-Nya dan agar manusia berbuat adil di muka bumi. Cara apa pun yang ditempuh jika sesuai dengan garis-garis yang telah dijelaskan untuk mewujudkan keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa politik yang berkeadilan itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syari'ah, melainkan ia sesuai dengan apa yang dibawa oleh syari'ah dan bahkan bagian integral dari padanya."1
Sedangkan Imam Syafi'i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara'. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Agil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah SAW atau dibawa oleh wahyu Allah swt.2 Politik dalam pengertian menangani permasalahan-permasalahan komunitas telah disyari'atkan oleh Allah dan diperintahkan serta menjadi bagian tugas kerasulan, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (QS. Al-Hadid:25).
Keadilan yang menjadi tugas para Rasul Allah itu tidak akan terwujud tanpa menerapkan syari'at-Nya yang diturunkan kepada mereka yang berakhir dengan diturunkannya Al-Qur'an Al-Karim serta dijelaskan dengan Sunnah Nabawiyyah dalam rincian aturan hukum-hukum-Nya. Oleh sebab syari'ah mencakup semua aspek kehidupan, maka anggapan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan merupakan kesimpulan ngawur tanpa landasan. Lebih lanjut anggapan keliru tersebut mengatakan bahwa untuk menjaga kemurnian agama, maka agama harus dipisahkan dari politik dan menjauhkan agamawan dari masalah politik.
Implikasi anggapan seperti ini adalah bahwa agama tidak mengurusi masalah-masalah negara dan yang mengurusi masalah negara hanyalah orang-orang yang tidak beragama. Yang mampu mengurusi masalah-masalah politik harus menjauhkan diri dari agama. Jadi seolah Al-Qur'an tidak mengajarkan kaum muslimin untuk beragama secara kaaffah; tidak mengajarkan bagaimana mengurusi masalah-masalah hidup mereka. Yang mengherankan, bagaimana segelintir ulama berani mendukung anggapan parsial tentang Islam seperti ini?
Antara Islam dan aturan agama selain Islam terdapat perbedaan mendasar yang tidak dapat dipertemukan. Hal ini diketahui secara baik oleh para ulama dan politisi Muslim. Akan tetapi ada sekelompok orang yang mengaku 'cendekiawan Muslim' mengklaim bahwa menjauhkan Islam dari kehidupan beragama menjadi prasyarat untuk meraih kemajuan dan peradaban.
Jauh sebelum mereka lahir, para pemikir Eropa telah menegaskan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain secara mendasar. Sebagai contoh Dr. Lora Faglary menyatakan, "Islam adalah agama dan negara dalam arti yang sebenarnya. Khalifah dalam masyarakat Muslim bukanlah seorang pemimpin agama atau bebas dari dosa, atau mengaku mendapat otoritas dari Tuhan untuk bebas memberi penafsiran teks-teks Al-Qur'an. Atau ia menjadi perantara antara Tuhan di langit dan manusia di bumi. Khalifah dalam Islam adalah seorang manusia Muslim biasa dalam memahami agama. Umat tidak harus taat secara buta selain dalam penguasa sipil dari segala sudut, bukan penguasa agama yang mendapatkan kekuasaan dari 'Dekrit Tuhan'."3
Sedangkan Paul Schmitz mengatakan, "Istilah Khalifah bagi kaum muslimin mempunyai makna wakil atau yang menggantikan, atau utusan nabi Muhammad mewakilkan seseorang atas kota Mazdinah untuk menangani urusan umat Islam."4
Imam Syahid Hasan Al-Banna memiliki pendapat yang lebih luas dan dalam tentang hubungan antara Islam dan politik. Pernyataannya adalah sebagai berikut:
Islam itu bukan sebagaimana makna yang dikehendaki para musuh agar umat Islam terkurung dan terikat di dalamnya. Islam adalah aqidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan, moral dan material, peradaban dan perundang-undangan. Sesungguhnya seorang muslim dengan hukum Islamnya dituntut untuk memperhatikan semua persoalan umat. Barangsiapa yang tidak memperhatikan persoalan kaum muslimin, dia bukan termasuk golongan mereka.
Saya yakin para Salafus shalih (semoga Allah melimpahkan ridha kepada mereka) tidak memahami Islam selain dengan makna ini. Dengannya mereka berhukum. Demi kejayaannya mereka berjihad. Di atas kaidah-kaidahnya mereka bergaul dan berinteraksi. Pada batas-batasnya mereka mengatur urusan dari urusan-urusan kehidupan dunia yang operasional, sebelum nantinya urusan-urusan akhirat yang spiritual. Semoga Allah berkenan memberi rahmat kepada Sang Khalifah Perdana tatkala beliau berkata, "Seandainya tali ontaku hilang, tentu aku akan mendapatkannya dalam Kitabullah."
Setelah batasan global dari makna Islam yang syamil dan substansi makna politik yang tidak terkait dengan kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap umatnya. Saya juga bisa katakan bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini (pembuangan makna politik dari substansi Islam, pent.) sama sekali tidak pernah digariskan oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam'iyah Islamiyah harus menegaskan pada garis-garis besar programnya tentang perhatian dan kepedulian jam'iyah tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya. Kalau tidak seperti itu, jam'iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna Islam yang benar.
Biarkan saya untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di mana hal itu mungkin sesuatu yang mengejutkan dan asing di mata mereka yang terbiasa mendengarkan senandung pemisahan antara Islam dan politik. Mungkin pula setelah penegasan ini, setelah selesainya acara ini, akan ada sebagian orang yang mengatakan: "Sesungguhnya jama'ah Ikhwanul Muslimin telah menanggalkan mabda'-mabda' nya , telah keluar dari sifat-sifatnya, dan menjadi sebuah jama'ah politik, setelah sebelumnya merupakan jama'ah keagamaan." Kemudian setiap orang yang gemar menduga-duga akan terus melakukan berbagai takwil dengan berdasar kepada sebab-sebab perubahan menurut pandangannya itu. (bersambung)
1. Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Ibnul Qayyim, ed. Mahmud 'Arnus, tt, Mesir, hlm. 115.
2. Ibid., hlm. 24.
3. Tafsir Al-Islam, terj., Maktabah Ats-Tsaqafah, Mesir, tt., hlm. 72-73.
4. Al-Islam Quwwatul Ghad al-'Alamiyyah, terj. Muhammad Syamah, Maktabah Wahbah, Mesir, tt., tk., hlm. 156
PeKaOnline 14.03.2002 05:28
PK Tidak Merasa Bahagia Dengan Perpecahan Parpol Lain
PeKa Online-Jakarta, Partai Keadilan tidak akan pernah merasa senang apalagi berbahagia di atas perpecahan partai politik lain. Karena itu, kalau diminta, Partai Keadilan siap menjembatani rekonsiliasi partai-partai yang mengalami perpecahan itu. Kalau pun tidak diminta, PK dengan tulus ikhlas berdoa agar parpol yang mengalami perpecahan itu mampu menyelesaikan problematika internalnya dengan mekanismenya sendiri.
Presiden Partai Keadilan Dr. Hidayat Nurwahid. MA, mengungkapkan hal tersebut pada acara Pelantikan Kader Inti Partai Keadilan DPW DKI Jakarta di Youth Center, Gelanggang Remaja Jakarta Timur, Ahad (10/3) lalu. "PK sebagai elemen perbaikan bangsa siap bekerja sama dengan siapapun", tandasnya.
Bagi PK, lanjutnya, perpecahan partai politik merupakan bentuk ketidakdewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi. Hal ini akan mengotori citra politik dan demokrasi yang sekarang baru dibangun. "Dampaknya, partai politik tidak akan mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mengelola negara", ujarnya.
Karena itu Hidayat menghimbau para kader PK, agar dalam bekerja dan berdakwah mengutamakan perbaikan serta senantiasa menampilkan hal-hal yang bersifat positif, tidak membuat masalah. "Inilah yang diprogramkan PK pada tahun 1423 H melalui program 'Aam Jamahiri, tahun solidaritas membangun bangsa", katanya. (hid/jos)
PeKaOnline 13.03.2002 05:22
PK Belanda Gelar Seminar Hubungan Sipil-Militer
PeKa Online-Delft, Belanda, Perwakilan Partai Keadilan di Belanda, Sabtu (23/2) lalu, mengadakan seminar yang mengangkat tema: "Masa Depan Demokrasi Indonesia: Hubungan Sipil dan Militer". Acara yang berlangsung di Auditorium IHE (International Institute for Infrastructure, Hydraulic, and Environmental Engineering) Delft ini diselenggarakan dalam rangka menyambut 'Aam Jamahiriyah (tahun penggalangan eksternal) sekaligus silaturrahim kader dan simpatisan PK setempat.
Seminar : Masa Depan Demokrasi Indonesia: Hubungan Sipil dan Militer (dok peka)
Menurut Ketua Perwakilan Partai Keadilan di Belanda, Zulfebriansyah, seminar ini diselenggarakan guna mengingatkan kembali bahwa arah demokratisasi Indonesia sangat lekat dengan visi reformasi yang diperjuangkan mahasiswa tahun 1998. "Kehendak yang digelorakan melalui Gerakan Reformasi Total tersebut merupakan sebuah kerja besar yang bertujuan memperbaiki tatanan pemerintahan dan masyarakat Indonesia yang selama empat dekade mengalami pembusukan", paparnya.
Dari sudut partisipasi fungsi dan profesi warganegara secara umum, katanya, pelaku yang akan terus menggulirkan reformasi adalah pihak sipil (men of the pen) dan militer (men of the sword). "Dalam seminar ini kita akan melihat apakah kedua kekuatan ini merupakan kutub yang kontradiktif atau sinergis dalam menyikapi reformasi," katanya.
Seminar ini menghadirkan 2 pembicara yaitu H. Mutammimul 'Ula, S.H. (ADAPK RI) dan Kolonel CZI. Ratyono (Mabes TNI). Sebanyak 52 peserta mengikuti acara ini. Para peserta datang dari berbagai kota di Belanda seperti Delft, Den Haag, Rotterdam, Amsterdam, Groningen, dan Eindhoven.
Usai seminar, acara dilanjutkan dengan santap makan siang di rumah salah seorang kader PK. Makanan khas Indonesia yang disediakan oleh para kader wanita PK itu, alhamdulilah laris. "Wah, saya sudah rindu nih dengan masakan Indonesia", bisik salah seorang peserta rombongan pembicara. (deden permana/jos)
PeKaOnline 13.03.2002 05:12
PK Desak DPR Bentuk Pansus Buloggate II
PeKa Online-Jakarta, Partai Keadilan menuntut agar Pansus Buloggate II dibentuk. Tuntutan ini bukan karena dendam politik melainkan karena tuntutan keadilan pada bidang hukum dan dunia perpolitikan.
Presiden Partai Keadilan Dr. Hidayat Nurwahid, MA, mengungkapkan hal tersebut dalam sambutannya pada acara pelantikan kader inti PK DPW DKI Jakarta di Youth Center, Gelanggang Remaja Jakarta Timur, Ahad (10/03) lalu.
"Partai Keadilan mendukung pembentukan Pansus Buloggate II dalam rangka reformasi di Indonesia, di mana PK ikut berpartisipasi di dalamnya", katanya.
Menurutnya, pembentukan Pansus Buloggate II merupakan momentum pemberantasan KKN di Indonesia."Karena itu proses pembentukan Pansus Buloggate II jangan dikotori oleh permainan
PeKaOnline 12.03.2002 05:21
2095 Kader Inti DPW PK Jakarta Dilantik
PeKa Online-Jakarta, Ketua Umum DPW PK DKI Jakarta H. Ahmad Heriawan, Lc., melantik 2095 kader inti PK setempat di Youth Center, Gelanggang Remaja, Jakarta Timur, Ahad (10/03) lalu. Pada kesempatan tersebut diserahkan kartu anggota inti yang secara simbolik diterima oleh para Ketua DPD masing-masing.
Ketua DPW Bidang Kaderisasi H. Dani Anwar, dalam laporannya menyebutkan, pelantikan ini merupakan acara puncak dari rangkaian kegiatan kaderisasi dalam rangka mensukseskan program 'Aam Tarbawi 1422 H. Ia mengungkapkan, selama 'Aam Tarbawi, pertumbuhan kader inti di Jakarta mencapai 161 persen. "Semula terdapat 1297 kader inti, kini menjadi 2095", katanya.
Menurutnya, pencapaian jumlah 2095 orang ini sebenarnya kurang. DPW PK DKI Jakarta masih punya hutang sekitar 4.000 kader ini lagi. Karena itu ia menghimbau agar para kader inti yang sudah dilantik pada kesempatan ini terus melakukan tugas rekruitmen kader-kader baru PK. "Berakhirnya 'Aam Tarbawi hanya persoalan administratif. Yang penting adalah senantiasa melakukan retruitmen di setiap kesempatan dan di manapun kita berada," papar Dani yang juga ADAPK DKI Jakarta ini.
Ia mengingatkan bahwa pelantikan sebagai anggota inti ini bukan penghormatan melainkan suatu sinyal bahwa amanah dakwah yang akan diemban di masa mendatang lebih berat lagi. "Pada tahun 1423 H, DPW PK DKI Jakarta ditargetkan merekrut 240.000 kader baru", ungkapnya.
Karena beratnya tugas yang akan diemban itu, Dani mengajak kepada seluruh kader yang hadir untuk berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam kerja dakwah merekrut kader-kader baru. "Semoga kita semua dilindungi dari kejahatan orang-orang yang tidak menghendaki berkembangnya dakwah di Indonesia", ucapnya.
Selain pelantikan kader inti, pada kesempatan tersebut dilakukan juga pemberian penghargaan kepada relawan Posko Banjir Partai Keadilan. Penghargaan tersebut diberikan kepada relawan yang bertugas di 80 Posko Banjir di Jakarta dan sekitarnya. Acara dimeriahkan juga oleh penampilan tim nasyid Izzatul Islam yang menggugah semangat sekitar 2.000 hadirin dengan lantunan nasyid-nasyid perjuangan yang fenomenal. Para hadirin dan undangan ikut bernasyid-ria dengan penuh semangat juang.
Pada acara tersebut hadir juga Presiden PK Dr. Hidayat Nurwahid, MA. , mantan Presiden PK Dr. Nurmahmudi Ismail, Msc, ADAPK RI H. Mutammimul 'Ula dan Mashadi, Sekertaris Umum MUI Prof. Dr. Din Syamsudin, pakar hukum tata negara Prof. Dr. Jimly As-Siddiqy, Ketua Umum KNPI Adhyaksa M. Dault, SH., dan pakar hukum Islam Dr. Daud Rasyid, MA. (hid/jos)
PeKaOnline 14.03.2002 05:17
Militer adalah Elemen Eksekutif Sekaligus Elemen Negara
PeKa Online-Delft, Belanda, Sebuah Negara bisa diumpamakan sebagai sebuah organisme. Organisme memiliki unsur hati, otak dan otot. Dalam sebuah negara, unsur hati diwakili oleh eksekutif, unsur otak oleh legislatif dan unsur otot oleh militer. Ditinjau dari sisi fungsi, mereka setara, tidak ada yang lebih rendah.
ADAPK RI, H. Mutammimul 'Ula, SH. menyebutkan hal tersebut pada acara seminar "Masa Depan Demokrasi Indonesia: Hubungan Sipil dan Militer" yang diadakan oleh Perwakilan Partai Keadilan di Belanda (PPKB) di Auditorium IHE (International Institute for Infrastructure, Hydraulic, and Environmental Engineering) Delft, Sabtu (23.2) lalu. "Disamping sebagai elemen eksekutif, militer juga merupakan elemen negara", katanya.
Hubungan Sipil dan Militer : Karena alat negara, militer seharusnya terbebas dari kepentingan sesaat para politisi (dok peka)
Dalam perspektif sejarah, menurutnya, tentara Indonesia merasa diri sebagai elemen eksekutif dan penentu negara. Sejak perjuangan gerilya pimpinan Jenderal Soedirman dalam menghadapi agresi militer Belanda II, Serangan Umum 1 Maret pimpinan Letkol. Soeharto, penumpasan PRRI/Permesta dan G30S/PKI, hingga saat ini MPR mendefinisikan TNI sebagai alat negara. "Karena alat negara, militer seharusnya terbebas dari kepentingan sesaat para politisi", ujarnya.
Lebih jauh, anggota Komisi II DPR RI ini melihat bahwa hubungan sipil-militer di masa depan dihadapkan pada optimisme dan pesismisme. Indikasi optimisme antara lain ditunjukkan dengan munculnya kesadaran publik, pengakuan dunia internasional, dan munculnya kesadaran di kalangan tentara sendiri untuk menjadikan dirinya lebih profesional di bidangnya. Adapun indikasi pesimisme antara lain ditunjukkan dengan munculnya krisis kenegarawanan, munculnya ideologi disintegrasi, munculnya campur tangan asing, adanya ancaman separatis, dan penolakan sebagian kecil elemen tentara terhadap cita-cita reformasi.
Disamping mengupas seputar masalah hubungan sipil-militer, Mas Tammim (panggilan akrab Mutammimul 'Ula) menyinggung juga soal negara demokratis. Menurutnya, ada 5 indikator utama sebuah negara dikatakan demokratis. Pertama, pemerintahan (eksekutif) yang legitimate. Kedua, lembaga legislatif yang didukung rakyat. Ketiga, lembaga pengadilan yang independen. Keempat, partai politik yang mengakar (well-organised). Kelima, pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Pada seminar yang dipandu oleh Elfahmi Yaman (kandidat Ph.D. Ilmu Farmasi, Universitas Groningen) ini menampilkan juga Kolonel CZI. Ratyono dari Markas Besar TNI. "Saya tampil di dalam seminar ini dalam kapasitas pribadi, bukan dari Mabes TNI," kata Ratyono mengawali ceramahnya.
Menurutnya, perlu adanya hubungan yang bersifat kesetaraan (tanpa dikotomi) dan saling menghormati antara sipil dan militer. "Sejalan dengan semangat Reformasi, TNI telah mengambil langkah-langkah antara lain: penghapusan dwi-fungsi TNI, penghapusan Bakostranas dan Bakorstranasda, dan likuidasi Kaster (Kepala Staf Teritorial) TNI", ungkapnya.
Sebagai langkah menuju profesionalitas, lanjutnya, TNI juga telah dan terus melakukan validasi organisasi, merevisi doktrin-doktrin mulai dari tataran doktrin induk hingga tataran operasional, dan merevisi kurikulum pendidikan TNI pada setiap tingkatan yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan yang terjadi. "Disamping itu, operasi-operasi militer yang dilakukan semuanya harus mendapat izin politik terlebih dahulu. Sekarang ini, kami selalu ingin on track", ujarnya.
Namun ia juga menyadari, baik TNI maupun pemerintah memerlukan waktu untuk mengembalikan kepada kondisi yang lebih baik mengingat demikian kompleksnya masalah bangsa saat ini. Namun ia menegaskan bahwa TNI tetap berkomitmen untuk melanjutkan cita-cita Reformasi, bahu-membahu dengan seluruh komponen bangsa, dengan blue-print Reformasi yang jelas juga. "Dengan kejelasan blue-print tersebut, sasaran kita menjadi jelas dan tahapannya juga jelas sehingga bisa dilakukan kerjasama di setiap tingkatan," ulasnya.
Kedatangan mereka berdua bersama beberapa perwira TNI dan sipil lainnya ke Belanda sebenarnya dalam rangka mengikuti kursus. Kursus ini terselenggara atas kerjasama Clingendael Instituut (Lembaga Hubungan Internasional Belanda) dengan Lespersi (Lembaga Studi Pertahanan dan Strategi Indonesia). Di sela-sela kursus tersebut keduanya menyempatkan diri tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut. (deden permana/jos)
PeKaOnline 12.03.2002 05:15
Musibah Jangan Dihadapi Dengan Logika Politik
PeKa Online-Jakarta, Musibah jangan dihadapi dengan logika politik karena akan sangat melelahkan dan menyakitkan. Musibah hendaknya diterima dengan logika iman dan moral.
ADAPK RI, H. Mutammimul 'Ula, SH. mengutarakan hal tersebut terkait penahanan Akbar Tanjung. "Banyak pelajaran yang bisa diambil dari musibah macam apapun", katanya.
Menurutnya, setidaknya ada tiga hikmah/pelajaran yang bisa diambil dari sebuah musibah. Pertama, mengurangi dosa. Kedua, adzab atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Adzab ini lebih baik dihadapi di dunia daripada ditanggung di akhirat. Ketiga, pangkat/derajat yang bersangkutan akan naik bila berhasil melalui musibah/ujian tersebut dengan penuh kesabaran dan ketawakalan.
Karena itu ia menghimbau kepada rekan-rekannya di Golkar agar jangan memobilisasi massa Golkar atau melakukan hal-hal yang semakin memperberat kehidupan. "Akan lebih baik bila dengan khusyu membaca innalillahi wainna ilaihi roji'un. Semua musibah, cepat atau lambat akan berlalu", paparnya. (jos)